Komnas: Keluarga Harus Jadi Ruang Aman bagi Perempuan dan Anak

Jakarta, IDN Times - Komisi Nasional Anti Kekerasan terhadap Perempuan (Komnas Perempuan) mengajak masyarakat untuk memperkuat peran keluarga sebagai ruang aman dari kekerasan terhadap perempuan dan anak serta bebas dari diskriminasi.
Hal ini disampaikan dalam peringatan Hari Keluarga Internasional, yang jatuh pada 15 Mei setiap tahunnya. Ajakan tersebut juga ditujukan kepada negara untuk memperkuat keluarga dengan mengoptimalkan pelaksanaan peraturan perundang-undangan yang melindungi perempuan dan anak, seperti UU Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga (PKDRT), UU Perlindungan Anak, dan UU Tindak Pidana Kekerasan Seksual (TPKS).
“Sebagai unit terkecil dalam masyarakat, keluarga seharusnya merupakan tempat aman dan bertumbuhnya potensi kebaikan secara maksimal bagi seluruh anggota keluarganya. Namun fakta dan data yang terus muncul sepanjang tahun memperlihatkan bahwa sebagian rumah bukan lagi ruang aman dan nyaman tetapi justru ruang di mana kekerasan dibangun sedemikian rupa dan ditutupi,” kata Ketua Sub Komisi Pendidikan Komnas Perempuan Alimatul Qibtiyah dalam keterangan resmi, Kamis (16/5/2024).
1. KDRT jadi laporan tertinggi yang diterima Komnas Perempuan sejak 2001

Dia menjelaskan, kekerasan juga muncul karena minimnya penghargaan pada perbedaan yang bisa jadi ada di dalam keluarga seperti perbedaan keyakinan atau cara pengasuhan anak
Kekerasan dalam rumah tangga (KDRT) masih menjadi laporan tertinggi yang diterima Komnas Perempuan sejak 2001. Dalam laporan 21 Tahun Catatan Tahunan Komnas Perempuan, tercatat 2,5 juta kasus kekerasan di ranah personal, dengan kekerasan terhadap istri (KTI) menjadi yang paling banyak dilaporkan, yaitu 484.993 kasus, dan kekerasan terhadap anak perempuan (KTAP) oleh anggota keluarga mencapai 17.097 kasus.
Hal ini menunjukkan bahwa tujuan UU PKDRT untuk mencegah kekerasan dalam rumah tangga dan melindungi korban masih belum tercapai secara optimal.
2. Pelaksanaan UU PKDRT banyak miskonsepsi terkait norma dan implementasinya

Ketua Sub Komisi Pengembangan Sistem Pemulihan Theresia Iswarini, menyoroti bahwa selama 20 tahun pelaksanaan UU PKDRT, banyak miskonsepsi terkait norma dan implementasinya. Permasalahannya menurut Komnas Perempuan bukan pada normanya tetapi pada pelaksanaannya.
“Selain mengikuti pemenuhan unsur pidana, pelaksanaan UU PKDRT seharusnya mengikuti tujuan penghapusan KDRT dalam Pasal 4 UU PKDRT yaitu melindungi perempuan sebagai kelompok rentan, menindak pelaku dan memulihkan korban. Belum optimalnya layanan penanganan dan pemulihan seperti terbatasnya rumah aman, konselor, visum masih berbayar, tidak ada BPJS bagi korban kekerasan terhadap perempuan, terbatasnya konselor adalah kendala lain yang dihadapi,” katanya.
3. Pelaksanaan UU PKDRT masih terkendala perspektif aparat penegak hukum

Ketua Sub Komisi Reformasi Hukum dan Kebijakan Siti Aminah Tardi, menambahkan pelaksanaan UU PKDRT masih terkendala oleh perspektif aparat penegak hukum, keterbatasan sarana prasarana, dan budaya yang menganggap KDRT sebagai persoalan privat.
UU PKDRT kini diperkuat dengan UU TPKS, terutama dalam menangani kekerasan seksual dalam rumah tangga.
“UU PKDRT tidak memandatkan peraturan pelaksana, akibatnya ketentuan mengenai perlindungan sementara, kewajiban menjaga jarak pelaku dengan korban dan sanksi untuk mengikuti program konseling belum dilakukan. Hal ini harus kita pikirkan bersama untuk mengoptimalkan norma-norma UU PKDRT yang progresif tersebut. Demikian juga dalam penanganan KDRT, lembaga layanan dan kepolisian belum dibekali penilaian tingkat kebahayaan KDRT, sehingga korban kerap dikembalikan ke rumahnya yang berakibat pada memburuknya kekerasan dan berakhir dengan femisida,” kata dia.