Baca artikel IDN Times lainnya di IDN App
For
You

Konsep Transportasi Transit di RDTR DKI 2022 Harus Sinergi dengan 3D

Ilustrasi LRT Jakarta (IDN Times/Gregorius Aryodamar P)
Ilustrasi LRT Jakarta (IDN Times/Gregorius Aryodamar P)

Jakarta, IDN Times - Pengamat Tata Kota Universitas Trisakti, Yayat Supriatna, mendorong penataan transportasi massal di DKI Jakarta melalui konsep Transit Oriented Development (TOD) yang tercantum dalam Rencana Detail Tata Ruang (RDTR) 2022 dapat bersinergi dengan konsep 3D (diversity, density, design).

Menurut Yayat, konsep dalam RDTR tersebut sudah sangat pro terhadap transportasi publik. Antara lain mengarah pada digitalisasi dan transit.

"Pertanyaannya, apa yang akan kita bangun di transit? Apa sekedar halte, rumah susun (rusun), stasiun? Dalam konteks sederhana, Jabodetabek ada lebih dari 8,8 juta orang yang sulit akses transportasi publik," ujar Yayat dalam Focus Group Discussion tentang RDTR 2022, di Jakarta, belum lama ini.

"Jebakan Batman selama ini, kota itu harus besar, artinya kota makin besar makin banyak kendaraan yang dibutuhkan. Mengapa kita tidak coba konsep kota yang dekat kemana-mana? Dalam konteks RDTR, coba memetakan bagaimana sinergi konsep 3D dengan transit," lanjut dia.

1. Konsep diversity, density, design

Ilustrasi Stasiun Kereta (IDN Times/Mardya Shakti)
Ilustrasi Stasiun Kereta (IDN Times/Mardya Shakti)

Yayat mengatakan, konsep diversity, density, dan design (3D) merupakan aspek untuk mengembangkan kota yang transportasinya berbasis transit (TOD).

Dijelaskannya, density, berkaitan dengan kepadatan kawasan. Hal ini dilakukan dengan intensitas pemanfaatan lahan yang tinggi.

"Ini sudah diarahkan dalam RDTR, yang jadi tantangan bagaimana konteks pengaturan ketinggian ini dengan konsep pengembangannya? Karena tidak akan optimal pengembangan transportasi kalau tidak dilintasi kawasan padat penduduknya," ujar dia.

Konsep diveristy, kata Yayat, apabila dalam sebuah TOD hanya ada rusun, maka tidak berarti karena hanya ada satu fungsi. Oleh karena itu, harus dipikirkan bagaimana semakin banyak fasilitas dan beragam kegiatan dalam satu kawasan.

"Ini akan memudahkan orang, tapi fakta yang kita lihat mampukah kita wujudkan itu?" kata dia.

Sementara konsep design, desain yang ramah untuk pejalan kaki dan sepeda menjadi esesnsi utama. Sebab, melalui desain diharapkan penggunaan lahan yang ada di kawasan dari intensitas kepadatan dilakukan untuk memaksimalkan orang berjalan kaki.

"Kita makin banyak motor karena rumah jauh dari tempat kerja. Otomatis kalau rumah 10 menit ke stasiun, itu membuat orang lebih banyak jalan kaki dan diharapkan dari gabungan desain ini bs kurangi biaya transpor 10 persen," ujar Yayat.

2. Konsep diversity dan density bisa membuat kawasan kompak

ANTARA FOTO/M Risyal Hidayat
ANTARA FOTO/M Risyal Hidayat

Yayat mengatakan, dengan konsep diversity dan density diharapkan penggunaan lahan campur dengan kegiatan di lahan padat membuat suatu kawasan menjadi kompak.

"Ini tantangan, bukan sekedar membuat ini tapi bagaimana bisa mengintegrasikan fungsi-fungsi yang kita kembangkan di dalamnya," kata dia.

Tidak hanya satu atau dua fungsi berupa adanya rumah sakit, kantor, pasar, dan fasilitas lainnya, tetapi bagaimana fungsi-fungsi tersebut mampu meminimalisir dan mendorong orang untuk berjalan kaki dan bersepeda dalam satu kawasan.

"Baru nanti dengan aspek transportasi, kita bisa lihat bagaimana konsep emisi yang semakin berkurang, polusi, dan sebagainya," ujar dia.

3. Penerapan konsep 3D di Jakarta

Foto aerial suasana kendaraan melintas di Bundaran HI, Jakarta, Senin (14/9/2020) (ANTARA FOTO/Sigid Kurniawan)
Foto aerial suasana kendaraan melintas di Bundaran HI, Jakarta, Senin (14/9/2020) (ANTARA FOTO/Sigid Kurniawan)

Yayat mencontohkan, di kota-kota utama seperti Jakarta, dirinya melihat bahwa fungsi pelayanan publik transportasi belum mampu melayani secara maksimal di wilayah-wilayah padat penduduk.

Dengan demikian, kata dia, sebagus apapun angkutan massal dibangun seperti LRT, MRT, hingga BRT, tetapi jika yang dilintasinya kawasan sepi akan percuma.

"Sehebat apapun LRT, MRT, BRT dibangun, tapi kalau yang dilintasi kawasan sepi, tidak padat penduduk, kota semakin ditinggal karena rumah semakin mahal, otomatis tidak akan optimal, sehebat apapun dari sisi transportasi," ujar dia.

Berdasarkan hasil penelitian, kata Yayat, dalam konsep diversity di Jakarta, persentase penggunaan lahan adalah 20 persen untuk permukiman (residensial) dan 80 persen untuk nonresidensial. Namun realitanya, proporsinya hampir sama, yakni 54 persen untuk residensial dan 46 persen untuk nonresidensial.

Harus diakui, kata dia, pada koridor-koridor yang dilintasi angkutan massal, potensi nonresidensial seperti dalam kegiatan bisnis tidak banyak dimiliki.

Dalam konsep density, kata dia, koefisien dasar bangun (KDB) DKI adalah 70 persen, sedangkan koefisien lantai bangun (KLB) minimal 2.0. Realitanya, seluruhnya hampir mendekati yakni, KDB 63,7 persen sedangkan KLB 1,83 persen.

"Ini menarik, kalau dalam RDTR KLB ditinggikan, yang jadi tantangan, bagaimana KLB itu bisa tercapai? Kalau Jakarta potensi utk dinaikkan, kemungkinan besar dari sisi density akan padat tapi yang jadi tantangan diversity-nya. Jangan sampai di tengah kota banyak permukiman tapi minim fasilitas. Rumah sakit, sekolah, pasar, jauh dari mana-mana," ucapnya.

Adapun dalam konsep design, tersedia angkutan umum berkualitas dan diakses berjalan kaki dengan moda berupa minibus, mikrolet, BRT, LRT, MRT, hingga bus kota. Realitanya, saat ini terdapat KRL, BRT Transjakarta, MRT, dan LRT.

Share
Editor’s Picks
Topics
Editorial Team
Dwifantya Aquina
EditorDwifantya Aquina
Follow Us