Profil Munir Said, Aktivis HAM yang Tewas Diracun Arsenik di Pesawat

- Munir lahir di Batu, Jawa Timur, dan menempuh pendidikan di Fakultas Hukum Universitas Brawijaya
- Perjalanan karier Munir berawal dari relawan LBH Surabaya hingga pendiri KontraS.
- Munir aktif sebagai aktivis HAM regional dan internasional, mendapat penghargaan dari berbagai lembaga.
Jakarta, IDN Times - Aktivis hak asasi manusia (HAM), Munir Said Thalib, tewas akibat diracun arsenik dosis mematikan di dalam pesawat, saat sedang melakukan perjalanan menuju Belanda pada 7 September 2004.
Sudah 21 tahun kematian Munir berlalu, dalang di balik aksi pembunuhan tersebut belum juga ditemukan. Ratusan Aksi Kamisan telah digelar selama 18 tahun terakhir sejak 18 Januari 2007.
Aksi tersebut menjadi bentuk protes kepada negara atas pelanggaran HAM yang banyak terjadi, dan belum mendapat keadilan hingga saat ini, termasuk pada kasus Munir.
Dalam beberapa tahun hidupnya, Munir terus memperjuangkan orang hilang hingga mendirikan salah satu lembaga yang cukup berpengaruh di Indonesia, yaitu Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (KontraS) pada 1998.
Berikut profil Munir Said Thalib, sosok yang terus dikenang dan menjadi simbol perjuangan HAM.
1. Menempuh pendidikan di Fakultas Hukum Universitas Brawijaya

Munir lahir di Batu, Jawa Timur, dan memilih melanjutkan studinya di Fakultas Hukum (FH) Universitas Brawijaya. Pria kelahiran 8 Desember 1965 ini aktif di Asosiasi Mahasiswa Hukum Indonesia, Forum Studi Mahasiswa untuk Pengembangan Berpikir, hingga Himpunan Mahasiswa Islam.
Selain itu, Munir juga pernah menjabat sebagai Ketua Senat Mahasiswa Fakultas Hukum hingga lulus pada 1989. Usai dari bangku kuliah, Munir mulai berkecimpung di dunia HAM.
2. Dari relawan LBH Surabaya hingga menjadi pendiri KontraS

Perjalanan karier Munir diawali dengan kontribusinya sebagai relawan di Lembaga Bantuan Hukum (LBH) cabang Surabaya selama dua tahun. Setelah itu, Munir pindah ke Malang dan menjadi Ketua LBH Surabaya Pos Malang.
Munir kemudian diangkat menjadi Sekretaris Bidang Operasional YLBHI (Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia), dan terus berkembang hingga menjadi Wakil Ketua Bidang Operasional YLBHI.
Pada 1998, Munir resmi mendirikan KontraS, dan menjadi direktur di lembaga tersebut. Tak berhenti di KontraS, Munir menjadi salah satu pendiri Imparsial dari 18 pekerja HAM pada Juni 2002.
Imparsial adalah sebuah LSM yang didirikan untuk mengawasi dan menyelidiki pelanggaran hak asasi manusia (HAM) di Indonesia, dan memperjuangkan keadilan bagi para korban.
3. Kontribusi sebagai aktivis HAM regional dan internasional

Melansir laman resmi KontraS, Munir pernah menjadi ketua Asian Federation Against Involuntary Disappearances (AFAD) sebelum kematiannya.
Munir juga aktif berpartisipasi dalam proses penyusunan dan negosiasi Konvensi Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) untuk melindungi semua orang dari penghilangan paksa.
Diakui dunia, Munir bahkan mendapat penghargaan "Man of the Year" dalam Majalah Ummat (1998), salah satu dari "20 Pemimpin Politik Muda Asia pada Milenium Baru" oleh AsiaWeek (2000), dan Right Livelihood Award atau Alterative Nobel Prize (2000).