Baca artikel IDN Times lainnya di IDN App
For
You

6 Rekomendasi untuk Bersiap Mencegah Pandemik di Masa Depan

Perhelatan WOHC 2022 di Singapura. (IDN Times/Alfonsus Adi Putra)

Hampir taiga tahun sejak dunia menghadapi pandemik COVID-19 untuk pertama kalinya. Dalam selang waktu tersebut, manusia bersatu untuk bisa mengakhiri pandemik secepatnya, mulai dari menggalakkan proses, melarang bepergian, hingga meramu vaksin dalam kecepatan yang mencetak sejarah.

Jadi, selama waktu tersebut, apa saja yang bisa dipelajari? Apa yang bisa dilakukan untuk mempersiapkan diri menghadapi ancaman kesehatan global selanjutnya?

Kabar buruk, dunia tidak sigap melawan pandemik

Dr. Anders Nordström mempresentasikan temuannya di WOHC 2022, Singapura. (Dok. WOHC 2022)

Berbicara di World One Health Congress (WOHC) 2022 di Singapura pada Rabu (9/11/2022), ilmuwan Swedia sekaligus perwakilan Independent Panel for Pandemic Preparedness and Response, Dr. Anders Nordström, memaparkan penilaiannya terhadap kemampuan dunia menghadapi pandemik.

Dalam laporannya bersama 11 peneliti lainnya yang berasal dari lintas negara dan disiplin ilmu, Dr. Nordström mencatat bahwa ada lima temuan utama yang perlu diperhatikan dunia, yaitu: 

  • Dunia telah diperingatkan mengenai pandemik, tetapi tidak bertindak.
  • Waktu terbuang sia-sia.
  • Kebanyakan negara menggunakan pendekatan pasif (tunjuk jari), dan hanya sedikit negara yang bertindak secara aktif.
  • Banyak pemerintahan tak menanggapi COVID-19 dengan serius, menunda tindakan, hingga menciptakan keraguan antara masyarakat, sehingga menyebabkan banyak nyawa melayang.
  • Tak ada pendanaan, dan banyak negara tidak berinvestasi untuk kesiapan pandemik.
  • Pandemik COVID-19 menunjukkan krisis masyarakat.

Banyak waktu terbuang sia-sia

Pada Desember 2019, Dr. Nordström menceritakan bagaimana 41 kasus COVID-19 pertama terdeteksi di Wuhan. Saat itu, Badan Kesehatan Dunia (WHO) segera meminta informasi, dan pada 4 Januari 2020, temuannya baru dikemukakan ke seluruh dunia.

Sementara saat itu waktu yang terbuang sia-sia tidaklah signifikan, ia mengkritik bahwa terlalu lama bagi dunia untuk menanggapi COVID-19 secara serius. Ini karena WHO harus menunggu saran dari komite darurat International Health Regulation (IHR).

"Mereka bertemu pada 22–23 Januari, dan tak ada kesimpulan apa pun. Mereka bertemu lagi seminggu kemudian [30 Januari], barulah COVID-19 dinyatakan PHEIC, dan mereka menunggu saran komite darurat. Tak seharusnya begitu, tetapi itulah yang terjadi," kata pria yang sempat jadi Plt. Direktur Jenderal WHO pada 2006.

Selama rapat tersebut, Dr. Nordström memuji aksi cepat China yang langsung menindaklanjuti wabah di Wuhan sehingga kasus menurun. Saat itu pun, sudah ada 98 kasus di dunia. Bahkan, saat itu, dunia belum bertindak.

"... sampai Dirjen WHO menggunakan kata 'pandemik' pada pertengahan Maret [2020] dan negara-negara Eropa serta Amerika Serikat (AS) melihat penuhnya rumah sakit di Italia, barulah dunia bertindak ... setahun kemudian, 30 Januari 2021, sekitar 100 juta kasus di dunia, bermula dari 98," ia menjelaskan.

Tensi politik dan kepasifan dunia

Selain masalah waktu, Dr. Nordström mencatat bahwa tensi politik juga memiliki peran dalam pandemik COVID-19, terutama antara AS dan China. Karena tak ada tempat untuk mendiskusikan situasi dan perjanjian politik, butuh berbulan-bulan bagi Dewan Keamanan PBB untuk menyatakan COVID-19 sebagai ancaman kesehatan dan keamanan global.

"Kondisi geopolitik saat itu amat sulit ... dan, itulah salah satu temuan kunci yang mengarah ke rekomendasi oleh para panelis," tutur Dr. Nordström.

Kemudian, ia juga menyinggung banyak negara yang saling tunjuk dalam menghadapi pandemik COVID-19. Dimuat dalam jurnal Nature Medicine pada 2021, studi Dr. Nordström melihat penanganan COVID-19 di 28 negara. Hasilnya, negara-negara yang meremehkan bahkan menyangkal COVID-19 justru memiliki kasus lebih banyak.

Sisi baik di balik pandemik COVID-19

ilustrasi vaksin LSD. (IDN Times/Aditya Pratama)

Meski begitu, tidak semuanya buruk. Dalam pengamatannya, Dr. Nordström mencatat bahwa penelitian digunakan secara multidisiplin, pemerintah dunia bertindak secara multidisiplin, berbagai komite kesehatan dan sains bahu-membahu dengan pemerintah, dan komunitas juga ikut terlibat.

"Banyak yang bisa kita bangun dari sini untuk menerapkan One Health sebagai aksi masa depan."

Lalu, Dr. Nordström menjabarkan beberapa hal baik yang terlihat selama pandemik COVID-19, yaitu:

  • Tenaga kesehatan adalah pahlawan dan di banyak negara, mereka berjasa dan terus berusaha tanpa mengenal waktu.
  • Akses data dan penelitian dibuka lebih transparan. Terbukti dari sekuens genome SARS-CoV-2 yang tersedia sejak 2 Januari 2020, dan rekam jejak COVID-19 di China dibagikan kepada dunia.
  • Formulasi vaksin COVID-19 mencetak sejarah.
  • Kesuksesan berbagai negara menangani COVID-19, dan kemakmuran negara bukanlah indikator. Dengan kata lain, negara yang berkembang pun terbukti bisa mengendalikan kasus dibanding negara maju.

Salah satu pelajaran yang Dr. Nordström contohkan adalah bagaimana India menangani pandemik. Meski sempat kewalahan karena gelombang B.1.617.2 (Delta) hingga kekurangan oksigen, India bergerak cepat mengubah alur produksi oksigen, sehingga pasien COVID-19 yang dirawat inap bisa tertolong.

Vaksinasi harus adil dan merata

Saat pandemik COVID-19, vaksin diramu dalam waktu setahun, bukan bertahun-tahun. Meski ada pro dan kontra, efikasi vaksinasi COVID-19 terbukti dan akses dibuka secara kilat. Sayangnya, Dr. Nordström mencatat bahwa banyak negara maju yang justru menimbun vaksin, 5 persen dari yang sebenarnya dibutuhkan.

"Ini adalah masalah besar yang harus kita cegah di masa depan," katanya.

Dalam wabah tertentu, vaksin harus siap sedia. Belajar dari pandemik COVID-19, baik vaksinasi COVID-19 dan pendanaan tak tersedia secara cepat. Jadi, meskipun vaksin COVID-19 tersedia, bagi Dr. Nordström, tidak tepat waktu.

Rekomendasi untuk bersiap menghadapi darurat kesehatan global di masa depan

ilustrasi SARS-CoV-2 dalam satu tetes droplet (pixabay.com/geralt)

Jadi, menakar penilaian-penilaian tersebut, apa yang perlu dunia lakukan untuk mempersiapkan bidang kesehatannya? Doktor Nordström mencatat beberapa rekomendasinya dan tim, yaitu:

  • Membentuk dewan kesehatan global di bawah naungan Majelis Umum PBB (UNGA) yang merespons negara-negara di seluruh dunia.
  • Membentuk kerangka penanganan pandemik skala internasional baru.
  • Memberi kewenangan kepada WHO untuk segera membuat pernyataan tanpa menunggu persetujuan negara-negara, serta hak bagi WHO untuk mengunjungi situs pandemik demi misi verifikasi.
  • Berinvestasi untuk kesiapan pandemik sekarang, bukan saat wabah terjadi. Dan, saat wabah terjadi, pendanaan bisa tersedia secara cepat. Dana yang direkomendasikan adalah US$10–15 miliar (Rp160–Rp235 triliun).
  • Penelitian sistem pengawasan, pembagian informasi, dan peringatan terbaru untuk mendeteksi wabah dan pandemik.
  • Platform untuk vaksin, diagnosis, dan terapi penyakit terbaru untuk dunia, belajar dari access to COVID-19 tool accelerator (ACT-A) dan COVAX. 

Saat ini, baginya belum ada perubahan signifikan, sementara negara-negara dunia sedang berbenah. Menurutnya, jika ini semua diikuti, maka pandemik bisa dihindari di masa depan.

"Apakah wabah baru berpotensi hadir? Iya. Namun, bisakah kita menghindari pandemik? Bisa! Jika kita belajar dan memenuhi rekomendasi ini," tandasnya.

Share
Editor’s Picks
Topics
Editorial Team
Nurulia R F
Alfonsus Adi Putra
Nurulia R F
EditorNurulia R F
Follow Us