Kasus Penceramah Elham, Menteri PPPA Ingatkan Bahaya Relasi Kuasa pada Anak

- Arifah menilai tindakan penceramah Mohammad Elham Yahya tidak pantas.
- Dia menjelaskan siapa yang melakukan tindakan yang melanggar batas tubuh anak harus dimintai pertanggungjawaban, tanpa memandang status sosial maupun kedudukannya.
- Dia mendorong pentingnya edukasi tentang otoritas tubuh sejak usia dini. Anak perlu memahami tubuh mereka sepenuhnya milik mereka sendiri, serta tidak ada seorang pun yang berhak menyentuh atau melanggar batas pribadi mereka.
Jakarta, IDN Times - Tindakan penceramah Mohammad Elham Yahya yang menciumi anak-anak perempuan menurut Menteri Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (PPPA), Arifah Fauzi, tidak pantas dilakukan.
Dia mengatakan, kasus ini memperlihatkan pentingnya pemahaman masyarakat pada relasi kuasa antara orang dewasa dan anak. Dalam banyak konteks sosial atau keagamaan, figur otoritas sering berada pada posisi dominan dan dipercaya, yang dapat menciptakan ketimpangan kuasa.
Situasi itu membuat anak sulit menolak, melawan, atau melapor ketika menghadapi perilaku yang tidak pantas.
“Relasi kuasa ini kerap dimanfaatkan melalui cara nonfisik seperti bujuk rayu, tekanan emosional, atau manipulasi psikologis yang dikenal sebagai child grooming. Pelaku biasanya berusaha menormalisasi perilaku menyimpang dengan alasan kasih sayang atau kedekatan. Akibatnya, anak bisa merasa bersalah, bingung, dan mengalami trauma jangka panjang,” kata Arifah, Kamis (13/11/2025).
1. Siapapun yang langgar batasan tubuh anak harus ditindak

Arifah menjelaskan, siapa yang melakukan tindakan yang melanggar batas tubuh anak, harus dimintai pertanggungjawaban, tanpa memandang status sosial maupun kedudukannya. KemenPPPA sependapat dengan publik tindakan tersebut tidak dapat dibenarkan, terlepas dari status atau posisi siapapun yang melakukannya, termasuk mereka yang dianggap sebagai pemuka agama.
"Kasus ini menjadi peringatan bagi masyarakat untuk lebih memahami pentingnya menjaga batas interaksi dengan anak. Perilaku yang melibatkan sentuhan fisik tanpa persetujuan, apalagi dilakukan oleh orang dewasa terhadap anak, berpotensi menjadi bentuk pelecehan yang dapat berdampak psikologis serius pada korban,” ujar Arifah.
2. Pentingnya edukasi anak tentang otoritas tubuh sejak usia dini

Arifah mendorong pentingnya edukasi tentang otoritas tubuh sejak usia dini. Anak perlu memahami tubuh mereka sepenuhnya milik mereka sendiri, serta tidak ada seorang pun yang berhak menyentuh atau melanggar batas pribadi mereka. Edukasi ini juga melatih anak untuk menolak sentuhan yang tidak nyaman dan berani melapor kepada orang dewasa tepercaya.
“Edukasi tentang otoritas tubuh menjadi langkah strategis dalam mencegah praktik child grooming. Anak yang memahami batas tubuhnya lebih mampu mengenali tanda-tanda perilaku manipulatif, meskipun dilakukan oleh orang yang mereka kenal atau hormati. Dengan pengetahuan ini, anak dapat melindungi diri dan mencari bantuan lebih cepat,” kata dia.
3. Peran orang tua jadi kunci cegah kekerasan anak

Arifah juga menyoroti peran orang tua yang jadi kunci utama upaya pencegahan kekerasan terhadap anak, terutama kekerasan seksual.
Orang tua memiliki tanggung jawab penting untuk memberikan edukasi sejak dini kepada anak-anak, mengenai privasi dan cara menjaga tubuhnya sendiri.



















