Baca artikel IDN Times lainnya di IDN App
For
You

Sindrom Capgras: Penyebab, Gejala, Diagnosis, Pengobatan

ilustrasi penderita sindrom capgras yang sedang berdebat (unsplash.com/Afif Ramdhasuma)

Sindrom Capgras, yang juga dikenal sebagai delusi Capgras, adalah kondisi psikologis di mana seseorang secara tidak rasional percaya bahwa orang yang mereka kenal telah digantikan oleh seorang penipu. Mereka bisa mengenali wajah seseorang tapi tidak merasakan adanya ikatan hubungan yang emosional. Bahkan, seringkali juga mereka yakin bahwa binatang atau benda yang mereka lihat hanya peniru, bukan milik mereka sebenarnya.

Sindrom ini pertama kali diteliti oleh Joseph Capgras, seorang psikiater Prancis pada tahun 1923. Pada waktu itu, Joseph Capgras menangani seorang pasien wanita yang mengeluhkan ia tak mengenali suaminya dan merasa bahwa suaminya itu telah digantikan orang lain. Dilansir laman Healthline, sindrom capgras dapat memengaruhi siapa saja, tapi kasus ini lebih sering ditemukan pada wanita saat lahir. Dalam kasus yang jarang, sindrom ini juga dapat mempengaruhi anak-anak. Nah, ingin tahu lebih lanjut soal penyakit ini? Yuk, simak sajian fakta seputar sindrom capgras di bawah ini.

1. Penyebab

ilustrasi otak (unsplash.com/Robina Weermeijer)

Terdapat beberapa teori yang diduga sebagai penyebab terjadinya sindrom Capgras. Salah satu teori yang pernah diajukan para ahli adalah prosopagnosia, yaitu kondisi di mana seseorang tidak dapat mengingat wajah orang lain. Namun, berdasarkan tinjauan literatur pada 2019, teori ini pun dibantah oleh banyak peneliti yang berpendapat bahwa sulitnya seseorang mengingat wajah tidak secara otomatis membuat mereka menganggap orang lain sebagai peniru.

Para peneliti lain menyimpulkan bahwa sindrom ini disebabkan oleh kerusakan pada otak yang berupa atropi, lesi atau cedera otak. Ketika kita mengenali wajah orang lain, otak kita bekerja untuk mengidentifikasi wajah tersebut dan menyampaikan informasi emosional yang terkait dengan melihat wajah tersebut. Jika terjadi kerusakan pada salah satu atau beberapa titik di otak, proses pengenalan tersebut dapat terganggu dan menghasilkan gangguan psikologis di mana seseorang meyakini bahwa orang lain adalah peniru.

2. Gejala

ilustrasi orang yang sedang cemas (pexels.com/Nathan Cowley)

Gejala utama yang mencolok pada sindrom Capgras adalah adanya prasangka bahwa orang-orang terdekat mereka adalah peniru. Meski demikian, penderita sindrom ini umumnya akan tetap berperilaku normal kecuali saat mereka berinteraksi dengan orang yang dianggap sebagai "peniru" tersebut. Apabila penderita sindrom ini berhadapan dengan sosok yang diduga "peniru", seringkali mereka menunjukkan perilaku agresif, seperti membentak atau bahkan melakukan kekerasan.

Tindakan tersebut dilakukan karena mereka merasa peniru tersebut memiliki niat jahat terhadap diri mereka. Selain perilaku agresif, terdapat juga gejala lain yang dapat muncul, seperti kecemasan dan stres, delusi paranoid, halusinasi auditorik dan visual, serta disosiasi.

3. Faktor Risiko

ilustrasi penderita alzheimer (pixabay.com/geralt)

Terdapat berbagai kondisi yang berperan sebagai faktor risiko dalam sindrom Capgras. Menurut laman MedicalNewsToday, penyakit demensia atau alzheimer dapat meningkatkan kemungkinan seseorang menderita sindrom Capgras. Penyakit-penyakit ini berdampak terhadap persepsi dan kemampuan seseorang dalam mengingat dunia sekitarnya.

Sebuah penelitian pada tahun 2015 juga menemukan adanya hubungan antara sindrom Capgras dan hipotiroidisme, suatu kondisi di mana kelenjar tiroid tidak berfungsi dengan optimal, menunjukkan bahwa ketidakseimbangan hormon juga dapat menjadi faktor risiko. Selain itu, ada beberapa kasus di mana sindrom Capgras berkembang setelah seseorang mengonsumsi narkoba atau alkohol dalam jumlah besar.

4. Diagnosis

ilustrasi MRI (pixabay.com/jarmoluk)

Dalam menegakkan diagnosis penderita sindrom Capgras, dokter dapat memulai dengan melakukan anamnesis, baik melalui wawancara dengan pasien sendiri atau melibatkan anggota keluarga, untuk mengetahui kapan delusi ini pertama kali mulai dirasakan atau terjadi.

Selain itu, pasien juga dapat diarahkan untuk menjalani pemeriksaan kesehatan fisik dan mental sebagai pemeriksaan penunjang. Tes kemampuan mental dapat dilakukan untuk memeriksa apakah pasien menderita demensia atau kelainan psikologis lainnya yang dapat menjadi faktor risiko dalam gejala yang dialami. Selain itu, tes pencitraan otak seperti MRI atau EEG dapat dilakukan untuk mencari adanya lesi atau perubahan struktur otak lainnya yang mungkin terkait dengan sindrom Capgras.

5. Pengobatan

ilustrasi obat-obatan sindrom capgras (unsplash.com/Christine Sandu)

Langkah perawatan untuk pasien yang menderita sindrom Capgras dapat melibatkan konsumsi obat-obatan dan pemberian terapi. Obat-obatan seperti donepezil, galantamine, atau rivastigmine yang digunakan untuk mengobati demensia dapat membantu mengurangi gejala sindrom Capgras. Selain itu, obat antipsikotik seperti aripiprazole, olanzapine, dan pimozide dapat diberikan untuk meredakan delusi dan agitasi yang mungkin terjadi.

Selain pengobatan obat-obatan, terapi juga merupakan bagian penting dari perawatan pasien dengan sindrom Capgras. Terapi habilitasi dapat membantu orang terdekat pasien untuk mencoba memahami dan menempatkan diri mereka dalam posisi pasien untuk memahami apa yang dirasakan oleh pasien. Terapi validasi juga dapat memberikan rasa aman kepada pasien jika mereka merasa takut terhadap peniru yang mereka anggap berbahaya.

Ada juga beberapa strategi yang bisa dicoba untuk membantu seseorang yang mengalami sindrom Capgras, yaitu:

  1. Hindari berdebat atau mencoba menjelaskan. Fokuslah membantu pasien merasa aman dan nyaman.
  2. Mengakui perasaan mereka dan memahami bahwa mereka mungkin merasakan ketakutan dan kebingungan yang nyata dapat membantu.
  3. Jika memungkinkan, ajak "peniru" untuk meninggalkan ruangan atau biarkan orang lain mengambil alih situasi hingga ia kembali tenang.

Itulah tadi beberapa informasi seputar sindrom capgras. Apabila kamu mengalami gejala yang serupa seperti di atas, segera konsultasikan dirimu ke dokter. Semoga informasi ini menambah pengetahuanmu, ya!

This article is written by our community writers and has been carefully reviewed by our editorial team. We strive to provide the most accurate and reliable information, ensuring high standards of quality, credibility, and trustworthiness.
Share
Editor’s Picks
Topics
Editorial Team
Delon Workala
EditorDelon Workala
Follow Us