KPAI: Kasus Eks Kapolres Ngada Jadi Tolak Ukur Keberpihakan Hukum Anak

- KPAI menegaskan prinsip kepentingan terbaik bagi anak sebagaimana diatur dalam Konvensi Hak Anak dan Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2014 tentang Perlindungan Anak harus menjadi pedoman utama dalam setiap tahapan proses hukum.
- Penanganan kasus eks Kapolres Ngada memperlihatkan masih lemahnya sensitivitas aparat hukum terhadap korban anak.
Jakarta, IDN Times - Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) menilai, penanganan kasus dugaan kekerasan seksual anak-anak yang melibatkan eks Kapolres Ngada AKBP Fajar Widyadharma Lukman Sumaatmaja merupakan tolak ukur sejauh mana sistem hukum nasional berpihak kepada korban anak.
Menurut KPAI, hal tersebut juga bukan semata soal pemberian hukuman bagi pelaku. Saat ini, proses hukum kasus dugaan kekerasan seksual terhadap anak-anak tersebut masih berlangsung.
"Setiap proses hukum terhadap kekerasan seksual anak harus menempatkan korban sebagai hal utama. Keadilan sejati bukan hanya vonis bagi pelaku, tetapi juga pemulihan yang menyeluruh bagi korban dan keluarganya," ujar Anggota KPAI, Dian Sasmita, dalam Media Talk bertajuk "Menanti Putusan Kasus Eks Kapolres Ngada: Ujian Keadilan dan Perlindungan Anak," dikutip Selasa (21/10/2025).
1. Tiga hal penting keadilan yang berperspektif anak

Dian mengatakan, prinsip kepentingan terbaik bagi anak sebagaimana diatur dalam Konvensi Hak Anak dan Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2014 tentang Perlindungan Anak harus menjadi pedoman utama dalam setiap tahapan proses hukum.
Menurut dia, negara, termasuk aparat penegak hukum, berkewajiban menjamin perlindungan, keadilan, serta pemulihan anak korban kekerasan seksual tanpa diskriminasi.
"Keadilan yang berperspektif anak harus mencakup tiga hal penting, yaitu kebenaran hukum, pemulihan korban, dan pencegahan berulangnya kekerasan," kata Dian.
2. Pentingnya evaluasi psikologis dan kesehatan berkala bagi aparat dan pejabat publik

Anggota Komisi XIII DPR, Umbu Kabunang Rudi Yanto Hunga, menyinggung pentingnya evaluasi psikologis dan kesehatan berkala bagi aparat dan pejabat publik.
Hal ini dilakukan untuk mencegah penyimpangan perilaku yang berpotensi melahirkan tindak kekerasan seksual di lingkungan birokrasi dan penegakan hukum.
"Sistem pengawasan internal dan psikotes berkala perlu diterapkan. Ini bentuk pencegahan, bukan sekadar reaksi setelah ada korban," kata dia.
3. Lemahnya sensitivitas aparat hukum terhadap korban anak

Sementara, Koordinator Advokasi Forum Perempuan Diaspora NTT, Greg Retas Daeng, menyoroti penanganan kasus eks Kapolres Ngada yang memperlihatkan masih lemahnya sensitivitas aparat hukum terhadap korban anak.
"Kami sangat prihatin ketika ada keterangan ahli yang menyebut 'anak yang melacurkan diri bukan korban'. Pernyataan seperti itu melukai keadilan dan mengabaikan fakta bahwa anak tetap korban dalam situasi eksploitasi," kata Greg.
Diberitakan, Eks Kapolres Ngada, AKBP Fajar Widyadharma Lukman Sumaatmaja, menjadi pelaku kasus kekerasan seksual dan eksploitasi terhadap tiga orang anak, masing-masing berumur lima tahun saat kejadian, 13, dan 16 tahun.
Fajar resmi diberhentikan dari jabatannya oleh Polri. Keputusan ini tertuang dalam surat telegram Kapolri bernomor ST/489/III/KEP./2025 yang ditandatangani oleh Irwasum Polri, Komjen Dedi Prasetyo, pada Rabu (12/3/2025).
Pada 21 Oktober 2025, sidang pembacaan amar putusan terhadap Fajar berlangsung di Pengadilan Negeri Kelas IA Kupang (NTT). Tiga anak itu dibawa oleh terdakwa Stefani Rehi Doko atau F yang sudah divonus 11 tahun penjara. Fajar sendiri dituntut 20 tahun penjara pada Seidang Senin (22/9/2025).