Aktivis 98 Temui Kapolri, Minta Penjelasan Aksi Represif ke Demonstran

- Aktivis 98 meminta pertanggungjawaban Kapolri terkait represivitas polisi terhadap demonstran menolak RUU Pilkada.
- Tuntutan dilayangkan oleh berbagai pihak, termasuk Forum Guru Besar, akademisi, pegiat HAM, dan pengacara senior.
- Pengacara senior Todung Mulya Lubis menilai tindakan represif polisi melanggar UU Kepolisian Nomor 2 tahun 2002.
Jakarta, IDN Times - Represivitas anggota Polri terhadap demonstran yang menolak Rancangan Undang-Undang (RUU) Pilkada di sejumlah daerah akhir-akhir ini menuai kecaman. Demonstran banyak mengalami intimidasi dan penganiayaan aparat.
Hal tersebut membuat Aktivis 98, Forum Guru Besar, akademisi dan pegiat HAM mendatangi Mabes Polri pada hari ini, Rabu (28/8/2024), untuk menemui Kapolri Jenderal Pol Listyo Sigit Prabowo.
"Kami ingin mempertanyakan mengapa kebijakan keamanan kepolisian, bersifat represif terhadap mahasiswa yang menggelar aksi-aksi yang sangat damai," kata Direktur Eksekutif Amnesty Internasional Indonesia yang juga aktivis 1998, Usman Hamid, di Mabes Polri.
1. Aktivis 98 minta Kapolri bertanggung jawab

Selain itu, Aktivis 98 juga bakal memintai pertanguungjawaban Kapolri atas keseluruhan tindakan kekerasan polisi dalam menangani unjuk rasa yang berlangsung di Jakarta, Bandung, Semarang, Surabaya, dan di berbagai wilayah lainnya.
“Baik itu dalam bentuk pembubaran yang tidak perlu melalui water cannon, gas air mata, atau kekerasan yang tidak perlu memukul, menendang, dan melakukan tindakan kekerasan lain, termasuk melakukan penangkapan dan penahanan secara sewenang-wenang, bahkan terhadap anak,” ujarnya.
2. Polisi bukan alat untuk menyiksa

Sementara itu, pengacara senior Todung Mulya Lubis yang juga hadir di Mabes Polri turut menyayangkan tindakan represif aparat terhadap demonstran.
Hal tersebut dinilai menyalahi UU Kepolisian Tahun 2002 Nomor 2 bahwa tugas polisi itu menjaga ketertiban, mengayomi dan melindungi warga negara sesuai dengan prinsip HAM.
“Kita ini ingin polisi Indonesia yang betul-betul profesional, lebih punya empati, lebih tunduk dan sadar bahwa mereka harus melaksanakan hukum dan hak asasi manusia. Bukan alat untuk menyiksa atau melakukan represi terhadap warga negara,” kata Todung.
3. Akademisi sesalkan tindakan represif aparat ke mahasiswa

Ketua Sekolah Tinggi Filsafat (STF) Driyarkara, Romo Simon P Lili Tjahjadi menyebut, tindakan represif ke para mahasiswa adalah hal yang terlampau keras dan juga melampaui batas.
"Kalau saya dari dunia kampus melihat apa yang terjadi terhadap adik-adik kami mahasiswa di berbagai tempat di Nusantara, kami menilai bahwa tindakan itu terlalu keras dan juga kelihatannya melampaui batas- batas yang kami bisa toleransi," kata Romo Simon dalam kesempatan yang sama.
"Maka itu tadi kami datang untuk minta pertanggungjawaban, minta klarifikasi ada apa ini dan mengapa tindakan seperti itu dibuat?" imbuhnya.