Cukup Bukti dan Naik Sidik, Kapolres Ngada Belum Tersangka

- Polda NTT belum menetapkan Kapolres Ngada nonaktif sebagai tersangka kekerasan seksual terhadap anak 6 tahun, meskipun Ditreskrimum Polda Metro Jaya telah mengantongi bukti.
- Fajar melakukan pencabulan di hotel dengan identitas SIM, memvideokan aksinya, dan mengunggah ke situs porno Australia yang kemudian diserahkan ke Mabes Polri.
- Pengamat kepolisian mendesak agar Fajar dipecat dari Polri, sementara KPAI mengecam kasus ini dan meminta perbaikan sistem perlindungan anak di Indonesia.
Jakarta, IDN Times - Polda Nusa Tenggara Timur (NTT) belum menetapkan Kapolres Ngada nonaktif AKBP Fajar Widyadharma Lukman sebagai tersangka kekerasan seksual dengan tersangka anak enam tahun. Padahal, berdasarkan hasil penyelidikan, Direktorat Reserse Kriminal Umum (Ditreskrimum) Polda Metro Jaya telah mengantongi cukup bukti.
“Berdasarkan hasil penyelidikan, diyakini bahwa telah terjadi tindak pidana, sehingga pada 4 Maret 2025 perkara ini dinaikkan ke tahap penyidikan, meskipun hingga saat ini belum ada penetapan tersangka,” kata Direktur Reskrimum Polda NTT, Kombes Pol. Patar Silalahi dalam keterangan tertulisnya, Rabu (12/3/2025).
Lalu bagaimana kronologi Kapolres Ngada Fajar memperkosa korban?
1. Pencabulan terjadi pada Juni 2024

Fajar melakukan pencabulan di salah satu kamar hotel di Kupang pada 11 Juni 2024. Ia memesan hotel menggunakan identitas Surat Izin Mengemudi (SIM).
"Jadi tidak terbantahkan lagi, adanya fotokopi SIM di resepsionis salah satu hotel tersebut, atas nama FWSL," ujar Patar.
2. Kapolres bayar Rp3 juta untuk perkosa anak di bawah umur

Fajar kemudian menghubungi temannya seorang wanita berinisial F untuk menghadirkan anak di bawah umur ke kamarnya. Setelah disanggupi, Fajar membayar F Rp3 juta. Setelah tiba di kamar, Fajar melakukan aksi bejatnya sambil memvideokan. Video itu kemudian diunggah Fajar ke situs porno Australia.
Video itu kemudian menjadi perhatian otoritas Australia. Salinan video kemudian diserahkan ke Mabes Polri. Polri pun langsung memerintahkan Polda NTT untuk melakukan penyelidikan pada 23 Januari 2025.
Pada 20 Februari 2025, Fajar diperiksa dan dibawa ke Mabes Polri. Kadiv Propam Polri, Irjen Pol Abdul Karim memerintahkan agar kasus tersebut ditarik dan ditangani langsung oleh Divisi Propam Mabes Polri pada 24 Februari 2025.
3. Polda NTT telah memeriksa 9 saksi

Pada 3 Maret 2025, Ditreskrimum Polda NTT membuat Laporan Polisi Model A dan melakukan serangkaian penyelidikan. Pasal yang diterapkan dalam perkara ini adalah Pasal 6 huruf c dan Pasal 14 Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2022 tentang Tindak Pidana Kekerasan Seksual.
“Saat ini, Ditreskrimum Polda NTT sedang merencanakan pemeriksaan terhadap Kapolres Ngada nonaktif di Jakarta dalam waktu dekat. Hingga saat ini, penyidik telah melakukan pemeriksaan terhadap 9 orang saksi dalam dugaan perkara ini,” ujar Patar.
4. Kapolres Ngada harus dipecat!

Pengamat kepolisian dari Institute for Security and Strategic Studies (ISESS), Bambang Rukminto, mendesak agar eks Kepala Kepolisian Resor (Kapolres) Ngada, Nusa Tenggara Timur (NTT), Ajun Komisaris Besar Polisi (AKBP) Fajar Widyadharma Lukman dipecat dari keanggotaan Polri.
“Satu kata, ‘pecat’ dan proses pidana. Itu sudah mempermalukan institusi penegak hukum dan negara,” kata Bambang.
Ia menjelaskan, kejahatan seksual pada anak di bawah umur disepakati oleh negara termasuk extra ordinary crime dan the most serious crime. Artinya, Polri harus bisa menuntaskan proses pidana pada pelaku, dan mendakwakan dengan pasal berlapis. Mulai pasal kejahatan seksual pada anak, pornografi, maupun UU ITE.
“Proses pidana tersebut harus dilakukan secara transparan. Bukan berhenti pada proses sidang etik profesi saja. Bahkan proses sidang etik bisa dipercepat, bersamaan dengan proses pidananya,” lanjutnya.
5. KPAI minta antensi serius Polri

Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) mengecam kasus asusila oleh AKBP Fajar. Komisioner KPAI, Dian Sasmita meminta agar Direktorat PPA dan PPO Mabes Polri memberikan atensi serius guna memastikan kasus ini ditangani sesuai Undang-Undang (UU) Tindak Pidana Kekerasan Seksual dan UU Perlindungan Anak.
Menurut Dian, kasus ini juga menunjukkan perlunya perbaikan sistem perlindungan anak di Indonesia. Dia menjelaskan, langkah preventif, seperti edukasi tentang hak anak, penguatan mekanisme pengawasan, serta akses mudah bagi korban untuk melaporkan kasus kekerasan, harus terus ditingkatkan.Hal ini agar kejadian serupa tidak terulang dan menimpa anak-anak Indonesia lainnya.
“Negara harus memastikan bahwa setiap anak terlindungi dari segala bentuk kekerasan, baik di lingkungan keluarga, sekolah, maupun dalam interaksi dengan institusi lain," kata dia.
KPAI juga mendesak adanya perbaikan dalam proses rekrutmen, pelatihan, serta pengawasan terhadap aparat kepolisian guna mencegah kejadian serupa terulang di masa depan. Peningkatan pengawasan personel kepolisian, khususnya soal penyalahgunaan kekuasaan dan pelanggaran etik, kata dia, harus jadi prioritas.
Dian mengatakan, hal ini perlu diupayakan agar kepercayaan publik pada polisi bisa terjaga sehingga benar jadi pelindung masyarakat bukan malah memberi ancaman, termasuk pada anak.