Jaringan Penyandang Disabilitas Tolak UU Cipta Kerja, Ini Alasannya

Jaringan Penyandang Disabilitas akan mengajukan uji materi

Jakarta, IDN Times - Jaringan Penyandang Disabilitas menyatakan menolak Undang-Undang Cipta Kerja yang baru saja disahkan oleh DPR. Mereka merasa tidak pernah dilibatkan dalam pembahasan. 

“Undang-undang Cipta Kerja tidak harmonis dengan UU Nomor 8 Tahun 2016 Tentang Penyandang Disabilitas,” kata Direktur Advokasi dan Jaringan Pusat Studi Hukum dan Kebijakan (PSHK) Indonesia, Fajri Nursyamsi, dalam jumpa pers, Senin (12/10/2020).

Fajri Nursyamsi menilai substansi UU Cipta Kerja sangat relevan dan akan berdampak terhadap kehidupan para penyandang disabilitas.

1. UU Ciptaker menggunakan istilah ‘cacat’ bagi penyandang disabilitas

Jaringan Penyandang Disabilitas Tolak UU Cipta Kerja, Ini AlasannyaPenyandang disabilitas di Balai BRSPDF “Wirajaya” Makassar produksi masker (Dok. Kemensos)

Fajri menjelaskan, UU Cipta Kerja telah melakukan ‘kejahatan epistemik’ dengan masih mengusung istilah cacat bagi penyandang disabilitas. Paradigma cacat sangat bertentangan dengan gerakan disabilitas yang selama ini mengusung terciptanya cara pandang terhadap penyandang disabilitas model sosial dan hak asasi manusia yang melihat disabilitas sebagai akibat dari interaksi masyarakat dan tidak dipenuhinya hak-hak penyandang disabilitas.

Penyebutan istilah “cacat” sebagaimana tercantum dalam revisi Pasal 46 pada Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2002 tentang Bangunan Gedung; revisi Pasal 29 Undang-Undang Nomor 44 Tahun 2009 tentang Rumah Sakit; penambahan Pasal 153 serta 154a Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan; dan penjelasan dari revisi Pasal 138 Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2009 tentang Lalu Lintas Angkutan Jalan.

Ia mengatakan, hal tersebut merupakan bentuk pengabaian dari ketentuan dalam Pasal 148 Undang-Undang Nomor 8 tahun 2016.

‘Istilah Penyandang Cacat yang dipakai dalam peraturan perundang-undangan yang sudah ada sebelum UU ini berlaku, harus dibaca dan dimaknai sebagai Penyandang Disabilitas, sepanjang tidak bertentangan dengan UU ini.’

“Selain itu, penggunaan istilah cacat juga bertentangan dengan semangat yang dibangun dalam Konvensi Hak Penyandang Disabilitas (Convention on the Right of Person with Disabilities) yang sudah diratifikasi melalui UU Nomor 19 Tahun 2011,” ujar dia.

Baca Juga: RISET IDEAS: UU Cipta Kerja Lahirkan Ketimpangan Tenaga Kerja 

2. Aksesibilitas bagi penyandang disabilitas

Jaringan Penyandang Disabilitas Tolak UU Cipta Kerja, Ini AlasannyaPenyandang disabilitas di Balai BRSPDF “Wirajaya” Makassar produksi masker (Dok. Kemensos)

UU Cipta Kerja telah menghapus Pasal 27 ayat (2) Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2002 tentang Bangunan Gedung yang mengatur persyaratan kemudahan hubungan ke, dari, dan di dalam bangunan gedung berupa aksesibilitas bagi penyandang disabilitas dan lanjut usia.

Pasal itu merupakan bentuk pelindungan negara terhadap hak penyandang disabilitas untuk mendapatkan aksesibilitas dalam bangunan Gedung.

Bahkan Pasal itu sudah melahirkan peraturan pelaksanaan, yaitu Peraturan Menteri Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat Nomor 14 Tahun 2017 tentang Kemudahan Bangunan Gedung, yang mengatur lebih rinci implementasi dari penyediaan aksesibilitas bagi penyandang disabilitas.

Selain itu, Pasal 27 ayat (2) UU Bangunan Gedung menjadi rujukan dari ketentuan dalam Pasal 98-100 UU Nomor 8 Tahun 2016 tentang Penyandang Disabilitas, yang selanjutnya sudah dibentuk peraturan pelaksanaannya dalam bentuk PP Nomor 42 Tahun 2020 tentang Aksesibilitas terhadap Permukiman, Pelayanan Publik, dan Pelindungan dari Bencana bagi Penyandang Disabilitas.

“Argumentasi bahwa ketentuan mengenai persyaratan kemudahan bagi penyandang disabilitas akan diatur dalam PP, sesuai dengan penambahan Pasal 37A UU Bangunan Gedung dalam UU Cipta Kerja, adalah tidak tepat karena dengan memindahkan ketentuan dari UU ke PP,” ujar Fajri.

3. UU Cipta Kerja justru tidak mendukung pemenuhan hak penyandang disabilitas

Jaringan Penyandang Disabilitas Tolak UU Cipta Kerja, Ini AlasannyaIDN Times/Fitang Budhi Adhitia

Dengan dihapusnya Pasal 27 ayat (2) UU Bangunan Gedung, maka UU Cipta Kerja justru tidak mendukung pemenuhan hak penyandang disabilitas dalam mendapatkan akomodasi yang layak dalam dunia kerja.

Kewajiban penyediaan akomodasi yang layak bagi penyandang disabilitas sebagai bagian dari hak atas pekerjaan juga diatur dalam Pasal 11 huruf c UU Nomor 8 tahun 2016 tentang Penyandang Disabilitas.

Selain itu, fasilitas bagi penyandang disabilitas juga tidak dapat direduksi pada fasilitas infrastruktur, tetapi juga mencakup pelayanan dan fasilitas lainnya yang dapat sangat berbeda antara penyandang disabilitas satu dengan yang lainnya.

“Pada saat ini hal itu hanya diwajibkan penyediaannya kepada rumah sakit, tidak di tempat kerja yang merupakan tempat paling penting untuk menjamin terpenuhinya hak atas pekerjaan bagi penyandang disabilitas,” ucap Fajri.

4. UU Cipta Kerja tidak mencantumkan ketentuan kuota 1 persen bagi perusahaan swasta

Jaringan Penyandang Disabilitas Tolak UU Cipta Kerja, Ini AlasannyaPenyandang disabilitas di Balai BRSPDF “Wirajaya” Makassar produksi masker (Dok. Kemensos)

UU Cipta Kerja tidak mencantumkan ketentuan kuota 1 persen bagi perusahaan swasta dan 2 persen bagi BUMN/BUMD dan Pemerintah/pemerintah daerah untuk mempekerjakan penyandang disabilitas dari keseluruhan pegawai, yang saat ini tercantum dalam UU Penyandang Disabilitas.

“Hal itu tentu saja akan mengurangi kesempatan penyandang disabilitas dalam mengakses dunia kerja dan akan menjadikan penyandang disabilitas sulit dalam mengakses dunia kerja,” kata dia.

Selain itu, UU Cipta Kerja masih menggunakan sehat ‘jasmani rohani’ sebagai syarat untuk mendapatkan pekerjaan atau menempati jabatan tertentu, yang merupakan tindakan diskriminatif bagi penyandang disabilitas.

Selain itu, syarat sehat jasmani dan rohani juga merupakan hal yang sumir dan akan mendiskriminasi penyandang disabilitas mental untuk mendapatkan akses pekerjaan.

5. Ini lima tuntutan Jaringan Penyandang Disabilitas

Jaringan Penyandang Disabilitas Tolak UU Cipta Kerja, Ini AlasannyaSejumlah anggota DPR fraksi Partai Demokrat meninggalkan ruang sidang (walk out) saat pembahasan tingkat II RUU Cipta Kerja pada Rapat Paripurna di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Senin (5/10/2020) (ANTARA FOTO/Hafidz Mubarak A)

Dengan pertimbangan tersebut, Jaringan Penyandang Disabilitas menolak UU Cipta Kerja dan mengajukan lima tuntutan, yaitu sebagai berikut:

1. Mendesak Presiden untuk mengeluarkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (PERPPU) untuk membatalkan UU Cipta Kerja dalam waktu 14 hari dari hari ini.

2. Meminta pertanggungjawaban kepada Sembilan fraksi di DPR dalam bentuk penjelasan tertulis kepada publik mengenai pengabaian kelompok penyandang disabilitas dalam pembahasan dan tidak dicantumkannya UU Nomor 8 Tahun 2016 tentang Penyandang Disabilitas sebagai Undang-Undang yang terkena dampak.

3. Mendesak Pemerintah dan DPR untuk mempublikasikan materi-materi terkait dengan UU Cipta Kerja yang aksesibel, baik audio maupun visual, bagi penyandang disabilitas.

4. Menghentikan tindakan kekerasan baik dari demonstran maupun aparat karena itu Tindakan melanggar hukum dan berpotensi menyebabkan seseorang mengalami disabilitas; dan

5. Mengajak kepada seluruh elemen organisasi penyandang disabilitas disabilitas untuk Bersatu mengajukan uji materiil (Judicial Review) UU Cipta Kerja ke Mahkamah Konstitusi.

Baca Juga: Jalan Panjang Indonesia Lepas Pasung Penderita Disabilitas Psikososial

Topik:

  • Dwi Agustiar

Berita Terkini Lainnya