Mau Diteken Jokowi, Isi Draf Omnibus Law 1.035 Halaman dan 905 Beda?

Ada 3 pasal yang alami perubahan di klaster Ketenagakerjaan

Jakarta, IDN Times - Draf Undang-Undang Cipta Kerja (UU Ciptaker) atau Omnibus Law akhirnya rampung dan siap diteken oleh Presiden Joko "Jokowi" Widodo pada Rabu 14 Oktober 2020 mendatang. Walaupun demikian, keraguan akan keabsahan draf UU Ciptaker masih bermunculan dari berbagai pihak.

Apalagi jika dilihat dari jumlah halaman draf Omnibus Law UU Ciptaker yang dibagikan oleh pimpinan Badan Legislasi (Baleg) DPR kepada wartawan berjumlah 905. Sedangkan, draf UU Ciptaker yang akan diteken Presiden Jokowi ada 1.035 halaman.

Terkait perbedaan jumlah halaman ini, Sekretaris Jenderal DPR RI Indra Iskandar menjelaskan, draf yang berjumlah 1.035 memang berbeda dengan yang tersebar di masyarakat yang berjumlah 905 halaman. Namun, ia menegaskan, tak ada yang berubah dari sisi substansi.

“Itu kan yang paripurna basisnya itu (905 halaman), tapi kemudian itu formatnya kan masih belum dirapikan. Setelah dirapikan spasinya, redaksinya segala macam, nah sekarang sudah dirapikan. Gak ada (yang berubah). Itu hanya typo dan format. Kan format dirapikan, jadinya spasi-spasinya kedorong semuanya halamannya,” kata Indra kepada IDN Times, Senin (12/10/2020).

Untuk membuktikan hal tersebut, IDN Times menelusuri dan membandingkan pasal demi pasal yang terdapat dari dua draf UU Ciptaker, khususnya pada klaster Ketenagakerjaan. Berikut hasilnya:

Baca Juga: Fakta-fakta dalam Seribu Halaman Omnibus Law Cipta Kerja 

1. Muncul ayat baru pada Pasal 79 tentang waktu istirahat dan cuti di draf UU 1.035 halaman

Mau Diteken Jokowi, Isi Draf Omnibus Law 1.035 Halaman dan 905 Beda?Ilustrasi aktivitas buruh di salah satu pabrik kopi di Sumatra Utara. (IDN Times/Prayugo Utomo)

Pada draf UU Ciptaker yang berjumlah 1.035 halaman, terdapat ayat baru di Pasal 79 yaitu ayat 6. Padahal di draf yang berjumlah 905 halaman ayat tersebut tidak tercantum. Dengan demikian, jumlah ayat pada Pasal 79 pun menjadi enam.

Berikut isi lengkap Pasal 79 pada kedua draf UU Ciptaker.

Pada draf UU Ciptaker dengan 905 halaman, Pasal 79 berbunyi:

Pasal 79

(1) Pengusaha wajib memberi:

a. waktu istirahat; dan

b. cuti.

(2) Waktu istirahat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a wajib diberikan kepada pekerja/buruh paling sedikit meliputi:

a. istirahat antara jam kerja, paling sedikit setengah jam setelah bekerja selama 4 (empat) jam terus menerus dan waktu istirahat tersebut tidak termasuk jam kerja; dan

b. istirahat mingguan 1 (satu) hari untuk 6 (enam) hari kerja dalam 1 (satu) minggu.

(3) Cuti sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b yang wajib diberikan kepada pekerja/buruh yaitu cuti tahunan, paling sedikit 12 (dua belas) hari kerja setelah pekerja/buruh yang bersangkutan bekerja selama 12 (dua belas) bulan secara terus menerus.

(4) Pelaksanaan cuti tahunan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) diatur dalam perjanjian kerja, peraturan perusahaan, atau perjanjian kerja bersama.

(5) Selain waktu istirahat dan cuti sebagaimana dimaksud pada ayat (1), ayat (2), dan ayat (3), perusahaan tertentu dapat memberikan istirahat panjang yang diatur dalam perjanjian kerja, peraturan perusahaan, atau perjanjian kerja bersama.

Pada draf UU Ciptaker dengan 1.035 halaman, Pasal 79 berbunyi:

Pasal 79

(1) Pengusaha wajib memberi:

a. waktu istirahat; dan

b. cuti.

(2) Waktu istirahat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a wajib diberikan kepada pekerja/buruh paling sedikit meliputi:

a. istirahat antara jam kerja, paling sedikit setengah jam setelah bekerja selama 4 (empat) jam terus menerus, dan waktu istirahat tersebut tidak termasuk jam kerja; dan

b. istirahat mingguan 1 (satu) hari untuk 6 (enam) hari kerja dalam 1 (satu) minggu.

(3) Cuti sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b yang wajib diberikan kepada pekerja/buruh, yaitu cuti tahunan, paling sedikit 12 (dua belas) hari kerja setelah pekerja/buruh yang bersangkutan bekerja selama 12 (dua belas) bulan secara terus menerus.

(4) Pelaksanaan cuti tahunan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) diatur dalam perjanjian kerja, peraturan perusahaan, atau perjanjian kerja bersama.

(5) Selain waktu istirahat dan cuti sebagaimana dimaksud pada ayat (1), ayat (2), dan ayat (3), perusahaan tertentu dapat memberikan istirahat panjang yang diatur dalam perjanjian kerja, peraturan perusahaan, atau perjanjian kerja bersama.

(6) Ketentuan lebih lanjut mengenai perusahaan tertentu sebagaimana dimaksud pada ayat (5) diatur dengan Peraturan Pemerintah.

2. Pada Pasal 88A tentang upah muncul tiga ayat baru di draf UU yang berjumlah 1.035 halaman

Mau Diteken Jokowi, Isi Draf Omnibus Law 1.035 Halaman dan 905 Beda?IDN Times/Debbie Sutrisno

Selanjutnya, IDN Times juga menemukan ada ayat baru yang muncul di draf UU Ciptaker yang berjumlah 1.035 halaman. Kali ini terlihat pada Pasal 88A.

Sebelumnya didraf RUU 905 halaman, Pasal 88A hanya memiliki lima ayat saja, tetapi di draf 1.035 halaman ada tambahan hingga menjadi delapan ayat. Berikut perbedaannya:

Pada draf UU Ciptaker 905 halaman, Pasal 88A berbunyi:

Pasal 88A

(1) Hak pekerja/buruh atas upah timbul pada saat terjadi hubungan kerja antara pekerja/buruh dengan pengusaha dan berakhir pada saat putusnya hubungan  kerja.

(2) Setiap pekerja/buruh berhak memperoleh upah yang sama untuk pekerjaan yang sama nilainya.

(3) Pengusaha wajib membayar upah kepada pekerja/buruh sesuai dengan kesepakatan.

(4) Pengaturan pengupahan yang ditetapkan atas  kesepakatan antara pengusaha dengan pekerja/buruh atau serikat pekerja/serikat buruh tidak boleh lebih rendah dari ketentuan pengupahan yang ditetapkan dalam peraturan perundang-undangan.

(5) Dalam hal kesepakatan sebagaimana dimaksud pada ayat (4) lebih rendah atau bertentangan dengan peraturan perundang-undangan, kesepakatan tersebut batal demi hukum dan pengaturan pengupahan dilaksanakan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

Pada draf UU Ciptaker 1.035 halaman, Pasal 88A berbunyi:

Pasal 88A

(1) Hak pekerja/buruh atas upah timbul pada saat terjadi hubungan kerja antara pekerja/buruh dengan pengusaha dan berakhir pada saat putusnya hubungan kerja.

(2) Setiap pekerja/buruh berhak memperoleh upah yang sama untuk pekerjaan yang sama nilainya.

(3) Pengusaha wajib membayar upah kepada pekerja/buruh sesuai dengan kesepakatan.

(4) Pengaturan pengupahan yang ditetapkan atas kesepakatan antara pengusaha dan pekerja/buruh atau serikat pekerja/serikat buruh tidak boleh lebih rendah dari ketentuan pengupahan yang ditetapkan dalam peraturan perundang-undangan.

(5) Dalam hal kesepakatan sebagaimana dimaksud pada ayat (4) lebih rendah atau bertentangan dengan peraturan perundang-undangan, kesepakatan tersebut batal demi hukum dan pengaturan pengupahan dilaksanakan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

(6) Pengusaha yang karena kesengajaan atau kelalaiannya mengakibatkan keterlambatan pembayaran upah, dikenakan denda sesuai dengan persentase tertentu dari upah pekerja/buruh.

(7) Pekerja/buruh yang melakukan pelanggaran karena kesengajaan atau kelalaiannya dapat dikenakan denda.

(8) Pemerintah mengatur pengenaan denda kepada pengusaha dan/atau pekerja/buruh dalam pembayaran upah.

3. Ditemukan perubahan redaksional pada Pasal 154A tentang pemutusan hubungan kerja

Mau Diteken Jokowi, Isi Draf Omnibus Law 1.035 Halaman dan 905 Beda?Ilustrasi (ANTARA/Anis Efizudin)

Perbedaan juga terlihat pada isi Pasal 154A UU Ciptaker di kedua draf. Pada pasal tersebut terlihat ada perubahan redaksional hingga penambahan satu huruf pada Pasal 154A Ayat 1 UU Ciptaker. Berikut penjelasannya:

Pada draf UU Ciptaker dengan 905 halaman, Pasal 154A Ayat 1 berbunyi:

Pasal 154A

(1) Pemutusan hubungan kerja dapat terjadi karena alasan:

a. perusahaan melakukan penggabungan, peleburan, pengambilalihan, atau pemisahan perusahaan;

b. perusahaan melakukan efisiensi;

c. perusahaan tutup yang disebabkan karena perusahaan mengalami kerugian;

d. perusahaan tutup yang disebabkan karena keadaan memaksa (force majeur).

e. perusahaan dalam keadaan penundaan kewajiban pembayaran utang;

f. perusahaan pailit;

g. perusahaan melakukan perbuatan yang merugikan pekerja/buruh;

h. pekerja/buruh mengundurkan diri atas kemauan sendiri;

i. pekerja/buruh mangkir;

j. pekerja/buruh melakukan pelanggaran ketentuan yang diatur dalam perjanjian kerja, peraturan perusahaan, atau perjanjian kerja bersama;

k. pekerja/buruh ditahan pihak yang berwajib;

l. pekerja/buruh mengalami sakit berkepanjangan atau cacat akibat kecelakaan kerja dan tidak dapat melakukan pekerjaannya setelah melampaui batas 12 (dua belas) bulan;

m. pekerja/buruh memasuki usia pensiun; atau

n. pekerja/buruh meninggal dunia.

Pada draf UU Ciptaker dengan 1.035 halaman, Pasal 154A Ayat 1 berbunyi:

Pasal 154A

(1) Pemutusan hubungan kerja dapat terjadi karena alasan:

a. perusahaan melakukan penggabungan, peleburan, pengambilalihan, atau pemisahan perusahaan dan pekerja/buruh tidak bersedia melanjutkan hubungan kerja atau pengusaha tidak bersedia menerima pekerja/buruh;

b. perusahaan melakukan efisiensi diikuti dengan penutupan perusahaan atau tidak diikuti dengan penutupan perusahaan yang disebabkan perusahaan mengalami kerugian;

c. perusahaan tutup yang disebabkan karena perusahaan mengalami kerugian secara terus menerus selama 2 (dua) tahun;

d. perusahaan tutup yang disebabkan keadaan memaksa (force majeur).

e. perusahaan dalam keadaan penundaan kewajiban pembayaran utang;

f. perusahaan pailit;

g. adanya permohonan pemutusan hubungan kerja yang diajukan oleh pekerja/buruh dengan alasan pengusaha melakukan perbuatan sebagai berikut:

1. menganiaya, menghina secara kasar atau mengancam pekerja/buruh;

2. membujuk dan/atau menyuruh pekerja/buruh untuk melakukan perbuatan yang bertentangan dengan peraturan perundang-undangan;

3. tidak membayar upah tepat pada waktu yang telah ditentukan selama 3 (tiga) bulan berturutturut atau lebih, meskipun pengusaha membayar upah secara tepat waktu sesudah itu;

4. tidak melakukan kewajiban yang telah dijanjikan kepada pekerja/buruh;

5. memerintahkan pekerja/buruh untuk melaksanakan pekerjaan di luar yang diperjanjikan; atau

6. memberikan pekerjaan yang membahayakan jiwa, keselamatan, kesehatan, dan kesusilaan pekerja/buruh sedangkan pekerjaan tersebut tidak dicantumkan pada perjanjian kerja;

h. adanya putusan lembaga penyelesaian perselisihan hubungan industrial yang menyatakan pengusaha tidak melakukan perbuatan sebagaimana dimaksud pada huruf g terhadap permohonan yang diajukan oleh pekerja/buruh dan pengusaha memutuskan untuk melakukan pemutusan hubungan kerja;

i. pekerja/buruh mengundurkan diri atas kemauan sendiri dan harus memenuhi syarat:

1. mengajukan permohonan pengunduran diri secara tertulis selambat-lambatnya 30 (tiga puluh) hari sebelum tanggal mulai pengunduran diri;

2. tidak terikat dalam ikatan dinas; dan

3. tetap melaksanakan kewajibannya sampai tanggal mulai pengunduran diri;

j. pekerja/buruh mangkir selama 5 (lima) hari kerja atau lebih berturut-turut tanpa keterangan secara tertulis yang dilengkapi dengan bukti yang sah dan telah dipanggil oleh pengusaha 2 (dua) kali secara patut dan tertulis;

k. pekerja/buruh melakukan pelanggaran ketentuan yang diatur dalam perjanjian kerja, peraturan perusahaan, atau perjanjian kerja bersama dan sebelumnya telah diberikan surat peringatan pertama, kedua, dan ketiga secara berturut-turut masing-masing berlaku untuk paling lama 6 (enam) bulan kecuali ditetapkan lain dalam perjanjian kerja, peraturan perusahaan, atau perjanjian kerja bersama;

l. pekerja/buruh tidak dapat melakukan pekerjaan selama 6 (enam) bulan akibat ditahan pihak yang berwajib karena diduga melakukan tindak pidana;

m. pekerja/buruh mengalami sakit berkepanjangan atau cacat akibat kecelakaan kerja dan tidak dapat melakukan pekerjaannya setelah melampaui batas 12 (dua belas) bulan;

n. pekerja/buruh memasuki usia pensiun; atau

o. pekerja/buruh meninggal dunia. 

Berikut link unduh draf UU Cipta Kerja yang didapatkan IDN Times dari Baleg DPR RI.

Baca Juga: Mengingat Pertama Kali Omnibus Law Diperkenalkan Jokowi

Topik:

  • Sunariyah
  • Septi Riyani

Berita Terkini Lainnya