Dikabulkan MK, Buruh Desak DPR-Presiden Revisi UU Tapera Jadi Tak Wajib

- MK memerintahkan DPR dan Presiden untuk merevisi UU Tapera tanpa kewajiban bagi pekerja.
- Pertimbangan MK menyatakan bahwa program Tapera menjadi beban bagi pekerja dan dianggap tidak adil.
- MK mengabulkan gugatan UU Tapera yang diajukan oleh KSBSI, serta meminta penataan ulang maksimal 2 tahun setelah putusan ini dibacakan.
Jakarta, IDN Times - Konfederasi Serikat Buruh Sejahtera Indonesia (KSBSI) buka suara soal Mahkamah Konstitusi (MK) mengabulkan seluruh uji materiil Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2016 tentang Tabungan Perumahan Rakyat (UU Tapera) dalam perkara Nomor 96/PUU-XXII/2024.
KSBSI sendiri merupakan pihak Pemohon yang mengajukan gugatan UU Tapera tersebut.
1. DPR dan presiden wajib revisi UU Tapera

Presiden KSBSI, Elly Rosita Silaban menegaskan, MK membatalkan aturan kewajiban bagi pekerja ikut Tapera karena membebani rakyat. Oleh sebab itu ia mendorong agar DPR dan pemerintah melakukan revisi terhadap UU Tapera. Elly mendorong agar frasa wajib dalam aturan tersebut dihapus.
"Hari ini, Senin, 29/9/2025, UU Tapera (UU Nomor 4 Tahun 2016) dibatalkan seluruhnya oleh Mahkamah Konstitusi karena inkonstitusional, membebani rakyat. MK memerintahkan DPR dan Presiden untuk membentuk UU baru tanpa 'wajib', paling lama 2 tahun. Pembatalan UU Tapera ini atas pengujian materiil yang diajukan KSBSI. MK telah menunjukkan independensinya," kata dia kepada IDN Times.
2. Pertimbangan MK tak wajibkan ikut Tapera karena dianggap jadi beban pekerja

Sebelumnya, dalam pertimbangan yang dibacakan Hakim MK, Saldi Isra, disebutkan bahwa program Tapera ini menjadi beban bagi pekerja. Hal tersebut disampaikan Saldi saat membahas mengenai peran pemerintah pusat dan daerah yang mendorong pemberdayaan lembaga keuangan bukan bank dalam pengerahan dan pemupukan dana tabungan perumahan.
Merujuk penjelasan dana Tapera pada Pasal 123 ayat 1 huruf b UU 1/2011 juga tidak memerintahkan adanya kewajiban untuk mengikuti dan menggunakan dana tabungan perumahan dalam rangka memenuhi kebutuhan bertempat tinggal. Oleh karena itu, Pemohon mendalilkan ada ketidakjelasan maksud kata wajib dalam norma Pasal 7 ayat (1) UU 4/2016, padahal Pasal 28D ayat (2) UUD NRI Tahun 1945 menegaskan bahwa, 'Setiap orang berhak untuk bekerja serta mendapat imbalan dan perlakuan yang adil dan layak dalam hubungan kerja'.
MK menilai, Tapera yang diwajibkan memberatkan para pekerja. Terlebih bagi mereka yang terkena PHK atau pengusaha yang dibekukan izin usahanya.
"Dalam kaitan ini, menurut Mahkamah jika norma Pasal 7 ayat (1) UU 4/2016 mewajibkan setiap pekerja, termasuk pekerja mandiri menjadi peserta Tapera, maka hal ini akan menjadi beban pekerja terlebih bagi yang terkena PHK dan/atau Pemberi Kerja yang usahanya telah dibekukan atau dicabut izin usahanya, sehingga berpotensi mendegradasi kehidupan sosial-ekonomi yang semakin menjauhkan negara dalam upaya mewujudkan amanat Pasal 34 ayat (1) UUD NRI Tahun 1945 yang berdampak pada kehidupan ekonomi pekerja maupun pemberi kerja," ucap Saldi dalam sidang pembacaan putusan di Gedung MK, Jakarta Pusat, Senin (29/9/2025).
3. MK kabulkan gugatan UU Tapera, minta ditata ulang maksimal 2 tahun

Ketua MK, Suhartoyo membacakan putusan saat mengabulkan seluruh materi permohonan dalam gugatan UU Tapera.
"Mengabulkan permohonan Pemohon untuk seluruhnya," kata dia.
Dalam putusan yang dibacakan, MK juga meminta agar UU Tapera dilakukan penataan ulang maksimal dua tahun setelah putusan ini dibacakan.
"Menyatakan Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2016 tentang Tabungan Perumahan Rakyat (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2016 Nomor 55, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5863) dinyatakan tetap berlaku dan harus dilakukan penataan ulang dalam waktu paling lama dua tahun sejak putusan a quo diucapkan," ucap Suhartoyo.
Adapun Perkara Nomor 96/PUU-XXII/2024 diajukan Konfederasi Serikat Buruh Seluruh Indonesia (KSBSI) yang mengujikan Pasal 7 ayat (1), Pasal 9 ayat (1) dan ayat (2), Pasal 16, Pasal 17 ayat (1), Pasal 54 ayat (1), dan 72 ayat (1) UU Tapera. Pasal 9 ayat (1) UU Tapera berbunyi, “Pekerja sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 ayat (1) wajib didaftarkan oleh Pemberi Kerja.”
Menurut KSBSI, pasal-pasal tersebut bertentangan dengan Pasal 28D ayat (2), Pasal 28I ayat (2), Pasal 34 ayat (1) UUD 1945. KSBSI menyebutkan upah pekerja/buruh mandiri masih kecil bahkan tidak mencukupi untuk kebutuhan hidup layak, namun diharuskan membayar iuran jaminan sosial yang cukup besar termasuk Tapera, sehingga program Tapera ini tumpang tindih dengan BPJS Ketenagakerjaan.