Survei: Kesepian dan Self-Harm Marak di Masyarakat Indonesia

Banyak orang Indonesia tak melek akan kesehatan mentalnya

"Apakah kamu baik-baik saja selama pandemik ini?"

"Baik", jawabmu. Padahal, sering kali kenyataannya kamu tidak baik-baik saja. Sudah setahun lebih pandemik COVID-19 mendera Tanah Air. Kehilangan orang tercinta, kerabat, pekerjaan, masalah finansial, atau dampak lainnya pada banyak aspek juga menyerang kesehatan mental kita.

Sayangnya, banyak orang yang memilih untuk memendamnya atau tidak membicarakannya. Selain rendahnya kesadaran masyarakat Indonesia akan kesehatan mental, tampak studi mengenai ini pun masih belum diperdalam.

1. Survei melibatkan lebih dari 5.200 orang, dan mayoritas adalah remaja serta dewasa muda

Survei: Kesepian dan Self-Harm Marak di Masyarakat Indonesiailustrasi kesepian pada kaum remaja (unsplash.com/ Priscilla Du Preez)

Bertepatan dengan Bulan Kesehatan Mental pada Mei 2021, komunitas pencegahan bunuh diri remaja Indonesia, Into the Light, dan laman petisi Change.org Indonesia mengadakan sebuah survei. Tujuannya tak lain adalah untuk mendalami kondisi psikis dan penggunaan layanan kesehatan mental masyarakat Indonesia.

Selama kurang lebih sebulan, Into the Light dan Change.org Indonesia mengadakan survei daring (online), melibatkan sebanyak 5.211 peserta dari 6 provinsi di pulau Jawa dan 28 provinsi luar pulau Jawa. Mayoritas peserta adalah remaja usia 18-24 tahun dan dewasa muda berusia 25-34 tahun.

2. Kesepian, pikiran bunuh diri, dan self-harm menghantui masyarakat

Survei: Kesepian dan Self-Harm Marak di Masyarakat Indonesiailustrasi depresi (pexels.com/pixabay)

Berdasarkan hasil survei, kesepian dapat ditemukan di seluruh kelompok peserta. Sekitar 98 persen peserta merasa kesepian dalam sebulan terakhir. Bahkan, 2 dari 5 orang yang mengikuti survei mengaku memiliki pikiran bunuh diri atau menyakiti diri (self-harm atau self-injury) sendiri dalam dua minggu terakhir.

Selain itu, pikiran kesepian, bunuh diri, dan self-harm dirasakan lebih dari setengah peserta survei dari kelompok minoritas seksual (non-heteroseksual; 57 persen) dan gender (interseks, transgender, dan lainnya; 56 persen). Menurut survei tersebut, mereka berpikir untuk self-harm dan bunuh diri dalam dua minggu terakhir.

3. Kesadaran akan kesepian dan self-harm masih amat minim

Survei: Kesepian dan Self-Harm Marak di Masyarakat Indonesiailustrasi kesedihan (crosswalk.com)

Survei tersebut menemukan bahwa tak ada peserta yang menjawab dengan benar saat menghadapi pertanyaan tentang bunuh diri. Dengan kata lain, pengetahuan masyarakat tentang fakta dan penyebab bunuh diri masih amat minim. Menurut survei tersebut:

  • 86 persen peserta berpikir orang yang berpikir bunuh diri akan selalu terpikir dan berusaha bunuh diri
  • 66 persen peserta menganggap pembicaraan tentang bunuh diri akan meningkatkan risiko bunuh diri

Nyatanya? TIDAK! Menanyakan seseorang tentang pikiran bunuh diri dan kesepian memberikan kesempatan bagi orang tersebut agar terbuka mengenai masalahnya agar bisa ditindaklanjuti. Malah, dengan begitu, orang tersebut dapat dijauhkan dari bahaya sehingga nyawa pun bisa diselamatkan.

Baca Juga: Self-Injury, Kecenderungan Melukai Diri yang Harus Diwaspadai

4. Layanan kesehatan mental yang diabaikan

Survei: Kesepian dan Self-Harm Marak di Masyarakat Indonesiailustrasi mencari layanan kesehatan mental online (betterhelp.com)

Survei tersebut melanjutkan temuannya bahwa dalam tiga tahun terakhir, yakni hanya 27 persen dari 5.211 peserta yang pernah mengakses layanan kesehatan mental. Apa saja faktor yang dipertimbangkan?

  • Biaya yang murah
  • Ketersediaan informasi secara daring
  • Kemampuan komunikasi tenaga kesehatan
  • Keterjangkauan lokasi
  • Reputasi pelayanan yang baik
  • Menerima keberagaman gender dan seksualitas pasien

Dari angka tersebut, kelompok laki-laki paling jarang (18 persen) mengakses layanan kesehatan mental, dibandingkan perempuan (31 persen) dan kelompok minoritas seksual (42 persen) dan gender (37 persen).

Kebanyakan peserta (68 persen) memilih menggunakan layanan kesehatan daring dari aplikasi dan laman web. Hanya 32 persen peserta yang benar-benar berkonsultasi ke layanan poli jiwa atau unit Psikologi yang disediakan rumah sakit.

5. Lalu, apa yang dilakukan kalau ada masalah psikis?

Survei: Kesepian dan Self-Harm Marak di Masyarakat Indonesiailustrasi konsultasi dengan psikolog (pexels.com/Alex Green)

Ada alasan di balik rendahnya angka penggunaan layanan kesehatan mental. Sekitar 66 persen peserta mengaku "terbiasa menyelesaikan masalahnya sendiri" dan 55 persen menyalahkan biaya layanan kesehatan mental yang terlalu mahal.

Jadi, apa yang dilakukan saat kesepian, pikiran bunuh diri dan self-harm datang? Sekitar 69 persen berlari ke agama (baca kitab suci atau berdoa), sementara 64 persen curhat dengan keluarga. Nyatanya, tenaga kesehatan jiwa profesional adalah yang paling ampuh karena memiliki keahlian dan pasti menjaga rahasia pasiennya.

6. Tahu, gak? BPJS menerima konsultasi kejiwaan, lo!

Survei: Kesepian dan Self-Harm Marak di Masyarakat Indonesiailustrasi Kartu BPJS (ANTARA FOTO/FB Anggoro)

Bagi pemilik kartu Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS), biaya konsultasi dan pengobatan untuk beberapa gangguan jiwa tertentu ternyata dapat ditanggung hingga gratis. Layanan kesehatan dapat diakses di Puskesmas di hampir semua kota besar Indonesia.

Banyak yang masih tidak tahu akan hal ini. Dari survei tersebut, sebanyak 7 dari 10 orang baru tahu kalau BPJS dapat menanggung biaya layanan kesehatan mental. Selain itu, 3 dari 5 orang tidak tahu kalau ada layanan kesehatan mental di domisilinya (dalam bentuk Puskesmas).

Survei: Kesepian dan Self-Harm Marak di Masyarakat Indonesiailustrasi bahagia tanpa beban psikis (pexels.com/Andrea Piacquadio)

Di masa pandemik COVID-19, masalah psikis umum ditemui. Kesepian, pikiran bunuh diri, dan self-harm bukanlah aib yang harus disembunyikan. Mau sampai kapan dipendam? Padahal, dengan membuka diri ke ahlinya, kamu bisa mendapatkan pertolongan lebih cepat.

Kamu dapat mengakses layanan kesehatan mental dari Puskesmas dan dengan BPJS, biayanya pun tak menguras isi dompet. Akan tetapi, tanyakan lebih dulu apakah Puskesmas tersebut melayani kesehatan mental atau tidak. Jika tidak, kamu akan diarahkan ke Puskesmas lain atau rumah sakit terdekat.

Baca Juga: Bantu Cemas saat Pandemi, Ini 5 Layanan Kesehatan Mental via Online

Topik:

  • Nurulia
  • Bayu Aditya Suryanto

Berita Terkini Lainnya