Kasus Eks Kapolres Ngada, Perlu Psikotes Rutin Cegah Aparat Menyimpang

- Fajar dituntut 20 tahun penjara atas kasus kekerasan seksual terhadap tiga anak.
- Koordinator Advokasi Forum Perempuan Diaspora NTT prihatin dengan keterangan ahli yang meragukan status korban anak.
- Hakim diharapkan memberikan putusan yang memulihkan korban anak dan tidak menyalahkan mereka.
Jakarta, IDN Times - Proses hukum kasus dugaan kekerasan seksual terhadap anak-anak yang melibatkan eks Kapolres Ngada, AKBP Fajar Widyadharma Lukman Sumaatmaja, masih berlangsung.
Anggota Komisi XIII DPR, Umbu Kabunang Rudi Yanto Hunga menyinggung pentingnya evaluasi psikologis dan kesehatan berkala bagi aparat dan pejabat publik.
Hal ini dilakukan untuk mencegah penyimpangan perilaku yang berpotensi melahirkan tindak kekerasan seksual di lingkungan birokrasi dan penegakan hukum.
"Sistem pengawasan internal dan psikotes berkala perlu diterapkan. Ini bentuk pencegahan, bukan sekadar reaksi setelah ada korban," kata dia dalam Media Talk bertajuk "Menanti Putusan Kasus Eks Kapolres Ngada: Ujian Keadilan dan Perlindungan Anak," dikutip Selasa (21/10/2025).
1. Fajar sendiri dituntut 20 tahun penjara

Dalam kasus kekerasan seksual dan eksploitasi ini, diketahui tiga orang anak menjadi korban, masing-masing berumur lima tahun saat kejadian, 13, dan 16 tahun. AKBP Fajar pun resmi diberhentikan dari jabatannya oleh Polri.
Keputusan dia diberhentikan tertuang dalam surat telegram Kapolri bernomor ST/489/III/KEP./2025 yang ditandatangani oleh Irwasum Polri, Komjen Dedi Prasetyo, pada Rabu (12/3).
Pada 21 Oktober, sidang pembacaan amar putusan pada Fajar berlangsung di Pengadilan Negeri Kelas IA Kupang (NTT).
Terdakwa Stefani Rehi Doko atau F yang diketahui membawa tiga anak tersebut sudah divonus 11 tahun penjara. Fajar sendiri dituntut 20 tahun penjara pada Seidang Senin (22/9).
2. Prihatin saat keterangan ahli sebut anak yang melacurkan diri bukan korban

Sementara, Koordinator Advokasi Forum Perempuan Diaspora NTT, Greg Retas Daeng menyoroti penanganan kasus eks Kapolres Ngada ini perlihatkan masih lemahnya sensitivitas aparat hukum terhadap korban anak.
"Kami sangat prihatin ketika ada keterangan ahli yang menyebut jika anak yang melacurkan diri bukan korban. Pernyataan seperti itu melukai keadilan dan mengabaikan fakta bahwa anak tetap korban dalam situasi eksploitasi," katanya.
3. Hakim harus beri putusan yang pulihkan korban anak

Greg mengungkapkan, standar etik bagi advokat, ahli, dan penegak hukum harus mencerminkan perspektif perlindungan anak dan kesetaraan gender, agar proses hukum tidak menjadi sumber luka baru bagi korban.
"Kami berharap majelis hakim menjadikan nurani sebagai dasar putusan, mengeliminasi pandangan yang menyalahkan korban, dan menjatuhkan putusan yang berpihak pada pemulihan anak," katanya.
Dia juga mengungkapkan, Forum Perempuan Diaspora NTT bersama jaringan advokasi lainnya akan terus mengawal proses pasca putusan, termasuk mendorong eksaminasi publik terhadap hasil putusan, guna memastikan keadilan substantif benar-benar ditegakkan.