Susu Ikan Jadi Kontroversi, PB IDI Dukung Program Pemerintah

Menurut Prof. Agussalim, penyelesaian masalah gizi sifatnya harus berkelanjutan. Oleh sebab itu, dia berharap program pemerintah bisa berjalan secara berkelanjutan dan masyarakat bisa diberdayakan.

"Jadi bagaimana memanfaatkan kearifan lokal atau produk-produk lokal. Banyak alternatif, salah satunya sekarang yang lagi booming kan susu ikan, pemanfaatan ikan yang dibuat menjadi produk susu," jelasnya.

Indonesia diketahui sebagai negara kepulauan dengan sumber daya alam yang berlimpah. Salah satu yang bisa dimanfaatkan adalah ikan yang kemudian diformulasi menjadi susu.

Selain berkelanjutan, program pemerintah juga harus bermanfaat, sehat, bergizi, aman, dan bebas dari pengawet.

Upaya ini bisa membantu mempercepat penurunan angka malnutrisi karena sejatinya, kualitas sumber daya manusia (SDM) sangat ditentukan oleh gizi, mulai dari 1.000 hari pertama kehidupan.

Dia menyinggung masalah anak-anak yang kerap menolak makan ikan karena dirasa bau amis. Oleh sebab itu, makanan tambahan yang paling mudah diberikan oleh anak-anak adalah berupa zat cair.

Untuk memenuhi kebutuhan tubuh akan nutrisi yang ada dalam ikan, bisa dengan susu ikan yang mengandung protein, vitamin, mineral, hingga omega-3.

"Teknologi bisa mengubah ikan menjadi produk, seperti susu ikan atau produk lain, sehingga odorless (tidak berbau), tidak bau amis, sehingga anak-anak bisa mengonsumsinya," imbuh Prof. Agussalim.

Namun, saat ini susu ikan yang beredar di pasaran masih dalam bentuk bubuk dan kurang praktis karena harus terlebih dahulu diseduh.

"Paling bagus kan mungkin kalau bentuk yang siap diminum. Misalnya dibawa ke sekolah untuk anak-anak. Tapi tentunya membutuhkan teknik yang lebih memakan biaya karena harus benar-benar steril. Saya kira kalau ada program pemerintah, kita harus dukung," Prof. Agussalim berkata.

Meski ada makanan pengganti, tetapi tetap penting untuk mengonsumsi makanan yang mengandung karbohidrat, protein, dan lemak

Penggunaan frasa "susu ikan" dianggap tidak lazim bagi masyarakat karena dianggap berasal dari susu ikan. Padahal, itu merupakan produk hidrolis dari protein ikan, sehingga sebenarnya akan lebih tepat jika disebut sebagai "sari ikan".

Polemik lainnya adalah penambahan gula dalam susu ikan. Menurut Prof. Agussalim, hal tersebut diperbolehkan asal takarannya tidak berlebihan.

"Dalam jumlah yang tidak berlebihan itu tidak ada masalah. Produk ini kan harus ada izin edarnya dari Badan Pengawas Obat dan Makanan (Badan POM), mereka akan melihat dari hal-hal tersebut, berapa kandungan gizinya. Saat ini proporsi gula yang diperbolehkan maksimal 5 persen dari total kalori."