Baca artikel IDN Times lainnya di IDN App
For
You

9 Bahaya Kesepian bagi Kesehatan, Bisa Memperpendek Usia

ilustrasi orang kesepian (freepik.com/freepik)
ilustrasi orang kesepian (freepik.com/freepik)
Intinya sih...
  • Kesepian bukan sekadar "sendirian", tetapi perasaan kosong yang lahir ketika ada jurang antara hubungan sosial yang diharapkan dengan yang dimiliki.
  • Kesepian berkaitan dengan depresi, penyakit jantung dan stroke, peradangan kronis, penurunan kognitif dan demensia, pola hidup tidak sehat, penurunan sistem imun, kualitas tidur yang buruk, diabetes, dan usia yang lebih pendek.
  • Kesepian bisa hadir dalam berbagai bentuk: kesepian emosional, sosial, dan eksistensial. Cek apakah kamu rentan mengalami kesepian.
Disclaimer: This summary was created using Artificial Intelligence (AI)

Merasa terasing, tidak dianggap, dan kehilangan rasa memiliki, itulah gambaran kesepian. Kesepian bukan sekadar “sendirian”, tetapi perasaan kosong yang lahir ketika ada jurang antara hubungan sosial yang kamu harapkan dengan yang sebenarnya kamu miliki.

Manusia sejatinya tidak diciptakan untuk hidup sendiri. Manusia butuh koneksi, komunitas, dan kebersamaan. Memang benar ada kalanya orang menikmati waktu menyendiri, tetapi itu berbeda dengan perasaan kesepian.

Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) mendefinisikan koneksi sosial sebagai cara orang saling berhubungan dan berinteraksi. Sementara itu, kesepian adalah rasa sakit akibat kurangnya koneksi sosial yang diinginkan, dan isolasi sosial adalah kondisi nyata ketika seseorang kekurangan hubungan sosial yang cukup.

Bukan sekadar beban emosional, kesepian berhubungan langsung dengan kesehatan fisik dan mental. Penelitian menunjukkan bahwa kesepian meningkatkan risiko penyakit jantung koroner dan stroke, serta menjadi salah satu faktor risiko depresi saat usia lanjut.

Laporan global terbaru dari WHO Commission on Social Connection mengungkapkan betapa seriusnya masalah ini: 1 dari 6 orang di dunia mengalami kesepian. Dampaknya begitu besar, diperkirakan kesepian berkontribusi pada lebih dari 871.000 kematian setiap tahun—setara dengan sekitar 100 kematian setiap jam.

Sebaliknya, memiliki koneksi sosial yang kuat terbukti meningkatkan kesehatan dan memperpanjang harapan hidup. Dengan kata lain, hubungan manusia bukan hanya kebutuhan emosional, melainkan juga fondasi biologis untuk bertahan hidup lebih lama dan lebih sehat.

Apa itu kesepian?

Setiap orang merasakan kesepian dengan cara yang berbeda. Kesepian adalah sesuatu yang sangat pribadi, subjektif, dan sering kali sulit dijelaskan kepada orang lain.

Kesepian bukanlah sesuatu yang pantas membuatmu menyalahkan diri sendiri—baik saat ini maupun kapan pun di masa lalu. Yang perlu diingat, perasaan ini, seberat apa pun, bisa datang dan pergi, tidak selalu menetap.

Kesepian bisa hadir dalam berbagai bentuk:

  • Kesepian emosional: ketika kamu merindukan ikatan mendalam dengan seseorang, seperti sahabat dekat atau pasangan.
  • Kesepian sosial: ketika tidak ada teman untuk diajak berbagi kegiatan, keluar rumah, atau sekadar berbincang tentang hobi yang sama.
  • Kesepian eksistensial: perasaan kosong saat berada di tengah banyak orang yang kita kenal, tapi tetap merasa sendirian.

Bagi sebagian orang, kesepian datang sesekali, misalnya saat akhir pekan atau saat libur panjang. Namun bagi yang lain, kesepian bisa dirasakan sehari-hari. Kondisi ini dikenal sebagai kesepian kronis.

Kenali lebih lanjut apa saja dampak kesehatan, baik fisik maupun mental, dari kesepian.

1. Depresi

Kesepian adalah salah satu faktor risiko terbesar munculnya depresi. Keduanya bahkan sering kali berbagi gejala yang mirip, yaitu asa sakit emosional yang dalam, perasaan tak berdaya, hingga hilangnya semangat untuk menjalani hari.

Sebuah penelitian tahun 2021 menguatkan hubungan ini. Para peneliti melibatkan lebih dari 4.200 orang dewasa di Inggris, lalu meminta mereka menjawab pertanyaan tentang pengalaman kesepian, dukungan sosial, dan gejala depresi.

Hasilnya jelas: setiap kenaikan 1 poin pada skala kesepian (dari 20 poin) berkaitan dengan kenaikan 0,16 poin pada gejala depresi. Lebih dari itu, depresi juga cenderung meningkat seiring waktu pada peserta dengan skor kesepian yang lebih tinggi. Temuan ini memberi sinyal kuat bahwa kesepian yang dialami hari ini bisa menjadi penanda depresi yang lebih serius di masa depan.

2. Penyakit jantung dan stroke

ilustrasi penyakit jantung (vecteezy.com/Thatphichai Yodsri)
ilustrasi penyakit jantung (vecteezy.com/Thatphichai Yodsri)

Terputus dari hubungan sosial erat kaitannya dengan kesehatan kardiovaskular yang buruk. Data gabungan dari 16 studi menemukan bahwa orang dengan relasi sosial yang lemah memiliki risiko 29 persen lebih tinggi terkena penyakit jantung dan 32 persen lebih tinggi mengalami stroke dibanding mereka yang memiliki hubungan sosial lebih baik.

Penelitian tahun 2024 menambahkan gambaran yang lebih jelas. Para peneliti meneliti partisipan berusia 50 tahun ke atas. Hasilnya, mereka yang sudah melaporkan perasaan kesepian sejak awal penelitian memiliki 25 persen risiko lebih tinggi mengalami stroke. Lebih mencolok lagi, partisipan yang merasa sangat kesepian dalam dua waktu berbeda selama studi empat tahun tersebut memiliki 56 persen risiko lebih tinggi terkena stroke dibanding yang melaporkan tingkat kesepian rendah.

Terutama bila berlangsung kronis, studi menunjukkan bahwa kesepian mungkin berperan penting dalam kejadian stroke, yang sudah menjadi salah satu penyebab utama disabilitas jangka panjang dan kematian di seluruh dunia, kata para peneliti.

Temuan ini sejalan dengan pernyataan American Heart Association (AHA) tahun 2022, bahwa kesepian dan isolasi sosial dapat meningkatkan risiko terkena serangan jantung atau stroke, bahkan meningkatkan risiko kematian akibat keduanya. Orang yang kesepian atau terisolasi dengan penyakit jantung lebih rentan meninggal karenanya; sementara mereka yang sudah pernah mengalami stroke berisiko lebih besar untuk mengalaminya lagi.

3. Memicu peradangan kronis

Peradangan atau inflamasi adalah cara tubuh menyalakan alarm darurat, yang muncul ketika sistem imun bekerja melindungi dari penyakit atau memperbaiki jaringan yang rusak.

Dalam kondisi normal, peradangan adalah mekanisme penyelamat. Namun, ketika proses ini berjalan terus-menerus tanpa alasan jelas—meski tidak ada infeksi atau luka—jadilah peradangan kronis. Ini lama-kelamaan dapat "membakar" tubuh dari dalam. Peradangan kronis dikaitkan dengan berbagai masalah kesehatan serius, seperti penyakit jantung, diabetes tipe 2, artritis reumatoid, hingga kanker.

Menariknya, sebuah metaanalisis menemukan bahwa orang yang lebih terisolasi secara sosial memiliki kadar zat peradangan lebih tinggi dalam tubuh mereka. Artinya, kesepian "diterjemahkan" oleh tubuh sebagai stres, rasa sakit, atau bahkan luka. Dengan kata lain, ketika mengalami kesepian kronis, tubuh merespons seakan-akan sedang diserang.

4. Penurunan kognitif dan demensia

Kesepian ternyata juga perlahan menggerogoti daya ingat. Sebuah analisis tahun 2024 yang dilakukan oleh tim peneliti dari Florida State University College of Medicine, Amerika Serikat, menemukan bahwa orang dewasa yang mengalami kesepian memiliki risiko 31 persen lebih tinggi terkena demensia.

Hasil ini bukan temuan tunggal. Penelitian sebelumnya menunjukkan pola serupa. Dalam sebuah kajian yang mengikuti orang dewasa berusia di atas 50 tahun selama rata-rata enam tahun, mereka yang mengalami kesepian dan isolasi sosial berkepanjangan memiliki kemungkinan sekitar 50 persen lebih tinggi untuk mengalami demensia.

Bahkan, studi lain yang meneliti orang dewasa pada usia paruh baya menemukan bahwa kesepian yang menetap berhubungan erat dengan meningkatnya risiko penyakit Alzheimer, jenis demensia yang paling umum. Penelitian tambahan juga mendapati bahwa orang berusia di atas 65 tahun yang melaporkan kesepian mengalami penurunan fungsi kognitif lebih cepat dibanding mereka yang merasa lebih terhubung secara sosial.

5. Membentuk pola hidup yang tidak sehat

ilustrasi pria makan junk food (freepik.com/freepik)
ilustrasi pria makan junk food (freepik.com/freepik)

Kesepian bisa pelan-pelan membentuk pola hidup yang tidak sehat. Bukti menunjukkan bahwa orang yang merasa kesepian cenderung lebih sering terjebak dalam kebiasaan buruk dibanding mereka yang merasa lebih terhubung secara sosial.

Penelitian menemukan, para lansia yang hidup sendiri, baik lajang maupun kehilangan pasangan, cenderung makan lebih sedikit sayur dan buah dibanding teman sebayanya yang menikah atau tinggal bersama pasangan.

Studi lain menunjukkan bahwa orang yang kesepian jauh lebih jarang berolahraga dibanding mereka yang tidak merasa kesepian. Menariknya, hal ini tidak bisa dijelaskan hanya dengan status pernikahan, jumlah teman dekat, atau ukuran jaringan sosial. Yang benar-benar berpengaruh adalah perasaan kesepian itu sendiri.

Sebuah laporan bahkan mengungkapkan bahwa kesepian mendorong orang untuk mencari pelarian lewat kebiasaan yang merugikan: 43 persen melampiaskan dengan makan berlebihan, 34 persen merokok, dan 21 persen menyalahgunakan alkohol atau narkoba demi menenangkan perasaan kesepian.

Ini juga terlihat saat pandemi COVID-19, saat kesepian akibat karantina dan pembatasan sosial memperburuk kondisi kesehatan masyarakat. Orang jadi cenderung makan lebih banyak, berhenti berolahraga, dan kualitas tidur yang buruk.

Pola hidup inilah yang sangat menentukan arah kesehatan seseorang di masa depan.

6. Penurunan sistem imun

Hubungan sosial mendukung sistem imun. Dalam sebuah penelitian, orang yang terpapar virus pilek jauh lebih kecil kemungkinannya jatuh sakit jika mereka memiliki setidaknya enam peran sosial (misalnya sebagai orang tua, pasangan, sahabat, anggota keluarga, rekan kerja, atau anggota komunitas/klub), dibanding mereka yang hanya memiliki tiga atau lebih sedikit peran sosial.

Studi lainnya tentang vaksinasi COVID-19, temuannya menunjukkan bahwa orang yang merasa terputus dari tetangga dan lingkungannya memiliki respons imun yang lebih lemah terhadap vaksin, dibandingkan mereka yang merasa terhubung.

Dari bukti-bukti di atas, bisa disimpulkan bahwa makin banyak kamu merasa terhubung, makin kuat pula tubuh melawan penyakit.

7. Merusak kualitas tidur

Kesepian juga dapat berdampak buruk pada kualitas tidur. Pada orang dewasa yang lebih tua, kesepian terbukti berkaitan dengan tidur yang kurang, baik dari segi durasi maupun kualitas. Tidur mereka cenderung terfragmentasi, mudah terbangun, dan lebih sering terganggu. Agar benar-benar bisa tidur nyenyak, manusia butuh rasa aman di lingkungannya. Tanpa rasa keterhubungan itu, otak tetap waspada seakan-akan ada ancaman, sebut para peneliti.

Kurang tidur yang berlangsung terus-menerus konsekuensinya besar buat kesehatan. Kurang tidur kronis dapat meningkatkan risiko obesitas, penyakit jantung, diabetes tipe 2, hingga gangguan kekebalan tubuh. Kurang tidur kronis juga dikaitkan dengan penurunan fungsi kognitif dan meningkatnya risiko demensia saat usia lanjut.

8. Risiko diabetes meningkat

ilustrasi diabetes (IDN Times/Novaya Siantita)
ilustrasi diabetes (IDN Times/Novaya Siantita)

Orang dengan hubungan sosial yang lemah lebih rentan terhadap diabetes dan komplikasinya, serta mengalami kesulitan dalam mengelola diabetes.

Dalam sebuah studi longitudinal besar, ditemukan bahwa faktor-faktor seperti dukungan sosial rendah, tekanan sosial, dan peristiwa stres tinggi terbukti meningkatkan risiko munculnya diabetes tipe 2.

Meskipun ukuran jaringan sosial tidak selalu signifikan, tetapi adanya tekanan sosial menyebabkan peningkatan risiko sebesar 21 persen, dan peristiwa stres sebesar 24 persen. Bahkan setelah dikendalikan untuk faktor perilaku kesehatan seperti indeks massa tubuh (IMT), merokok, olahraga, dan diet, hubungan tersebut tetap nyata.

Yang menarik, studi ini juga menyoroti bahwa kualitas hubungan, di luar jumlah hubungan, berperan penting dalam mencegah diabetes, terlepas dari kebiasaan hidup seseorang.

Studi lainnya menemukan bahwa partisipan dengan dukungan sosial rendah memiliki pengetahuan lebih buruk tentang diabetes dan komplikasinya, serta kemampuan self-care yang lebih lemah. Temuan ini menegaskan bahwa kurangnya dukungan sosial tidak hanya menaikkan risiko, tetapi juga memperburuk pengelolaan diabetes yang sedang berlangsung.

9. Memperpendek usia

Baik hidup sendirian maupun merasa kesepian secara subjektif meningkatkan risiko kematian dini, masing-masing sebesar 32 persen dan 26 persen, menurut temuan metaanalisis besar yang melibatkan lebih dari 3,4 juta partisipan. Bahkan setelah mempertimbangkan faktor-faktor pembaur lain, kesimpulan itu tetap konsisten.

Menurut para peneliti, ketika kamu sendirian atau terpisah dari kelompok, kamu pada dasarnya harus menghadapi segala sesuatu sendiri. Otak kita jadi lebih waspada, seakan-akan selalu berada dalam kondisi siaga, mirip dengan mode fight or flight. Artinya, kesepian membuat tubuh terus berada dalam keadaan waspada dan ini dapat menguras energi dan kesehatan.

Kabar baiknya, studi lainnya menemukan bahwa koneksi sosial yang kuat dapat menurunkan risiko kematian dini hingga 50 persen. Dalam studi yang mengikuti lebih dari 308.000 orang selama 7,5 tahun, mereka yang memiliki ikatan sosial lemah terbukti berisiko lebih besar mengalami masalah kesehatan, bahkan lebih tinggi dibanding risiko yang ditimbulkan oleh polusi udara, obesitas, merokok, atau konsumsi alkohol berlebihan.

Apakah kamu rentan mengalami kesepian?

Kesepian dan isolasi sosial tidak datang begitu saja. Ada faktor-faktor yang dapat membuat kamu lebih rentan mengalaminya.

  • Kehilangan mobilitas membuat melangkah keluar rumah bisa menjadi tantangan besar.
  • Masalah penglihatan atau pendengaran juga dapat memutus jembatan komunikasi, membuat percakapan terasa berat, dan perlahan menjauhkan dari interaksi sosial.
  • Tantangan psikologis atau kognitif, seperti depresi atau gangguan daya ingat, bisa menambah rasa terasing.
  • Perasaan kehilangan arah atau hilangnya tujuan hidup, yang kerap muncul setelah pensiun atau saat menghadapi perubahan besar dalam hidup, misalnya kehilangan orang tercinta.
  • Kesulitan finansial, hidup sendirian, tidak punya kendaraan/tidak ada akses transportasi, atau ketergantungan pada orang lain untuk sekadar keluar rumah juga menjadi dinding pemisah dari dunia luar.
  • Kurangnya dukungan sosial, atau harus menghabiskan banyak waktu untuk merawat anggota keluarga yang sakit hingga lupa merawat diri sendiri.
  • Tinggal di lingkungan pedesaan yang terpencil, rawan, atau sulit dijangkau juga membuat kesempatan bersosialisasi makin sempit.
  • Pengalaman diskriminasi—karena usia, latar belakang etnis, atau orientasi seksual—yang membuat seseorang merasa tidak diterima.
  • Perbedaan bahasa juga bisa menjadi penghalang untuk terhubung dengan orang-orang di sekitar.

Faktor-faktor di atas bisa menarik kamu ke dalam lingkaran isolasi sosial dan kesepian.

Cara perlahan keluar dari kesepian

ilustrasi mengobrol bersama sahabat (pexels.com/MART  PRODUCTION)
ilustrasi mengobrol bersama sahabat (pexels.com/MART PRODUCTION)

Psikolog sosial asal Amerika, John T. Cacioppo, merancang sebuah langkah praktis yang dinamakan "EASE", sebuah panduan sederhana untuk membantu kamu keluar dari lingkaran kesepian.

  • E: Extend yourself, yaitu buka diri. Mulailah dengan hal kecil, seperti menyapa seseorang, mengajak ngobrol ringan, dan jaga kontak mata saat berinteraksi.
  • A: Action plan, yaitu membuat rencana. Pikirkan tempat atau kegiatan di mana kamu bisa bertemu orang dengan minat yang sama, misalnya ikut paduan suara, komunitas olahraga, atau klub hobi.
  • S: Selection, yaitu memilih dengan bijak. Fokuslah membangun hubungan dengan orang-orang yang benar-benar ingin kamu jadikan teman, lalu investasikan waktu dan perhatian pada beberapa relasi yang bermakna.
  • E: Expect the best, yakni berpikir positif. Percayalah bahwa orang-orang di sekitarmu pada dasarnya berniat baik dan menerima kehadiranmu.

Referensi

"Social connection linked to improved health and reduced risk of early death." World Health Organization. Diakses September 2025.

"Dealing with loneliness." National Health Service. Diakses September 2025.

Raheel Mushtaq et al., “Relationship Between Loneliness, Psychiatric Disorders and Physical Health ? A Review on the Psychological Aspects of Loneliness,” JOURNAL OF CLINICAL AND DIAGNOSTIC RESEARCH, January 1, 2014, https://doi.org/10.7860/jcdr/2014/10077.4828.

Siu Long Lee et al., “The Association Between Loneliness and Depressive Symptoms Among Adults Aged 50 Years and Older: A 12-year Population-based Cohort Study,” The Lancet Psychiatry 8, no. 1 (November 9, 2020): 48–57, https://doi.org/10.1016/s2215-0366(20)30383-7.

"What Does the Science Say About How Loneliness Affects Our Health?" Everyday Health. Diakses September 2025.

"Ways Loneliness Can Harm Your Health — and How to Cut Your Risks." AARP. Diakses September 2025.

Nicole K Valtorta et al., “Loneliness and Social Isolation as Risk Factors for Coronary Heart Disease and Stroke: Systematic Review and Meta-analysis of Longitudinal Observational Studies,” Heart 102, no. 13 (April 18, 2016): 1009–16, https://doi.org/10.1136/heartjnl-2015-308790.

Yenee Soh et al., “Chronic Loneliness and the Risk of Incident Stroke in Middle and Late Adulthood: A Longitudinal Cohort Study of U.S. Older Adults,” EClinicalMedicine 73 (June 25, 2024): 102639, https://doi.org/10.1016/j.eclinm.2024.102639.

"Social isolation, loneliness can damage heart and brain health, report says." American Heart Association. Diakses September 2025.

"Why More Middle-Aged Adults Are Having Strokes — and How to Prevent One." AARP. Diakses September 2025.

"What is inflammation?" Harvard Health Publishing. Diakses September 2025.

"Inflammation." Cleveland Clinic. Diakses September 2025.

Kimberley J. Smith et al., “The Association Between Loneliness, Social Isolation and Inflammation: A Systematic Review and Meta-analysis,” Neuroscience & Biobehavioral Reviews 112 (February 21, 2020): 519–41, https://doi.org/10.1016/j.neubiorev.2020.02.002.

Martina Luchetti et al., “A Meta-analysis of Loneliness and Risk of Dementia Using Longitudinal Data From ≫600,000 Individuals,” Nature Mental Health 2, no. 11 (October 9, 2024): 1350–61, https://doi.org/10.1038/s44220-024-00328-9.

Sanaz Mehranfar et al., “Adverse Changes in Close Social Ties Reduce Fruit and Vegetable Intake in Aging Adults: A Prospective Gender-sensitive Study of the Canadian Longitudinal Study on Aging (CLSA),” International Journal of Behavioral Nutrition and Physical Activity 22, no. 1 (August 13, 2025), https://doi.org/10.1186/s12966-025-01807-7.

Julianne Holt-Lunstad, “Loneliness and Social Isolation as Risk Factors: The Power of Social Connection in Prevention,” American Journal of Lifestyle Medicine 15, no. 5 (May 6, 2021): 567–73, https://doi.org/10.1177/15598276211009454.

Laurie McLay et al., “Loneliness and Social Isolation Is Associated With Sleep Problems Among Older Community Dwelling Women and Men With Complex Needs,” Scientific Reports 11, no. 1 (March 1, 2021), https://doi.org/10.1038/s41598-021-83778-w.

Lianne M. Kurina et al., “Loneliness Is Associated With Sleep Fragmentation in a Communal Society,” SLEEP 34, no. 11 (October 31, 2011): 1519–26, https://doi.org/10.5665/sleep.1390.

Institute of Medicine (US) Committee on Sleep Medicine and Research; Colten HR, Altevogt BM, editors. Sleep Disorders and Sleep Deprivation: An Unmet Public Health Problem. Washington (DC): National Academies Press (US); 2006. 3, Extent and Health Consequences of Chronic Sleep Loss and Sleep Disorders. Available from: https://www.ncbi.nlm.nih.gov/books/NBK19961/

Julianne Holt-Lunstad et al., “Loneliness and Social Isolation as Risk Factors for Mortality,” Perspectives on Psychological Science 10, no. 2 (March 1, 2015): 227–37, https://doi.org/10.1177/1745691614568352.

Julianne Holt-Lunstad, Timothy B. Smith, and J. Bradley Layton, “Social Relationships and Mortality Risk: A Meta-analytic Review,” PLoS Medicine 7, no. 7 (July 27, 2010): e1000316, https://doi.org/10.1371/journal.pmed.1000316.

Michael Hendryx et al., “Social Relationships and Risk of Type 2 Diabetes Among Postmenopausal Women,” The Journals of Gerontology Series B 75, no. 7 (April 21, 2019): 1597–1608, https://doi.org/10.1093/geronb/gbz047.

Mahmoud M. Werfalli et al., “Does Social Support Effect Knowledge and Diabetes Self-management Practices in Older Persons With Type 2 Diabetes Attending Primary Care Clinics in Cape Town, South Africa?,” PLoS ONE 15, no. 3 (March 13, 2020): e0230173, https://doi.org/10.1371/journal.pone.0230173.

"Loneliness and Social Isolation — Tips for Staying Connected." National Institute on Aging. Diakses September 2025.

"Loneliness — a danger to our health." Karolinska Institutet. Diakses September 2025.

Share
Editor’s Picks
Topics
Editorial Team
Bayu D. Wicaksono
Nuruliar F
3+
Bayu D. Wicaksono
EditorBayu D. Wicaksono
Follow Us

Latest in Health

See More

7 Kesalahan Diet Rendah Karbo yang Perlu Dihindari

04 Sep 2025, 06:42 WIBHealth