Anak Muda Kritik COP30 Minim Atasi Krisis Iklim

- Dominasi lobi fosil dan minimnya ambisi
- Kehadiran anak muda sebatas cheklist
- Serahkan dokumen LCOY ke ketua delegasi
Jakarta, IDN Times – Konferensi Perubahan Iklim Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) ke-30 atau COP30 yang baru saja usai digelar di Belém, Brasil, pada November 2025, menyisakan catatan kritis bagi delegasi masyarakat sipil Indonesia. Digadang-gadang sebagai "COP of the People" (COP Rakyat) karena berlokasi di jantung hutan Amazon, perhelatan ini diharapkan menjadi panggung utama bagi masyarakat adat dan solusi berbasis komunitas. Namun, realitas di meja perundingan dinilai masih jauh dari harapan tersebut.
Faradilla, perwakilan dari Climate Rangers Indonesia yang hadir langsung di Brasil, mengungkapkan adanya kesenjangan besar antara slogan konferensi dengan hasil negosiasi.
"COP30 ini digadang-gadang sebagai COP of the Truth atau COP Implementasi. Mereka mau highlight masyarakat adat (indigenous people). Tapi nyatanya, masyarakat adat tidak terlalu diberi tempat bersuara. Justru lobi-lobi fosil dan korporasi batubara yang lebih mendominasi," ungkap Faradilla kepada IDN Times, Rabu (26/11/2025).
1. Dominasi lobi fosil dan minimnya ambisi

Selama berada di Brasil, Faradilla dan tim Climate Rangers membagi peran dalam tiga lini utama: kampanye, pengisian acara pendamping (side events), dan pemantauan negosiasi. Fokus utama mereka meliputi desakan pendanaan adaptasi iklim, penghentian bahan bakar fosil (fossil fuel phase-out), dan transisi berkeadilan (just transition).
Namun, hasil akhir negosiasi dinilai mengecewakan. Menurut Faradilla, kesepakatan yang tercipta tidak menyentuh akar permasalahan, yakni ketergantungan pada energi kotor.
"Hasil negosiasinya ternyata tidak membahas bagaimana cara kita menyetop ketergantungan ke batubara. Fokus ke energi terbarukan juga tidak maksimal. Jadi, secara umum hasilnya kurang sesuai ekspektasi," tegasnya.
Ia juga menyoroti bahwa isu keadilan iklim (climate justice) belum terakomodasi dengan baik. Isu-isu kemanusiaan global dan hak asasi manusia yang berkaitan dengan krisis iklim masih terpinggirkan oleh kepentingan industri.
2. Kehadiran anak muda sebatas cheklist

Salah satu sorotan tajam delegasi muda Indonesia adalah mengenai pelibatan orang muda dalam pengambilan keputusan. Faradilla menyebutkan adanya fenomena "tokenisme", di mana kehadiran anak muda hanya dijadikan formalitas semata.
Hal ini terlihat dari draf awal dokumen "Mutirão Decision" di COP30 yang sempat tidak mencantumkan peran pemuda. Setelah melalui advokasi ketat bersama jejaring pemuda global seperti YOUNGO, peran pemuda akhirnya diakui. Namun, pengakuan tersebut dinilai belum bermakna jika tidak diikuti rencana aksi konkret.
"Sering kali kita dilibatkan, tapi itu hanya tokenism. Sekadar untuk men-checklist angka statistik bahwa sudah ada perwakilan orang muda, perempuan, atau masyarakat adat. Tapi suara dan solusi yang kami berikan tidak masuk dalam action plan. Kami ingin partisipasi yang bermakna (meaningful participation), bukan sekadar hadir," jelas Faradilla.
3. Serahkan dokumen LCOY ke ketua delegasi

Dalam upaya membawa aspirasi dari akar rumput, Climate Rangers membawa dokumen National Youth Statement ke Brasil. Dokumen ini merupakan hasil dari Local Conference of Youth (LCOY) yang digelar di Jakarta sebelum keberangkatan ke COP30. Aspirasi ini dikumpulkan dari delegasi pemuda yang diterbangkan dari 30 provinsi di Indonesia, mulai dari Sumatera, Kalimantan, hingga Papua.
"Kami menggunakan pendekatan bottom-up. Isu di tiap daerah berbeda, misalnya di Sumatera tentang PLTU, di Kalimantan tentang deforestasi. Kami gabungkan menjadi isu nasional," paparnya.
Dokumen tersebut diserahkan langsung oleh tim Climate Rangers kepada Ketua Delegasi Indonesia, Hashim Djojohadikusumo. Meski demikian, Faradilla menilai respons yang diterima masih bersifat normatif.
"Responnya datar saja, tidak positif banget, tapi juga tidak menolak. Dokumen diterima, namun kami belum melihat komitmen yang kuat untuk menindaklanjutinya," ujarnya.
4. Anak muda harus bergerak karena jadi Masyarakat terdampak

Meskipun menghadapi jalan terjal di tingkat diplomasi internasional, Faradilla menegaskan bahwa anak muda tidak akan berhenti bersuara. Baginya, ini bukan lagi soal "perubahan iklim", melainkan "krisis iklim" yang dampaknya sudah dirasakan nyata, mulai dari cuaca ekstrem yang tak menentu hingga ancaman bencana hidrometeorologi.
"Kenapa orang muda harus bergerak? Karena kita adalah korban dari generasi sebelumnya yang sudah merusak lingkungan. Kita harus bertanggung jawab agar anak cucu kita nanti tidak merasakan dampak yang lebih parah. Agar alam kembali lestari dan adil," ucapnya penuh penekanan.
Pasca-COP30, Climate Rangers berkomitmen untuk terus mengawal kebijakan pemerintah, termasuk memantau realisasi pendanaan Just Energy Transition dan mekanisme adaptasi iklim di tanah air.
"Advokasi harus terus berjalan. Kami akan terus melakukan analisis kebijakan dan memantau, karena kalau bukan kita yang berusaha, siapa lagi?"katanya.
Faradilla berharap pemerintah melibatkan anak muda dalam mengambil keputusan yang berkaitan dengan masalah iklim. Dia mengakui bahwa memang berbagai pertemuan, perwakilan anak muda diundang namun hanya sebatas formalitas semata.
"Orang muda bisa lebih dilibatkan dalam pengambilan keputusan yang berkaitan dengan iklim. Karena Climate Rangers itu pernah memiliki riset, terus di riset kami itu (disebutkan) orang muda adalah salah satu pihak yang memang paling terdampak. Takutya hanya formalitas," katanya.
5. Masyarakat sipil paling terdampak krisis iklim dan rugikan ekonomi nasional hingga Rp 544 triliun

Sebelumnya sejumlah kelompok masyarakat sipil (CSO) mengajak masyarakat memantau negosiasi Indonesia di Konferensi ke-30 Perubahan Iklim Perserikatan Bangsa-bangsa (COP30) di Belém, Brasil. Sebab, dampak perubahan iklim diperkirakan merugikan ekonomi nasional hingga Rp 544 triliun.
Berbagai elemen masyarakat sipil yakni Purpose Indonesia, CERAH, Enter Nusantara, Greenpeace Indonesia, Coaction Indonesia, Katadata Green, Climate Rangers Jakarta, dan The Habibie Center akhirnya meluncurkan laman Indonesiadicop.id sebagai hub komunikasi yang menyediakan informasi negosiasi delegasi Indonesia dalam COP30.
Tsabita Rantawi, Junior Campaigner Purpose Indonesia, menyampaikan masyarakat sipil merupakan yang paling terdampak krisis iklim, sehingga penting bagi masyarakat untuk menggaungkan suaranya di ajang COP30 ini.
"Itu jadi alasan suara kita penting, tapi biasanya masyarakat bingung mau diamplifikasi ke mana suaranya? Mereka bingung juga mempelajari dan mencari data tentang isu iklim ini di mana? Maka dari itu Indonesiadicop.id lahir untuk menjadi hub informasi," kata Tsabita.
Dengan banyaknya hal yang menjadi pembahasan dan negosiasi dalam COP30, Iqbal Damanik, Climate and Energy Manager Greenpeace Indonesia mengapresiasi laman Indonesiadicop.id ini sebagai wadah yang bisa membantu masyarakat memahami dan menyuarakan isu maupun informasi mengenai COP30 ini. Apalagi, delegasi Indonesia dalam gelaran COP30 belum membawa isu keadilan iklim,
Iqbal mendorong anak-anak muda untuk bersuara dan berisik di media sosial mengenai COP30.
"Agenda para delegasi sama sekali tidak menyentuh keadilan generasi, padahal yang akan paling terdampak adalah generasi yang baru tumbuh atau baru lahir," kata Iqbal.


















