[CERPEN] Senyum Terakhir

Terdengar irama hentakan kaki pada lantai berjubin. Berpasang-pasang kaki bergerak maju, silang dan berputar sebebas rasa, seturut kehendak musik. Langkah-langkah gerak kaki mereka begitu manis, ritmis kadang dengan sedikit improvisasi. Kadang pula tubuh saling jubitan. Raut wajah selalu riang. Basah keringat meleleh di lekuk wajah. Angin malam tak mampu menghilangkannya. Sulap pun tak bisa. Angin malam datang bagai suara asing malam-malam tanpa alamat dan maksud. Pesta baru saja dimulai.
Perempuan itu duduk memojok di dalam kemah pesta. Matanya bergerak dan seakan sedang pula berdansa. Ramput panjangnya diikat, dengan beberapa helai yang bebas terurai dan jatuh menyentuh sudut bibirnya. Sesekali ia tersenyum. Senyum itu menjadi keramahan malam di tengah pesta. Begitu hangat ia menyapa setiap sapaan teman-temannya dengan menggerakan kepalanya. Kadang irama musik juga membantu menggerakan tubuhnya. Ia menikmati pesta.
Di tengah ratusan orang yang menghujam tubuhnya dengan tatapan, seorang pemuda datang mendekat. Tubuhnya gempal dan berwajah oval. Senyum perempuan itu berangsur-angsur luruh. Lututnya lemas dan seakan ia hendak jatuh ke tanah.
***
Di hadapannya beberapa gerombolan datang mengetuk pintu rumahnya. Saat itu ia sedang berdansa kecil dengan ayahnya setelah habis makan malam. Di luar rumah, terdengar suara tembakan. Dan makin lama, makin keras suar ketukan pintu. Tubuh mungil memeluk ayahnya erat. Ia ketakutan.
“Dansa?” ajak lelaki itu sembari mengulurkan tangan kanannya.
Perempuan itu terbangun dari lamunannya. Imaji di depan matanya berubah menjadi tubuh lelaki yang sedang mengajaknya berdansa.
“Kenapa, kak?” tanyanya lagi kepada lelaki itu. ekspresinya masih tampak linglung dan kaget.
“Boleh kita berdansa?” ajak lelaki itu lagi.“Oh, maaf. Saya tidak bisa berdansa.” Lelaki itu pun menganggukan kepala dan mengerutkan senyum. Ia paham aturan dansa. Ia tidak bisa memaksa seorang perempuan untuk berdansa andai perempuan itu tidak sedang ingin berdansa. Lelaki itu mengajak perempuan lain untuk berdansa.
Di dekat perempuan itu, seorang pria bertubuh gempal dan berwajah gempal masi berada di dekatnya. Hanya berbeda dua kursi plastik di deratan kursi tempatnya duduk.
Wajah pria itu membangkitkan memori luka yang di masa kecilnya. Ia pernah melihat ayahnya dipukul dan ditarik dari dalam rumah oleh segerombolan orang. Tiga orang tentara yang menjaga rumahnya tumbang dihabisi massa.
Mereka lari terbirit-birit setelah kehabisan peluru. Beberapa massa tertula tembak. Saat itu, ayahnya seorang politisi yang menang dalam Pemilihan Legislatif. Ayahnya dituduh bermain curang, sehingga lawannya memprovokasi massa.
Perempuan itu bersama orang tuanya meninggal Sumba dan menepat di tanah nusalale. Sejak kecil ia akrab dengan bahasa Manggarai. Dialek Sumba hilang dibibirnya. Bahasa Manggarainya sangat kental. Ia hidup bersama orang tuanya yang berdagangan dengan membuka kios besar.
***
Di pesta, perempuan itu duduk sendiri. Teman-temannya asyik berdansa. Lelaki yang mengajaknya berdansa tidak bisa memalingkan pandangannya dari perempuan itu, meskipun ia sendang berdansa dengan perempuan lain. Tak ada percakapan diantara lelaki dan perempuan yang diajaknya berdansa. Hanya ada bahasa saling pandang antara lelaki itu dan perempuan manis berdarah Sumba.
Di tengah lagu dansa, musik diberhentikan. Lelaki dan perempuan yang diajaknya berdansa itu saling tatap dan lempar senyum. “Maaf”, kata lelaki itu sambil mengantarkan perempuan itu ke tempat duduknya.
“Minta perhatian sebentar”, seorang pria berdandan rapi dan menggunakan jas hitam angkat bicara. Semua para undangan terdiam. Tak ada suara musik. Asap tebal mengerumuni langit-langit kemah pesta.
“Saya adalah om kandung dari pengantin perempuan," pria itu memperkenalkan dirinya. Suasana pesta mulai riuh. Terdengar komentar-komentar samar dari para pemuda di belakang kemah. Perempuan manis berdarah Sumba itu agak tersipu malu. Tampak ia mengenal pria ber-jas itu.
“Saya minta dengan hormat, kita menggunakan ruang kemah ini dengan penuh sopan santun. Untuk para pemuda, kalau joget, rokoknya dimatikan. Jangan merokok saat berjoget atau bertobelo," katanya.
Ruang kemah semakin riuh sebab para undangan mulai tertawa. Mereka tersulut tertawa karena pria itu menggunakan kata “bertobelo”. Joget musik lagu Tobelo sedang digandrungi masyarakat.
“Perhatian. Perhatian. Ini serius. Sekali lagi jangan merokok saat berjoget. Mari kita jaga adik-adik perempuan kita yang juga ingin berjoget bersama. Kita tentu tidak ingin kebahagiaan kita ini terhenti di tangah jalan. Satu lagi, jangan pakai topi saat goyang. Kita perlu pakai etiket saat bergojet. Dengan begitu, kita bisa cungkil matahari. Goyang sampai pagi," jelas pria ber-jas itu.
“Lanjut!….. musikkkkk!… tabelo!…Mogi!” Teriak para undangan meminta musik dilanjutkan. Musik lagu “turun-naik” dibunyikan. Ramai-ramai para undangan tumpah ruah di ruang kemah. Mereka berjoget dengan gayanya masing-masing.
***
Perempuan itu masih di situ. Ia duduk manis di kursi plastik merah dengan wajah ramah penuh senyum. Matanya hanya memperhatikan para undangan yang sedang berjoget. Sesekali ia tersenyum sendiri. Mungkin ia sedang memperhatikan pemuda yang berjoget unik. Ia masih sendirian. Teman-teman perempuannya masih asik berjoget dengan lagu “Turun Naik”.
Pria yang bertubuh gempal dan berwajah oval tidak ada lagi di situ. Ia menghilang di kerumunan pesta.
Tiba-tiba terjadi keributan di tengah pesta. Musik diberhentikan. Para undangan perempuan lari terbirit ke pinggir ruang pesta. Ada yang keluar kemah pesta.
Seorang pria berdarah di bibit dan hidung. Darah merah mengalir dan jatuh dibaju putih. Ia bawah teman-temannya ke samping kemah. Beberapa pria berlarian mencari kapas dan obat.
Seorang pria yang lain digotong dari ruang pesta ke luar kemah. Ia tampak tak berbicara. Hanya diam saat digotong. Darah merah mengalir dari ubun-ubun jatuh diwajah. Itu adalah pria yang bertubuh gempal dan berwajah oval. Tampak perempuan berdarah Sumba ketakutan. Wajahnya kelihatan sangat gugup.
Di antara wajah-wajah perempuan yang cemas, beberapa pria muda tertawa-tawa dan tersenyum. “Dasar orang gila. Uuuhhhh orang gila e!” ucapan yang terdengar samar-samar. Para undangan makin sadar, seorang diantara yang terluka itu adalah orang sinting.
Setelah kedua pria itu keluar ruang kemah, musik kembabali berbunyi. Lagu Mogi. Hanya beberapa anak mudah yang berjoget. Para undangan lain tampak bertanya-tanya apa yang sebenarnya terjadi. Ternyata, bermula dari joget gaya bebas lagu Tobelo. Pria berbadan tambun dan berwajah oval itu bergojek mengikuti syair lagu “turun naik”. Gerak tubuhnya juga turun dan naik, seperti latihan sit-up. Karena terlampau bersemangat, kepala pria sinting itu bertabrakan dengan dengan mulut dan hidup pria lain yang juga sedang “fly” berat dan hanya menggoyangkan kepala sambil tutup mata. Ia tersadar ketika mulut dan hidup ditabrak kepala pria sinting sedang sedang mengakat tubuhnya, mengikuti syair lagu “Turun-Naik”.
***
Nama Lelaki itu Lalong. Gerak kepalanya seakan tak tenang. Matanya melihat ke sana-ke kamari. Kadang ia berdiri dari kursi dan memperhatikan secara saksama para undangan yang sendang duduk. Tak lama ia menerobos orang yang sendang joget di ruang tengah kemah. Ia berpindah duduk sembari memperhatikan para undangan secara saksama.
Perempuan manis berdarah Sumba itu tak ada lagi. Tempat duduk merah jambunya kosong. Teman-teman perempuannya masih bergabung bersama-sama pemuda lain. Mereka asik berjoget dengan musik lagu “Jamila”. Lalong menunggu. Ia duduk di belakang kursi merah jambu itu. Berpikir, mungkin saja perempuan manis berdarah Sumba itu sedang ke toilet.
“Tidak mungkin ia pulang sendirian dan meninggalkan teman-temannya yang sedang asyik berjoget," katanya dalam hati.
Lagu habis. Musik berhenti. Teman-teman perempuan manis berdarah Sumba itu kembali ke kursinya masing-masing. Karena ada yang sambil berpangkuan, sebab persediaan kursi tidak cukup di situ.
“Nona yang di sini tadi di mana e?” Tanya Lalong memberanikan diri sambil menunjukan kursi merah jambu yang tadinya diduduki oleh perempuan manis berdarah Sumba.
“Oh Rembu… dia sudah pulang tadi. Katanya, ayahnya jemput. Tadi, kami hanya sempat berkenalan. Kami tidak tahu asalnya," cerita seorang perempuan.
“Oh begitu, maaf. Saya pikir kalian bersahabat," kata Lalong penuh penyesalan.
“Kenapa?” tanya seorang perempuan yang lain agak ketus.
“Tidak. Tidak apa-apa," jawab Lalong. Lalong tampak tak bersemangat. Riang suasana pesta memuatnya tambah murung. Lalong memilih pulang. Sendirian. Ia hanya ingat ekspresi wajah manis Rembu ketika menolak ajakan dansanya dengan ramah.
Luka hati Lalong bukan pada penolakan ajakan dansa, tetapi ia tak sempat merengkuh semua kenangan dan senyum tentang perempuan manis berdarah Sumba itu. Rembu tak menyisahkan senyum terakhirnya.
*
Borong, 2017