Baca artikel IDN Times lainnya di IDN App
For
You

Begini Dampak Jika Putusan MK soal Pemilu Dipisah Tak Ditaati

Ilustrasi gedung Mahkamah Konstitusi (MK). (IDN Times/Yosafat Diva Bayu Wisesa)
Ilustrasi gedung Mahkamah Konstitusi (MK). (IDN Times/Yosafat Diva Bayu Wisesa)
Intinya sih...
  • Jika putusan MK tidak dijalankan, akan muncul gugatan serupa yang akhirnya diterima MK.
  • Pembangkangan konstitusi mewariskan cerminan buruk dalam bernegara.
  • Memicu protes rakyat hingga legitimasi DPR-pemerintah lemah.
Disclaimer: This summary was created using Artificial Intelligence (AI)

Jakarta, IDN Times - Guru Besar Hukum Tata Negara Universitas Sebelas Maret (UNS), Agus Riewanto menegaskan, Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) bersifat mengikat terhadap semua warga negara alias erga omnes. Selain itu, putusan MK juga final dan mengikat sehingga harus dijalankan oleh semua lembaga negara, termasuk pembentuk undang-undang yakni DPR dan pemerintah.

Hal tersebut disampaikan Agus saat menanggapi adanya pihak tertentu yang menyerukan agar Putusan MK Nomor 135 Tahun 2024 soal pemilu dipisah tak perlu diaati karena dianggap inkonstitusional.

"Kalau dibaca dari ketentuan pasal 24C Undang-Undang Dasar 45 itu kan, putusan MK kan bersifat final dan mengikat. Jadi pemaknaan final dan mengikat itu artinya, dia putusan akhir dan mengikat para pihak. Inilah yang disebut dengan asas erga omnes. Erga omnes itu, begitu diputuskan saat itu, dia berlaku untuk para pihak dan seluruh warga negara, termasuk lembaga-lembaga negara," kata dia saat dihubungi IDN Times, Jumat (15/8/2025).

1. Jika tidak ditaati, bisa muncul gugatan serupa yang akhirnya diterima MK

Gedung Mahkamah Konstitusi (IDN Times/Yosafat Diva Bayu Wisesa)
Gedung Mahkamah Konstitusi (IDN Times/Yosafat Diva Bayu Wisesa)

Agus tak memungkiri, memang tidak ada sanksi yang secara eksplisit mengatur jika DPR dan pemerintah sebagai pembentuk undang-undang tidak menjalani putusan MK. Namun ia mengingatkan, DPR dan pemerintah harus menaati putusan MK sebagai perintah konstitusi.

"Memang tidak ada sanksi secara eksplisit, di dalam konstitusi peraturan perundang-undangan, mengenai bagaimana kalau orang tidak melaksanakan itu. Tapi tidak dimaknai demikian karena putusan MK itu final dan mengikat harus dipahami," ungkapnya.

Ia menuturkan, jika putusan MK tidak dijalankan, akan ada gugatan serupa yang diajukan masyarakat, tentu dengan hasil MK kembali mengeluarkan putusan dengan materi yang sama. Dengan demikian, UU yang tak mengakomodir putusan MK itu akan kembali dibatalkan oleh MK.

"Ya kalau konsekuensi tidak dilaksanakan, nanti orang kan menguji lagi ke MK kan, bahwa itu kan dibatalkan MK juga. Itu aja sebenarnya sanksinya. Jadi misalnya putusan 135/2024 nggak dilaksanain, misalnya DPRnya nggak mau nih, membuat pemilu, pemisahan pemilu lokal dan nasional, nanti dibikin undang-undangnya silakan aja. Tapi nanti diuji orang ke MK lagi, nanti MK akan batalkan lagi gitu. Jadi sama saja bohong, kalau dia melawan putusan MK, toh itu akan diuji orang lagi ke MK. Jadi harus dilaksanakan," tuturnya.

2. Pembangkangan konstitusi mewariskan cerminan buruk

Ilustrasi Gedung Mahkamah Konstitusi (MK) di Jakarta Pusat. (IDN Times/Yosafat Diva Bayu Wisesa)
Ilustrasi Gedung Mahkamah Konstitusi (MK) di Jakarta Pusat. (IDN Times/Yosafat Diva Bayu Wisesa)

Agus menilai jika pembuat UU tidak mematuhi Putusan MK, maka fenomena ini jadi cerminan buruk dalam bernegara. Ia pun menuturkan, sikap tidak patuhi itu merupakan pembangkang terhadap konstitusi.

"Ya, sebagai proses bernegara, itu menjadi cermin yang tidak baik. Karena putusan MK itu mengikat bagi lembaga negara maka di Mahkamah Konstitusi, itu adalah lembaga tertinggi yang menafsirkan konstitusi," ucapnya.

"Jadi bernegara itu kan prinsip dasarnya pakai konstitusi. Kalau konstitusi sudah ditafsirkan MK, terus dinyatakan harus berlaku seperti konstitusi, dan orang membangkang, ya itu disebutkan pembangkangan konstitusi namanya. Pembangkangan konstitusi itu dalam bernegara tidak sehat dan tidak baik," sambung dia.

Ia mengingatkan, DPR merupakan lembaga positif legislator yang membuat undang-undang. Sementara, MK sebagai negatif legislator, pihak yang membatalkan UU yang dibuat jika bertentangan dengan konstitusi.

"Nah, 135 itu kan menganggap Undang-Undang Pemilu itu bertentangan dengan konstitusi dalam pemikiran, tafsir MK. Jadi itu harus dilaksanakan," jelas dia.

3. Memicu protes rakyat hingga legitimasi DPR-pemerintah lemah

Ilustrasi gedung Mahkamah Konstitusi (MK). (IDN Times/Santi Dewi)
Ilustrasi gedung Mahkamah Konstitusi (MK). (IDN Times/Santi Dewi)

Pembangkangan konstitusi yang dilakukan pemerintah bisa memicu protes keras masyarakat hingga berujung demonstrasi. Di sisi lain, rakyat semakin tidak percaya dengan DPR dan pemerintah.

"Ya bisa jadi nanti DPR-nya akan dipersoalkan rakyat sendiri ya, bisa memicu demonstrasi misalnya, atau legitimasinya lemah di depan rakyat itu ya. Dan itu akan berdampak buruk pada DPR itu sendiri, dan juga desain ketatanegaraan negara kita yang sudah dibangun sedemikian rupa," imbuh Agus.

Adapun Partai NasDem telah menggelar Rapat Kerja Nasional (Rakernas) I di Makassar, Sulawesi Selatan pada 8-10 Agustus 2025. Rakernas ini menghasilkan beberapa rekomendasi, di antaranya menjaga tegaknya konstitusi, perombakan sistem pemilu, percepatan legislasi pro-rakyat, dan kedaulatan ekonomi nasional.

Wakil Sekretaris Jenderal (Wasekjen) DPP Partai NasDem, Dedy Ramanta mengatakan, dalam bidang hukum, NasDem berkomitmen menjadikan konstitusi sebagai hukum tertinggi. Karena itu, NasDem menolak pemisahan pemilu nasional dan daerah sebagaimana perintah Mahkamah Konstitusi (MK) melalui Putusan Nomor 135/PUU-XXI/2024.

"NasDem dengan lantang menyatakan Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) Nomor 135/2024 sebagai ultra vires—melampaui kewenangan—karena mengubah norma konstitusi adalah domain Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR)," kata Dedy dalam keterangan resmi, Minggu(10/8).

Share
Editor’s Picks
Topics
Editorial Team
Jujuk Ernawati
EditorJujuk Ernawati
Follow Us