Baca artikel IDN Times lainnya di IDN App
For
You

Silent Illness Pascabanjir, Ancaman Kesehatan di Kemudian Hari

Sunarsih saat menuju ke rumahnya yang terendam banjir.
Sunarsih saat menuju ke rumahnya yang terendam banjir (IDN Times/Eko Agus Herianto)
Intinya sih...
  • Banyak penyakit serius tidak langsung muncul saat banjir. Gejalanya dapat terlambat berminggu-minggu.
  • Leptospirosis, infeksi kulit tertunda, gangguan tidur dan PTSD termasuk contoh nyata. Pencegahan dan deteksi dini krusial.
  • Kelompok rentan (anak, lansia, orang dengan sistem kekebalan tubuh lemah, petugas evakuasi) perlu pemantauan jangka panjang dan akses layanan kesehatan.
Disclaimer: This summary was created using Artificial Intelligence (AI)

Banjir sering meninggalkan jejak yang terlihat jelas, seperti rumah kotor dan lembap, perabot rusak, dan hari-hari yang penuh pekerjaan untuk memulihkan keadaan. Saat air akhirnya surut, banyak orang berharap masa sulit ikut hilang. Namun, bagi sebagian keluarga, itu tidak berhenti di sana.

Justru setelah kehidupan kembali normal, beberapa masalah kesehatan mungkin baru mulai terasa. Gejalanya tidak selalu langsung muncul, dan inilah yang membuat kondisi-kondisi ini kerap luput dari perhatian.

Dalam dunia kesehatan, masalah-masalah yang muncul tertunda ini dikenal sebagai “silent illnesses”. Istilah ini kerap dipakai dalam konteks bencana, merujuk pada kondisi medis yang tidak segera tampak saat kejadian, tetapi berkembang di kemudian hari, sering kali tanpa tanda spesifik pada awalnya sehingga mudah terabaikan. Di lingkungan pascabanjir, paparan mikroba, jamur, bahan kimia, luka luka kecil, dan stres psikologis bisa menjadi pemicu.

Terus baca artikel ini untuk tahu beberapa silent illnesses yang dapat muncul pascabanjir, kenapa bisa terjadi, siapa yang paling rentan, dan langkah pencegahan praktis yang bisa dilakukan.

1. Leptospirosis

Leptospirosis adalah penyakit yang disebabkan oleh bakteri Leptospira dan sering dikaitkan dengan paparan air atau tanah yang tercemar urine hewan (terutama tikus).

Inkubasinya bisa singkat atau cukup lama; umumnya muncul 5–14 hari setelah paparan, tetapi rentangnya bisa sampai 2–30 hari. Karena itu, seseorang sering baru sakit berminggu-minggu setelah terlibat dalam evakuasi, pembersihan rumah, atau kontak dengan genangan.

Gejala awal leptospirosis tidak spesifik, sepertidemam, sakit kepala, nyeri otot, mual, atau mata merah. Karena menyerupai banyak penyakit lain, diagnosisnya sering terlambat, padahal pada sebagian kecil kasus penyakit dapat menjadi parah (gagal ginjal, gangguan hati, perdarahan). Oleh karena itu, tenaga medis harus menanyakan riwayat paparan air banjir saat menangani pasien yang mengalami demam pascabanjir.

Praktisnya, jika mengalami demam dalam 1–4 minggu setelah terpapar air banjir, segera periksakan ke fasilitas kesehatan dan sebutkan riwayat paparan. Jika terbukti leptospirosis, pengobatan dengan antibiotik efektif jika diberikan lebih awal, dan ini mengurangi risiko komplikasi serius.

2. Dermatitis kontak tertunda dan infeksi kulit sekunder

Kulit adalah bagian tubuh yang pertama kali bersentuhan langsung dengan lumpur, kontaminan, dan bahan kimia setelah banjir. Dua bentuk yang sering muncul adalah dermatitis kontak iritan (iritasi langsung oleh bahan kimia/air kotor) dan dermatitis kontak alergi (respons imun yang bisa muncul 24–72 jam setelah paparan).

Saat banjir, iritan seperti detergen, minyak, atau bahan industri yang bercampur dalam air dapat memicu reaksi kulit yang kadang baru terlihat setelah beberapa hari.

Selain itu, kulit yang rusak (lecet, tergores) mudah terinfeksi bakteri seperti Staphylococcus aureus atau Streptococcus sehingga dapat berkembang menjadi selulitis atau abses, kondisi yang mungkin tampak sebagai bengkak, kemerahan, atau nanah beberapa hari sampai minggu setelah luka kecil. Studi literatur pada kejadian banjir menunjukkan bahwa penyakit kulit sering kali menjadi keluhan utama di tahap pemulihan pascabanjir.

Untuk mencegahnya, hindari kontak langsung dengan air genangan; gunakan sarung tangan dan sepatu bot saat membersihkan; bilas kulit segera dengan air bersih; rawat luka kecil dengan antiseptik dan perban; serta konsultasi dengan dokter jika ada tanda infeksi.

3. Infeksi pernapasan dan paparan jamur (mold) pascabanjir

Rumah warga di Desa Laut Dendang terdampak banjir.
Rumah warga di Desa Laut Dendang terdampak banjir (IDN Times/Eko Agus Herianto)

Setelah banjir, kondisi rumah yang lembap menjadi tempat ideal bagi pertumbuhan jamur. Paparan spora jamur bisa menimbulkan gejala pernapasan, dari mulai hidung tersumbat, batuk, hingga serangan asma dan, pada orang yang kekebalan tubuhnya lemah, infeksi jamur invasif yang serius.

Risiko gangguan napas dan infeksi jamur dapat meningkat selama proses pembersihan dan renovasi rumah pascabanjir, terutama jika area yang rusak tidak benar-benar dikeringkan dan dibersihkan.

Gejala sering muncul setelah beberapa hari sampai minggu, terutama ketika orang kembali tinggal di rumah yang belum sepenuhnya kering. Orang dengan asma, alergi pernapasan, atau gangguan kekebalan lebih rentan terhadap efek ini, dan gejala dapat terus berlanjut jika sumber jamur tidak dihilangkan.

Langkah pencegahan yang bisa dilakukan meliputi mengeringkan rumah secepat mungkin, pakai alat pengering/ventilasi, buang bahan berpori (karpet, gipsum basah, dll.) yang terkontaminasi, dan gunakan alat pelindung diri (APD) saat membersihkan jamur. Jika mengalami sesak napas atau batuk yang tak kunjung hilang, sebaiknya segera temui dokter.

4. Gangguan tidur dan insomnia pascabencana

Setelah bencana, seperti banjir, gangguan tidur bisa muncul beberapa minggu kemudian dan berlangsung lama. Penelitian pada korban bencana menunjukkan peningkatan insomnia, tidur terfragmentasi (tidur yang sering terputus-putus sepanjang malam), dan kualitas tidur menurun—efek yang bisa bertahan berbulan-bulan jika tidak ditangani. Gangguan tidur memperburuk pemulihan fisik dan kesehatan mental secara umum.

Faktor penyebabnya beragam, seperti stres pasca evakuasi, kehilangan tempat tinggal, kondisi tidur sementara, hingga kebisingan dan kecemasan terhadap hujan atau longsor berikutnya. Gangguan tidur juga melemahkan sistem kekebalan dan meningkatkan risiko infeksi.

Intervensi sederhana seperti menjaga rutinitas tidur, lingkungan tidur yang tenang dan gelap jika memungkinkan, keterlibatan layanan psikososial, atau konsultasi medis jika insomnia menetap dapat membantu mencegah konsekuensi jangka panjang.

5. Trauma psikologis: PTSD dan gangguan suasana hati

Reaksi trauma tidak selalu muncul saat hari-hari awal banjir menghantam. PTSD, kecemasan berat, dan depresi dapat berkembang beberapa minggu sampai bulan setelah bencana. Literatur menunjukkan prevalensi PTSD yang cukup tinggi pada korban banjir; gejalanya bisa meliputi kilas balik, mimpi buruk, kewaspadaan yang berlebihan, hingga penarikan sosial. Selain itu, kesehatan fisik, tidur, dan kemampuan bekerja juga terpengaruh.

Penanganan yang efektif melibatkan dukungan psikososial awal (psychological first aid), akses terapi, serta integrasi dukungan komunitas. Mengabaikan gangguan ini bisa menyebabkan masalah kronis yang memengaruhi fungsi keluarga dan komunitas.

Disarankan untuk memantau perubahan perilaku pada anak dan orang dewasa; dorong percakapan terbuka; manfaatkan layanan kesehatan mental setempat; dan jika perlu, rujuk ke layanan profesional untuk terapi terstruktur.

6. Penyakit tropis terkait banjir dan penyakit bawaan vektor yang meningkat kemudian

Seorang anak penyintas banjir membawa logistik yang dibagikan relawan di Kecamatan Kuala Simpang, Jumat (5/12/2025).
Seorang anak penyintas banjir membawa logistik yang dibagikan relawan di Kecamatan Kuala Simpang, Jumat (5/12/2025). (IDN Times/Prayugo Utomo)

Di beberapa wilayah tropis, bakteri lingkungan seperti Burkholderia pseudomallei (penyebab melioidosis) telah dikaitkan dengan kejadian pascabanjir. Kasus bisa muncul beberapa hari sampai minggu setelah paparan tanah atau air terkontaminasi.

Selain itu, genangan sisa banjir menjadi tempat berkembang biak nyamuk yang setelah beberapa minggu dapat meningkatkan transmisi penyakit seperti demam dengue atau chikungunya.

Karena gejala tidak selalu spesifik (demam, nyeri otot, gangguan pernapasan), diagnosis memerlukan kecurigaan klinis dan riwayat paparan banjir. Di daerah endemis, tenaga kesehatan perlu waspada terhadap penyakit-penyakit ini pada pasien demam pascabanjir.

Pencegahan meliputi pengendalian vektor (menguras genangan, kelambu), penggunaan kelengkapan pelindung saat kontak dengan tanah/air, dan sistem rujukan cepat untuk kasus demam

Siapa saja yang paling rentan?

Kelompok paling rentan pascabanjir meliputi anak-anak, lansia, orang dengan penyakit kronis (diabetes, penyakit paru, penyakit jantung), orang yang sistem kekebalannya lemah, dan petugas relawan/anggota tim pembersihan.

Mereka rentan karena kombinasi faktor: sistem imun yang lemah atau belum matang (anak), komorbiditas yang memperburuk infeksi (lansia/diabetes), serta frekuensi dan durasi paparan pada petugas pembersihan.

Selain itu, mereka yang tinggal di rumah berisiko tinggi (struktur rusak, ventilasi buruk) atau yang mengalami kehilangan dukungan sosial cenderung mengalami gangguan tidur dan masalah mental yang berkepanjangan.

Penanganan pascabencana harus mengutamakan screening dan akses layanan untuk kelompok-kelompok ini.

Pencegahan dan deteksi dini

Dua anak penyintas banjir membawa kucing peliharaan, Minggu (7/12/2025).  Banjir menerjang Kabupaten Aceh Tamiang, Aceh sejak Rabu (25/11/2025).
Dua anak penyintas banjir membawa kucing peliharaan, Minggu (7/12/2025). Banjir menerjang Kabupaten Aceh Tamiang, Aceh sejak Rabu (25/11/2025). (IDN Times/Prayugo Utomo)

Beberapa hal bisa dilakukan untuk mencegah dan deteksi dini, seperti:

  • Jaga kebersihan dan hindari kontak langsung: gunakan sarung tangan, sepatu bot, masker saat membersihkan; segera bersihkan dan rawat luka kecil; jangan gunakan makanan/minuman yang terkontaminasi.
  • Keringkan dan bersihkan rumah dengan cepat: singkirkan bahan berpori yang terkontaminasi, pakai pengering/ventilasi, dan waspadai pertumbuhan jamur. Jika tidak memungkinkan untuk membersihkan sendiri, minta bantuan profesional.
  • Pantau gejala demam/infeksi: jika mengalami demam, nyeri otot, jaundice, batuk menetap, atau tanda infeksi kulit dalam 2–4 minggu pascabanjir, sebaiknya segera periksakan ke fasilitas kesehatan. Ini penting agar penyakit seperti leptospirosis atau melioidosis dapat ditangani secara cepat.
  • Perhatikan kesehatan mental dan tidur: ciptakan rutinitas tidur, buka ruang bicara di komunitas, manfaatkan dukungan psikososial awal dan layanan dukungan kesehatan mental dan psikososial jika ada. Pemeriksaan dini dan dukungan bisa mencegah masalah berlanjut.
  • Vaksinasi dan layanan kesehatan preventif: pastikan status imunisasi (misalnya tetanus jika ada luka berat), dan akses pemeriksaan rutin bagi pasien penyakit kronis. Meskipun banjir tidak selalu meningkatkan risiko tetanus, tetapi luka yang kotor tetap bisa berbahaya.

Beberapa konsekuensi banjir bisa muncul di kemudian hari. Silent illnesses seperti leptospirosis, dermatitis kontak yang tertunda, infeksi jamur pernapasan, gangguan tidur, dan PTSD dapat muncul berminggu-minggu setelah air surut. Jadi, kewaspadaan jangka panjang dan tindakan pencegahan sangat penting.

Menjaga kebersihan, pakai alat pelindung saat pembersihan, memantau gejala, dan mencari bantuan medis atau dukungan psikososial bila diperlukan dapat membantu memperkecil risiko komplikasi yang bisa jadi jauh lebih berat daripada kerusakan materi.

Referensi

"Clinical Overview of Leptospirosis." Centers for Disease Control and Prevention (CDC). Diakses Desember 2025.

"Public health advice on protecting your health before, during and after floods." World Health Organization (WHO). Diakses Desember 2025.

Therdpong Tempark et al., “Flood‐related Skin Diseases: A Literature Review,” International Journal of Dermatology 52, no. 10 (September 23, 2013): 1168–76, https://doi.org/10.1111/ijd.12064.

Graham Litchman et al., “Contact Dermatitis,” StatPearls - NCBI Bookshelf, September 4, 2023, https://www.ncbi.nlm.nih.gov/books/NBK459230/.

"Mold Can Make You Sick After Floods." CDC. Diakses Desember 2025.

Mohamad Golitaleb et al., “Prevalence of Post-traumatic Stress Disorder After Flood: A Systematic Review and Meta-Analysis,” Frontiers in Psychiatry 13 (June 23, 2022): 890671, https://doi.org/10.3389/fpsyt.2022.890671.

Yujeong Kim and Haeyoung Lee, “Sleep Problems Among Disaster Victims: A Long-Term Survey on the Life Changes of Disaster Victims in Korea,” International Journal of Environmental Research and Public Health 18, no. 6 (March 23, 2021): 3294, https://doi.org/10.3390/ijerph18063294.

"IASC Guidelines for mental health and psychosocial support in emergency settings." WHO. Diakses Desember 2025.

Arjun, Rajalakshmi, Abdul Ghafur, et al. "A cluster of cases of melioidosis following floods in Chennai, India." Journal of Contemporary Clinical Practice 3, no. 2 (2017): 50+. Gale OneFile: Health and Medicine (accessed December 9, 2025). https://link.gale.com/apps/doc/A558822636/HRCA?u=anon~a6dbe3c1&sid=googleScholar&xid=7371244c.

Share
Topics
Editorial Team
Nuruliar F
EditorNuruliar F
Follow Us

Latest in Health

See More

Silent Illness Pascabanjir, Ancaman Kesehatan di Kemudian Hari

10 Des 2025, 05:05 WIBHealth