- Penyakit mata berupa penglihatan kabur, menurun, atau muncul luka pada mata. Luka ini biasanya hilang dalam 10–12 minggu, tetapi sekitar setengah dari pasien dengan luka di bagian tengah retina akan mengalami kehilangan penglihatan permanen.
- Radang otak (ensefalitis) pada kurang dari 1 persen pasien RVF, yang dapat menimbulkan sakit kepala, koma, atau kejang. Ensefalitis dapat menyebabkan masalah kesehatan serius dan berkepanjangan.
- Perdarahan pada kurang dari 1 persen pasien RVF. Gejalanya dapat dimulai dengan kulit dan mata menguning (jaundice), muntah darah, tinja berdarah, atau perdarahan dari gusi, kulit, hidung, dan bekas suntikan. Sekitar 50 persen pasien dengan gejala perdarahan berakhir dengan kematian.
Sebabkan 17 Kematian di Senegal, Apa Itu Rift Valley Fever?

- Rift Valley Fever (RVF) adalah penyakit zoonosis yang menyerang hewan dan manusia melalui nyamuk dan lalat pengisap darah, menyebabkan gejala ringan hingga berat. Sekitar 1 persen orang yang terinfeksi RVF meninggal akibat penyakit ini.
- Diagnosis sulit karena gejalanya tidak spesifik, belum ada vaksin untuk manusia, dan penularannya dapat dicegah dengan menghindari kontak dengan hewan terinfeksi serta produk hewani yang tidak dimasak.
- Wabah RVF dapat menimbulkan dampak ekonomi serius, termasuk ancaman ketahanan pangan, kerugian sektor produksi hewan, pembatasan perdagangan, dan penurunan lapangan kerja serta pendapatan peternak.
Senegal telah mencatat 17 kematian akibat Demam Lembah Rift (Rift Valley Fever/RVF) dalam sebuah wabah besar yang jarang terjadi dari penyakit virus tersebut di negara Afrika Barat itu.
Dengan 119 kasus yang dilaporkan sejauh ini, sebagian besar di wilayah utara Senegal yang merupakan sentra peternakan, wabah ini menimbulkan kekhawatiran akan penyebaran lebih lanjut. Mengutip dari AFP, pejabat dari kementerian kesehatan setempat mengatakan bahwa ini adalah pertama kalinya Senegal mencatat begitu banyak orang yang terdampak.
Apa itu Rift Valley Fever? Kenali penyebab, gejala, dan pengobatannya di bawah ini.
Apa itu Rift Valley Fever dan bagaimana penyakit ini menular
Rift Valley Fever (RVF) adalah penyakit zoonosis akibat virus yang terutama menyerang hewan, tetapi juga dapat menginfeksi manusia.
Penularannya terjadi melalui berbagai spesies nyamuk (Aedes, Culex, Anopheles, dan Mansonia) serta lalat pengisap darah. Pada manusia, penyakit ini dapat berkisar dari gejala ringan mirip flu hingga demam berdarah parah yang berpotensi mematikan.
Pada ternak, infeksi dapat menimbulkan kerugian ekonomi besar akibat tingginya angka kematian pada hewan muda serta gelombang keguguran pada hewan betina yang sedang bunting.
Meskipun sebagian infeksi pada manusia terjadi akibat gigitan nyamuk yang terinfeksi, tetapi sebagian besar kasus berasal dari kontak langsung dengan darah atau organ hewan yang sakit.
Kelompok pekerja seperti penggembala, petani, pekerja rumah potong hewan, dan dokter hewan memiliki risiko lebih tinggi.
Manusia juga dapat terinfeksi melalui konsumsi susu hewan yang terinfeksi jika tidak dipasteurisasi atau dimasak terlebih dahulu. Hingga kini, belum ada bukti penularan RVF dari manusia ke manusia.
Virus ini termasuk dalam genus Phlebovirus dan pertama kali diidentifikasi pada tahun 1931 dalam sebuah wabah pada domba di sebuah peternakan di Lembah Rift, Kenya. Sejak saat itu, wabah RVF telah dilaporkan di Afrika sub-Sahara dan Afrika Utara. Pada tahun 2000, kasus pertama di luar benua Afrika tercatat di Arab Saudi dan Yaman.
Tanda dan gejala
Tanda dan gejala biasanya muncul 2–6 hari setelah terpapar virus RVF.
Banyak orang dengan RVF tidak menunjukkan gejala sama sekali, atau hanya mengalami keluhan ringan seperti demam, lemas, nyeri punggung, dan pusing. Umumnya, pasien pulih tanpa pengobatan dalam waktu 2–7 hari setelah gejala mulai muncul.
Sekitar 8–10 persen orang yang terkena RVF mengalami gejala yang lebih berat, antara lain:
Secara keseluruhan, sekitar 1 persen orang yang terinfeksi RVF meninggal akibat penyakit ini.
Diagnosis dan pengobatan

Karena gejala RVF bervariasi dan tidak spesifik, diagnosis klinis sering kali sulit dilakukan, terutama pada tahap awal penyakit.
RVF juga sulit dibedakan dari demam berdarah virus lainnya maupun berbagai penyakit penyebab demam lain, termasuk malaria dan demam tifoid. Oleh karena itu, diagnosis pasti memerlukan pemeriksaan laboratorium.
Sebagian besar kasus RVF pada manusia bersifat ringan dan berlangsung singkat, sehingga tidak memerlukan pengobatan khusus. Pada kasus yang lebih berat, penanganan utama adalah terapi suportif umum.
Vaksin inaktif telah dikembangkan untuk manusia, tetapi belum mendapat izin edar dan tidak tersedia secara komersial. Vaksin ini hanya digunakan secara eksperimental untuk melindungi tenaga medis hewan dan petugas laboratorium yang berisiko tinggi terpapar RVF. Beberapa kandidat vaksin lain masih dalam tahap penelitian.
Selama terjadi wabah RVF, kontak erat dengan hewan dan cairan tubuhnya merupakan faktor risiko paling signifikan untuk penularan virus. Risiko penularan dari hewan ke manusia dapat dikurangi dengan menghindari praktik peternakan dan penyembelihan yang tidak aman, menjaga kebersihan, serta tidak mengonsumsi darah segar, susu mentah, atau jaringan hewan yang tidak dimasak di daerah terdampak.
Pencegahan
Orang yang tinggal di atau mengunjungi daerah dengan kasus RVF dapat mencegah infeksi dengan langkah-langkah ini:
- Hindari kontak dengan darah, cairan tubuh, atau jaringan hewan yang berpotensi terinfeksi. Orang yang bekerja dengan hewan di daerah endemis RVF sebaiknya menggunakan sarung tangan, sepatu bot, pakaian lengan panjang, dan pelindung wajah untuk melindungi diri.
- Tangani, konsumsi, dan olah produk hewan dengan aman. Semua produk hewan, termasuk daging, susu, dan darah, harus dimasak dengan benar sebelum dimakan atau diminum.
- Lindungi diri dari nyamuk dan serangga pengisap darah lainnya. Gunakan obat antinyamuk, kelambu, serta kenakan pakaian lengan panjang dan celana panjang untuk menutupi kulit yang terbuka.
Dampak ekonomi yang bisa ditimbulkan
RVF tidak hanya berdampak pada kesehatan, tetapi juga menimbulkan konsekuensi ekonomi yang serius. Wabah ini dapat menyebabkan aborsi massal pada hewan, mengancam ketahanan pangan, serta memicu pembatasan perdagangan yang ketat.
Kerugian terbesar terlihat pada sektor produksi hewan, baik daging maupun susu, yang menurun drastis. Biaya pengelolaan wabah juga sangat tinggi, ditambah dengan penutupan pasar ternak yang mempersempit ruang gerak peternak.
Di tingkat internasional, standar kesehatan hewan membuat ekspor hewan hidup dan produk hewani terhambat. Padahal, ekspor merupakan komponen penting dalam neraca perdagangan nasional. Larangan ekspor dapat mengguncang perekonomian, mulai dari berkurangnya kas negara, melemahnya nilai mata uang, hingga meningkatnya biaya impor.
Lebih jauh lagi, ekspor ternak adalah sumber utama lapangan kerja, pendapatan, dan devisa. Ketika pembatasan diberlakukan, harga ternak jatuh dan kondisi perdagangan memburuk. Dampaknya langsung terasa pada peternak: daya beli menurun, standar hidup merosot, dan ketidakpastian ekonomi makin besar.
Referensi
"Rift Valley fever." World Health Organization. Diakses Oktober 2025.
"About Rift Valley Fever (RVF)." Centers for Disease Control and Prevention. Diakses Oktober 2025.
"Rift Valley Fever: Penyakit Zoonosis dengan Potensi Global." Universitas Airlangga. Diakses Oktober 2025.