API Tolak Gelar Pahlawan Soeharto: Upaya Rekayasa Sejarah Orde Baru

- Soeharto memerintah selama 32 tahun dengan banyak tragedi kemanusiaan, termasuk pembunuhan massal dan penindasan.
- Memberi gelar sekarang sama saja menghentikan proses keadilan
- Pemberian gelar akan memberi sinyal bahwa pelanggaran hak asasi manusia dapat diabaikan dalam sejarah bangsa.
- Pemberian gelar pahlawan kepada Soeharto merupakan penghinaan terhadap korban pelanggaran HAM berat yang belum dituntaskan.
Jakarta, IDN Times - Aliansi Perempuan Indonesia (API) menolak penetapan gelar pahlawan untuk mantan Presiden Soeharto. API menilai Soeharto bukan simbol pengabdian, tapi simbol pengkhianatan terhadap kemanusiaan dan demokrasi.
"Menjadikan Soeharto pahlawan sama saja menghapus jejak darah di tanah air ini. Kami menolak karena pahlawan itu bukan penindas, pahlawan bukan koruptor, pahlawan bukan pembungkam, pahlawan bukan pelupa sejarah. Dan kami menolak politik kelupaan yang kini disusun dan disetir oleh segelintir elite. Kami menolak sejarah direkayasa demi mencuci nama penguasa lama," tegas perwakilan YAPPIKA/FPP, Sari Wijaya dalam konferensi pers, Minggu (2/11/2025).
1. Sejarah harus ditempuh tuntaskan

Dia menegaskan sejarah bukan untuk dilupakan tapi untuk dituntaskan bukan juga memutihkan luka. Selama 32 tahun berkuasa, rezim Soeharto dibangun di atas darah, penindasan, dan kebohongan.
"Setelah peristiwa 1965, antara 500 ribu hingga 1 juta orang dibunuh, dihilangkan tanpa proses hukum, sekitar 1 juta orang lainnya mungkin masih ada yang dipenjara, distigmatisasi, dan dihapuskan dari kehidupan sosial. Dan masih banyak tragedi-tragedi kemanusiaan yang berlanjut di banyak tempat seperti Tanjung Priok, Talangsari, Aceh, Timor Timur, dan tragedi Mei '98 yang menewaskan banyak korban jiwa, pemerkosaan massal, dan ribuan," ujarnya
2. Memberi gelar sekarang sama saja menghentikan proses keadilan

Menurutnya, pemberian gelar kepada Soeharto akan memberi sinyal bahwa pelanggaran hak asasi, korupsi sistemik, dan impunitas adalah hal yang dapat diabaikan dalam sejarah bangsa.
"Negara belum menyelesaikan akuntabilitas dan pemulihan bagi korban, masih banyak luka yang tak sembuh, banyak keluarga yang menunggu keadilan. Memberi gelar sekarang sama saja dengan menghentikan proses keadilan yang belum selesai. Penghargaan ini bagian dari politik memori dan rekayasa sejarah yang dapat mempengaruhi generasi muda dan persepsi publik terhadap masa lalu," katanya.
3. Penghinaan terhadap hati nurani sebagai manusia.

Sementara Dian Septi perwakilan Marsinah.id menegaskan banyak pelanggaran HAM berat yang belum dituntaskan. Namun, negara coba menutupi sejarah dengan mengangkat seorang Soeharto sebagai pahlawan.
"Ini sinyal bahwa pelanggaran hak asasi manusia dan penyalahgunaan kekuasaan dapat dilupakan, dapat dibenarkan oleh bangsa ini. Artinya di masa mendatang pelanggaran HAM serupa bisa terjadi," ucapnya.
Dia mengatakan pemberian gelar pahlawan kepada Soeharto juga merupakan penghinaan terhadap hati nurani sebagai manusia.
"Ironinya menyandingkan seorang Soeharto dengan tokoh-tokoh lain seperti Marsinah, yang merupakan korban dari rezim militer Soeharto atau Orde Baru. Kita tahu bahwa Marsinah tewas dan diculik, disiksa di bawah rezim Orde Baru, militer Orde Baru Soeharto," katanya


















