Baca artikel IDN Times lainnya di IDN App
For
You

GAVI: Masih Banyak Negara Tidak Mendapat Vaksin

World One Health Congress 2022 (WOHC 2022) di Singapura (IDN Times/Alfonsus Adi Putra)

Singapura, IDN Times - Pandemik COVID-19 mengajarkan dunia dan umat manusia banyak hal. Salah satu pelajaran tersebut adalah bagaimana manusia harus berkolaborasi dan transparan untuk mengalahkan pandemik.

Memang, dunia bisa menangani pandemik dengan meramu vaksin COVID-19 dengan kecepatan yang mencetak sejarah baru. Namun, para ahli justru menyoroti ketimpangan vaksinasi saat pandemik COVID-19.

Jasa GAVI untuk dunia

GAVI, The Vaccine Alliance (who.int)

Berbicara secara virtual dalam perhelatan World One Health Congress (WOHC) 2022 di Singapura pada Rabu (9/11), CEO GAVI Vaccine Alliance, Seth Berkley, menyatakan sejak terbentuk pada 2000, misi GAVI adalah untuk meningkatkan akses vaksin, diagnosis, dan terapeutik.

"Sekarang, kami juga tengah mempertimbangkan akses diagnosis penyakit yang bisa dicegah vaksin," tuturnya.

GAVI telah membantu vaksinasi lebih dari 1 juta anak-anak dan mencegah 600 juta kematian di luar COVID-19. Selain itu, Seth mengatakan bahwa GAVI telah melindungi setengah populasi dunia dari penyakit menular yang mematikan.

"Ini tercapai hanya melalui akses vaksin yang merata dan perluasan imunisasi rutin untuk negara-negara berpenghasilan rendah," kata Seth.

Salah satu misi GAVI adalah melindungi anak-anak dunia melalui imunisasi rutin. Selain mencegah wabah, Seth menjelaskan bahwa perlu ada platform untuk intervensi alternatif.

"Ini membantu meningkatkan kesiapan dan respons pandemik karena titik kontak pertama manusia dengan layanan kesehatan saat mereka sakit adalah layanan kesehatan primer. Oleh sebab itu, ini amat penting untuk memantau penyakit menular," papar Seth.

Untuk menjangkau lebih banyak anak yang belum mendapatkan vaksin di negara-negara berkembang, GAVI turut membantu meningkatkan sistem peringatan dini. Selain itu, GAVI memainkan peran penting dalam meningkatkan keamanan kesehatan dunia dengan memantau stok vaksin demam kuning, ebola, kolera, hingga meningitis.

Celah yang harus dibenahi

Mengenai vaksinasi saat pandemik, Seth mengatakan bahwa vaksinasi masih menjadi celah yang perlu segera dibenahi bidang kesehatan global. Saat COVID-19 melanda, Seth melihat perlunya solusi global agar penduduk negara berpenghasilan rendah tidak merana.

Hasilnya adalah kerja sama multilateral, seperti COVAX dan access to COVID-19 tool accelerator (ACT-A), yang membawa semua pemangku kepentingan agar menyediakan akses vaksin, diagnosis, dan terapeutik yang merata.

"Dengan vaksin, kita amat diuntungkan oleh banyaknya karya luar biasa dari komunitas dan industri sains. Kita mendapatkan puluhan vaksin yang aman nan efektif," ujar Seth.

Dengan akses vaksin COVAX, negara berpenghasilan rendah mendapatkan dosis vaksinasi COVID-19 pertama hanya 39 hari setelah negara-negara berpenghasilan tinggi. COVAX telah menggelontorkan lebih dari 1,8 miliar dosis vaksin ke 146 negara, dan 1,6 miliar dosis ditujukan ke 92 negara berpenghasilan rendah.

"Pembagian vaksin dunia terbesar dan rumit ini telah menolong negara-negara melindungi 51 persen masyarakatnya, sepadan dengan rata-rata penduduk global sebanyak 63 persen," ia memaparkan.

Negara maju masih menimbun vaksin

Meskipun sudah ada mekanisme untuk mengatasi rintangan finansial vaksinasi yang didukung lebih dari 195 pemerintahan dan industri, tetapi masih ada masalah yang perlu diatasi. Apa saja?

"Penimbunan vaksin oleh negara-negara maju, larangan ekspor vaksin dan komponen penting untuk memproduksi vaksin, dan kurangnya transparansi produsen vaksin menghambat pasokan vaksin COVID-19 dunia."

Hal ini menyebabkan hambatan akses ke negara-negara berkembang yang akhirnya merenggut banyak nyawa. Seth menekankan bahwa ini tak bisa terjadi "lain kali".

"Sudah kepastian evolusi bahwa akan ada 'lain kali'. Risiko pandemik di masa depan terus bertambah akibat perubahan iklim, urbanisasi, perpindahan manusia, dan konflik," sebut Seth.

Kemungkinan pandemik sebesar COVID-19 terjadi meningkat hingga 2 persen. Dengan  kata lain, jika seseorang lahir saat ini, ada kemungkinan hingga 38 persen mereka akan mengalami pandemik besar selama hidupnya. Jadi, dunia perlu bersiap.

"Meski COVAX terus menggelontorkan vaksin untuk negara-negara dan ACT-A memulai rencana 6 bulannya untuk mengontrol COVID-19, kita perlu bersiap sebelum pandemik lain terjadi," imbuh Seth.

CEO GAVI, Seth Berkley, memberikan pemaparan secara virtual di WOHC 2022. (IDN Times/Alfonsus Adi Putra)

Sementara COVAX telah melindungi ratusan juta penduduk dunia, Seth mengatakan bahwa hal ini hanya karena ada jaringan kesehatan global yang sudah terpasang sebelum pandemik COVID-19. Dengan begitu, saat dibutuhkan, respons global didukung sumber daya, tenaga ahli, dan infrastruktur.

"Meski begitu, tetap ada batasnya," imbuh Seth.

Oleh sebab itu, perlu respons yang lebih cepat dan berdampak. Salah satu yang ia sarankan adalah tetap mengambil risiko yang diperlukan, seperti memesan vaksin sebagai persiapan.

"Kamu telah bekerja sama dengan donor dan pemangku kepentingan untuk menerima risiko terbesar ... sesuatu yang sulit dilakukan," kata Seth.

Di satu sisi, adanya perjanjian juga dibutuhkan untuk mempermudah jalan. Selain ancaman pandemik, Seth menyarankan investasi untuk kesiapan menghadapi ancaman kesehatan di kehidupan sehari-hari. Ini dilakukan dengan memperluas akses rutin imunisasi kepada negara-negara berpenghasilan rendah.

"Ini bisa menciptakan sistem kesehatan yang andal dan layanan kesehatan yang lebih tangguh," tambahnya.

Tidak boleh ada yang terkucilkan

Seth menceritakan bahwa sekitar 70 persen pendanaan GAVI saat ini membantu meningkatkan kesiapan dan respons pandemik dunia. Namun, ia menekankan bahwa salah satu pelajaran dari COVID-19 adalah perlunya diversifikasi produsen vaksin, terutama di Afrika yang hanya memproduksi 0,1 persen pasokan vaksin dunia.

"Saat COVID-19 melanda dunia, kurangnya pasokan vaksin di benua tersebut akibat penimbunan vaksin dan larangan ekspor menyebabkan banyak rakyat Afrika meninggal karena tak bisa mendapatkan vaksin."

Untungnya, hal ini bisa segera tertangani. Lebih dari 30 produsen vaksin akan hadir di Afrika, hasil dari kerja sama Pusat Pengendalian dan Pencegahan Penyakit Afrika dengan perusahaan obat Afrika yang didukung negara-negara G7 serta Uni Eropa.

ilustrasi vaksinasi (IDN Times/Herka Yanis)

Meski begitu, diversifikasi ini membawa pro dan kontra. Tantangan utama adalah bagaimana hal ini bisa diwujudkan tanpa mengganggu ekosistem vaksin global yang dibangun dengan susah-payah dan telah berjasa menyelamatkan banyak penduduk negara berpendapatan rendah.

"Namun, ini kesempatan besar untuk membentuk kerja sama yang bisa meningkatkan produksi vaksin rutin dan regional, serta profil produk yang meningkat, dan menambah pasokan vaksin di kala pandemik menyerang di masa depan," tutur Seth.

Di sinilah peran GAVI. Saat pertama kali terbentuk, GAVI hanya didukung oleh lima pemasok vaksin di Eropa dan Amerika Utara. Saat ini, GAVI telah didukung oleh 18 produsen vaksin, setengahnya bertempat di ASEAN, dan hanya tujuh di Eropa dan Amerika Utara.

"Sebagai pembeli vaksin dan pemasok vaksin terbesar ke negara-negara Afrika, GAVI akan bekerja sama dengan industri dan pemerintah untuk memainkan perannya," sebut Seth.

Selain ketangguhan vaksinasi untuk pandemik, ia mengungkit pentingnya akses ke imunisasi rutin untuk melindungi penduduk di negara-negara berpendapatan rendah. Akhirnya, misi besar GAVI juga adalah untuk memeratakan akses intervensi medis yang menyelamatkan nyawa melalui kerja sama global dan multilateralisme.

"Kita punya peran sendiri di masa depan agar tak ada yang tertinggal," tandas Seth.

Share
Editor’s Picks
Topics
Editorial Team
Nurulia R F
Alfonsus Adi Putra
Nurulia R F
EditorNurulia R F
Follow Us