Baca artikel IDN Times lainnya di IDN App
For
You

Kenapa Skizofrenia Sering Dikaitkan dengan Halusinasi?

ilustrasi skizofrenia (pexels.com/cottonbro studio)
ilustrasi skizofrenia (pexels.com/cottonbro studio)

Skizofrenia merupakan salah satu gangguan kesehatan mental yang paling sering menimbulkan pertanyaan karena gejalanya kerap membuat orang keliru dalam memahami kondisi ini. Salah satu gejala yang paling dikenal luas adalah halusinasi, terutama halusinasi pendengaran, yang sering membuat pengidapnya kesulitan membedakan antara kenyataan dengan sesuatu yang sebenarnya tidak terjadi. Hubungan antara skizofrenia dan halusinasi tidak bisa dilepaskan begitu saja karena ada penjelasan ilmiah di balik kemunculannya.

Meski begitu, tidak semua orang dengan skizofrenia mengalami halusinasi, sehingga penting untuk melihat fenomena ini secara lebih utuh. Untuk memahami keterkaitan keduanya, perlu dibahas dari berbagai sudut pandang yang melibatkan fungsi otak, pengaruh lingkungan, hingga dampaknya pada kehidupan sehari-hari. Berikut lima penjelasan yang bisa membantu menjawab mengapa skizofrenia sering dikaitkan dengan halusinasi.

1. Aktivitas otak mengalami gangguan pemrosesan informasi

ilustrasi skizofrenia (pexels.com/Andrew Neel)
ilustrasi skizofrenia (pexels.com/Andrew Neel)

Penelitian menunjukkan bahwa pada skizofrenia terdapat gangguan pada bagian otak yang berhubungan dengan persepsi, terutama korteks prefrontal dan temporal. Area ini seharusnya berperan dalam memilah informasi mana yang nyata dan mana yang imajinatif, tetapi pada skizofrenia terjadi gangguan sehingga rangsangan internal bisa terasa seperti pengalaman nyata. Hal ini menjelaskan mengapa halusinasi pendengaran sering terjadi, seperti mendengar suara yang tidak berasal dari luar.

Selain itu, ketidakseimbangan neurotransmiter, khususnya dopamin, juga punya peran yang penting. Dopamin yang berlebih membuat otak menafsirkan sinyal biasa sebagai sesuatu yang bermakna besar. Akibatnya, otak bisa menciptakan persepsi yang salah dan dianggap nyata. Mekanisme biologis inilah yang kemudian membuat pengidap skizofrenia menjadi lebih rentan mengalami halusinasi.

2. Stres sosial meningkatkan risiko terjadinya gejala

ilustrasi skizofrenia (pexels.com/Gerd Altmann)
ilustrasi skizofrenia (pexels.com/Gerd Altmann)

Lingkungan yang penuh tekanan dapat memperburuk gejala skizofrenia. Stres yang berkepanjangan memicu pelepasan hormon kortisol yang berlebihan, sehingga otak semakin sulit menjaga keseimbangan dalam memproses informasi. Dalam kondisi ini, halusinasi bisa muncul lebih intens, misalnya ketika seseorang merasa diawasi atau mendengar suara yang menyalahkan dirinya.

Faktor sosial seperti diskriminasi, kesepian, atau minimnya dukungan keluarga juga memperparah situasi. Ketika tidak ada ruang aman untuk berbagi, pikiran menjadi semakin terjebak dalam ketegangan internal. Hal ini memperbesar kemungkinan otak menciptakan realitas palsu sebagai bentuk pelarian dari tekanan yang dialami.

3. Pola tidur yang terganggu memicu halusinasi

ilustrasi tidur (pexels.com/Andrea Piacquadio)
ilustrasi tidur (pexels.com/Andrea Piacquadio)

Banyak pengidap skizofrenia mengalami kesulitan tidur, baik berupa insomnia maupun tidur yang tidak teratur. Kekurangan tidur dapat menurunkan kemampuan otak dalam memilah realitas, sehingga ilusi atau halusinasi lebih mudah muncul. Kondisi ini mirip dengan pengalaman orang sehat yang mengalami mimpi singkat ketika kurang tidur, hanya saja pada skizofrenia intensitasnya jauh lebih kuat.

Tidur yang terganggu juga berdampak pada kestabilan emosi. Otak yang kelelahan membuat individu sulit mengendalikan rasa cemas, marah, atau takut. Kombinasi antara kelelahan fisik dan ketidakstabilan emosional menciptakan ruang yang lebih besar bagi munculnya halusinasi.

4. Ingatan emosional memengaruhi persepsi yang salah

ilustrasi skizofrenia (pexels.com/Engin Akyurt)
ilustrasi skizofrenia (pexels.com/Engin Akyurt)

Otak manusia menyimpan pengalaman emosional yang  begitu kuat di dalam memori jangka panjang mereka. Pada pengidap skizofrenia, memori emosional ini bisa muncul kembali dalam bentuk halusinasi, seperti mendengar suara orang yang dulu pernah melukai perasaan. Hal ini terjadi karena otak gagal memisahkan memori dari realitas saat ini.

Ketika memori emosional yang penuh trauma muncul tanpa kendali, individu bisa merasa seolah-olah peristiwa itu sedang berlangsung kembali. Halusinasi kemudian menjadi wujud nyata dari pengalaman emosional yang tidak terselesaikan. Inilah sebabnya mengapa beberapa orang dengan skizofrenia mengalami halusinasi yang bernuansa negatif.

5. Kurangnya dukungan membuat halusinasi lebih sulit terkendali

ilustrasi skizofrenia (pexels.com/Pavel Danilyuk)
ilustrasi skizofrenia (pexels.com/Pavel Danilyuk)

Selain faktor biologis dan psikologis, dukungan sosial sangat berpengaruh dalam membantu seseorang menghadapi gejala skizofrenia. Tanpa adanya keluarga atau teman yang bisa memahami, pengidap akan lebih kesulitan membedakan kenyataan dari halusinasi. Rasa terisolasi memperburuk kondisi karena membuat individu semakin percaya pada persepsi yang salah.

Sebaliknya, dukungan yang memadai dapat membantu meredakan intensitas halusinasi. Kehadiran orang lain yang dipercaya juga mampu menjadi pengingat bahwa suara atau bayangan yang dirasakan seseorang tidak nyata. Dukungan seperti ini berfungsi sebagai jangkar yang membantu individu tetap terhubung dengan kenyataan.

Keterkaitan antara skizofrenia dan halusinasi berakar pada kombinasi banyak faktor yang saling memengaruhi. Memahami hal ini bukan hanya soal melihat gejala, tetapi juga bagaimana kondisi tersebut terbentuk dan berkembang dalam kehidupan sehari-hari. Dengan begitu, kita bisa melihat skizofrenia secara lebih utuh tanpa melabeli atau menyederhanakan pengalaman pengidapnya.

Referensi

"What to Know About Hallucinations and Schizophrenia". Healthline. Diakses pada September 2025.

"An In-Depth Look at the Different Types of Hallucinations in Schizophrenia". Good Health Psychiatric Service. Diakses pada September 2025.

"Hallucinations". Cleveland Clinic. Diakses pada September 2025.

"Schizophrenia". World Health Organization (WHO). Diakses pada September 2025.

This article is written by our community writers and has been carefully reviewed by our editorial team. We strive to provide the most accurate and reliable information, ensuring high standards of quality, credibility, and trustworthiness.
Share
Editor’s Picks
Topics
Editorial Team
Izza Namira
EditorIzza Namira
Follow Us

Latest in Health

See More

[QUIZ] Seberapa Jeli Matamu Menebak Organ Tubuh Manusia Ini?

04 Sep 2025, 12:12 WIBHealth