Ini Deretan Kasus yang Ditangani Pejuang HAM Munir

- Munir mendirikan KontraS pada 1998, dan mengungkap kasus penculikan aktivis 1997-1998 menjadi fakta.
- Munir memperjuangkan banyak kasus pelanggaran HAM berat, mulai dari pembunuhan massal Talangsari, Lampung (1989) hingga tergabung dalam investigasi KPP-HAM di Timor Timur (1999).
- Munir juga mengadvokasi kematian Marsinah pada 1994.
Jakarta, IDN Times - Salah satu aktivis hak asasi manusia (HAM) Indonesia, Munir Said Thalib, mengawali kariernya di Lembaga Bantuan Hukum (LBH), dan dikenal karena mengabdikan hidupnya untuk membela korban pelanggaran HAM berat.
Pada 1998, Munir mendirikan Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (KontraS). Sejumlah kasus besar pernah ia tangani, mulai dari penculikan aktivis 1997-1998 hingga pembunuhan aktivis buruh Marsinah.
Melansir laman Amnesty International Indonesia, Munir dengan berani menyuarakan keadilan untuk korban kekerasan. Konsistensinya dalam memperjuangkan HAM juga membuatnya menjadi anggota Komisi Penyelidik Pelanggaran HAM (KPP-HAM) untuk Timor Timur pada 1999.
Namun, pada 7 September 2004, Munir meninggal dunia akibat diracun arsenik dalam penerbangan Garuda Indonesia GA-974 menuju Belanda. Hingga kini, dalang utama di balik kasus pembunuhan tersebut belum terungkap.
Berikut sejumlah kasus pelanggaran HAM berat yang pernah ditangani Munir semasa hidupnya.
1. Pembunuhan massal Talangsari, Lampung (1989)

Pembunuhan massal di Talangsari, Lampung, bertepatan dengan posisi Hendropriyono yang baru diangkat menjadi Kepala Badan Intelijen Negara (BIN).
Peristiwa tersebut terjadi akibat penerapan asas tunggal Pancasila pada masa Orde Baru, di mana pemerintah, polisi, dan militer menyerang masyarakat sipil di Talangsari.
Menurut catatan Komnas HAM, Peristiwa Talangsari menewaskan 130 orang, 77 orang diusir, 53 orang terkena perampasan hak, dan 46 orang lainnya disiksa.
2. Pembunuhan aktivis buruh Marsinah (1993)

Dikutip dari Sebuah Buku Putih: Bunuh Munir, hampir semua orang sependapat, Munir pasti memiliki banyak musuh politik, terutama pejabat militer. Apalagi sejak dia mengurus kasus perburuhan terpenting pada 1993, pembunuhan Marsinah.
Munir mengadvokasi kematian Marsinah pada 1994. Saat itu, Marsinah memperjuangkan hak-haknya sebagai buruh di Sidoarjo, Jawa Timur. Diduga Marsinah diculik dan disiksa sebelum akhirnya dibunuh.
3. Kasus penculikan 23 aktivis (1997-1998)

Pada 1998, Munir mendirikan Komisi Untuk Orang Hilang Dan Korban Tindak Kekerasan (KontraS) yang berhasil mengungkap rangkaian peristiwa penculikan aktivis mahasiswa dan pemuda, kemudian menjadikan kasus itu sebuah fakta utuh.
Sejumlah pimpinan Tentara Nasional Indonesia (TNI) berhasil diadili dan diberhentikan. Dari upaya KontraS tersebut, sembilan orang berhasil dikembalikan hidup-hidup, satu orang tewas, dan 13 lainnya belum ditemukan hingga saat ini.
4. Semanggi I (1998) dan Semanggi II (1999)

Dalam kasus Trisakti dan Semanggi, Munir memperlihatkan diri bahwa ia tidak terpengaruh dengan perkubuan militer, dan Munir secara lugas bersinggungan dengan faksi militer yang berkuasa pada masa Presiden Soeharto.
Berdasarkan arsip Kertas Posisi KontraS Kasus Trisakti, Semanggi I dan II Penantian dalam Ketidakpastian, antara 8-14 November 1998, terjadi kekerasan terhadap mahasiswa saat berdemonstrasi, untuk menolak sidang istimewa yang dinilai inkonstitusional.
Peristiwa ini dikenal Tragedi Semanggi I, terjadi di depan Universitas Atmajaya yang berada di simpang susun Semanggi, Jakarta, pada 13 November 1998.
Satu tahun kemudian, kekerasan pada mahasiswa kembali terjadi pada pada 24 September 1999, dengan menewaskan 11 warga sipil dan 217 lainnya menjadi korban luka. Peristiwa ini dikenal Tragedi Semanggi II.
5. Anggota KPP-HAM Timor Timur (1999)
Munir tergabung dalam investigasi KPP-HAM di Timor Timur. Penghancuran dan pembunuhan massal tersebut setara dengan ketegangan kasus orang hilang, karena peran militer sebagai salah satu yang berkuasa.
Pada kasus ini, Undang-Undang HAM yang menjadi patokan KPP-HAM di Komnas HAM, membuat kalangan militer diperiksa di hadapan otoritas sipil.