Baca artikel IDN Times lainnya di IDN App
For
You

5 Tanda Kamu Sedang Terjebak di 'Persona Mode', Disadari!

Ilustrasi seorang wanita (Pexels.com/cottonbro studio)
Intinya sih...
  • Jangan biarkan "persona mode" membuatmu kehilangan koneksi dengan nilai-nilai asli yang meaningful.
  • Ketika kamu lupa rasanya jadi diri sendiri, kamu bisa kehilangan arah dan merasa kosong dalam hidupmu.
  • Dorongan untuk selalu tampil "baik" bisa membuatmu terjebak dalam ekspektasi yang melelahkan dan kehilangan minat pada hal-hal yang dulu bikin hidup terasa punya warna.

Kamu pernah merasa capek banget padahal seharian gak banyak ngapa-ngapain? Bisa jadi bukan tubuhmu yang lelah, tapi jiwamu yang kelelahan karena terus-menerus "berperan" jadi versi diri yang bukan kamu. Dalam psikologi, ini sering disebut sebagai persona mode—kondisi ketika seseorang menampilkan topeng sosial demi diterima, dipuji, atau terlihat “baik” di mata orang lain. Masalahnya, makin lama kamu bertahan di mode ini, makin kamu jauh dari diri sendiri.

Sama seperti baterai yang terus dipaksa nyala di mode hemat, hidup dalam persona mode bikin kamu kehilangan koneksi dengan nilai-nilai asli yang bikin hidupmu meaningful. Gak salah kok sesekali menyesuaikan diri, tapi kalau sampai kamu lupa rasanya jadi diri sendiri—itu alarm keras yang harus kamu dengar. Yuk, kenali lima tanda kamu mungkin lagi terjebak di persona mode. Siapa tahu, ini jadi momen buat kamu balik ke versi paling jujur dari diri kamu sendiri.

1. Kamu sering setuju, padahal dalam hati berkebalikan

Ilustrasi seorang wanita (Pexels.com/cottonbro studio)

Pernah gak sih kamu ikut-ikutan setuju dalam obrolan, padahal hatimu berteriak "gak juga, kok"? Misalnya, semua bilang kerja di startup itu overrated, dan kamu cuma mengangguk, walau sebenarnya kamu punya pengalaman yang seru banget di sana. Nah, ini bukan soal pendapat doang, tapi tentang kebiasaan menekan suara hati sendiri demi “main aman” atau biar dianggap asik. Tanpa sadar, kamu mulai lupa rasanya ngomong jujur.

Kalau ini terus berlanjut, kamu bisa kehilangan arah soal apa yang sebenarnya kamu percaya. Jangka panjangnya, kamu bakal merasa kosong, karena hidupmu dipenuhi keputusan yang bukan kamu banget. Jadi, coba tanya ke diri sendiri: kamu setuju karena memang yakin, atau cuma biar gak ribet?

2. Selalu berusaha tampil "baik" dan sempurna di semua situasi

Ilustrasi seorang pria (Pexels.com/cottonbro studio)

Kelihatan ideal, ya. Tapi kenyataannya, dorongan buat selalu jadi "baik" bisa bikin kamu terjebak di ekspektasi yang melelahkan. Kamu jadi gak enak nolak, gak berani kelihatan capek, bahkan merasa gagal kalau gak bisa nyenengin semua orang. Padahal jadi manusia itu gak harus selalu tampil prima. Kita berhak lelah, bingung, dan bikin kesalahan.

Kalau kamu terus-menerus perform demi validasi, kamu sedang membangun citra, bukan hidup. Dan citra itu, meski terlihat cemerlang di luar, bisa sangat rapuh di dalam. Kamu berhak jadi versi kamu yang real, bukan versi editan buat dapet tepuk tangan.

3. Kehilangan minat terhadap hal-hal yang dulu bikin kamu semangat

Ilustrasi seorang wanita (Pexels.com/cottonbro studio)

Dulu kamu suka nulis, gambar, atau dengerin musik indie tiap malam. Sekarang? Semua itu terasa asing. Bukan karena kamu berubah, tapi karena kamu terlalu sibuk ngejar standar yang orang lain tentukan buat kamu. Persona mode sering bikin kita terlalu fokus terlihat on track, sampai lupa berhenti dan menikmati hal-hal kecil yang dulu bikin hidup terasa punya warna.

Hilangnya minat ini bukan hal sepele. Itu bisa jadi sinyal bahwa kamu sedang terputus dari identitas aslimu. Saat kamu udah gak tahu lagi hal apa yang bikin kamu bahagia, itulah saatnya berhenti sebentar dan re-connect sama dirimu sendiri. Tanyakan lagi: hal apa sih yang bikin kamu hidup, bukan cuma “jalanin hidup”?

4. Takut dinilai "berbeda" atau "gak cocok" sama lingkunganmu

Ilustrasi seorang wanita (Pexels.com/George Milton)

Kamu mungkin pernah mikir: “Kalau aku bicara ini, nanti dibilang aneh gak ya?” atau “Kalau aku tampil kayak gini, masih diterima gak ya di circle ini?” Ketakutan itu valid, tapi kalau jadi alasan kamu selalu mengubah diri biar cocok sama lingkungan, kamu sedang menjauh dari jati dirimu. Dan ironisnya, makin kamu berusaha cocok, makin kamu merasa sendirian.

Ingat, cocok belum tentu cocok secara hati. Kadang kamu merasa diterima, tapi bukan sebagai kamu yang sebenarnya. Dan hidup kayak gitu—terus menyesuaikan diri biar muat di “bentuk” yang orang lain buat—itu capek banget. Lebih baik punya sedikit orang yang nerima kamu apa adanya, daripada banyak yang suka versi palsu kamu.

5. Kamu merasa gak punya ruang buat jujur ke diri sendiri

Ilustrasi seorang pria (Pexels.com/cottonbro studio)

Ini mungkin yang paling diam-diam tapi paling bahaya: ketika kamu mulai nutup-nutupin hal-hal yang kamu rasain dari dirimu sendiri. Misalnya, kamu tahu kamu sebenarnya gak bahagia, tapi kamu terus bilang ke diri sendiri, “Ah, ini cuma fase.” Atau kamu sadar hubunganmu toksik, tapi kamu pura-pura gak lihat. Ini bukan denial biasa—ini sudah jadi bagian dari persona kamu, yang terlalu takut ngakuin kalau kamu butuh berubah arah.

Menjadi jujur ke diri sendiri itu sulit, tapi juga satu-satunya jalan buat tumbuh secara sehat. Kamu gak harus punya semua jawabannya sekarang. Cukup berani mengakui perasaanmu, dan itu udah langkah besar buat balik jadi versi kamu yang utuh.

Menjadi versi terbaik dari diri sendiri bukan soal sempurna, tapi soal autentik. Gak usah terus pakai topeng yang bikin kamu lelah cuma buat diterima. Kamu boleh kok beda, gagal, bahkan kelihatan “gak keren”—asal kamu tahu itu semua datang dari kamu yang jujur. Dunia gak butuh kamu yang “pas” di mata semua orang, tapi butuh kamu yang hadir utuh, real, dan hidup. Balik ke versi asli kamu bukan berarti mundur; itu artinya kamu mulai melangkah ke arah yang benar.

This article is written by our community writers and has been carefully reviewed by our editorial team. We strive to provide the most accurate and reliable information, ensuring high standards of quality, credibility, and trustworthiness.
Share
Editor’s Picks
Topics
Editorial Team
Merry Wulan
EditorMerry Wulan
Follow Us