LPSK Beri Perlindungan 3 Korban Kekerasan Seksual Eks Kapolres Ngada

- LPSK memberikan perlindungan kepada tiga korban pencabulan oleh Eks Kapolres Ngada, AKBP Fajar Widyadharma Lukman, dengan UU TPKS dan ITE.
- Perlindungan berupa pemenuhan hak prosedural, fasilitas perhitungan restitusi, dan bantuan rehabilitasi psikologis untuk korban yang berusia 6 tahun.
- LPSK melakukan pendalaman informasi, koordinasi dengan instansi terkait, dan layanan pendampingan bagi korban dalam proses peradilan pidana.
Jakarta, IDN Times - Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK) putuskan untuk memberikan perlindungan kepada tiga korban dalam kasus pencabulan terhadap anak di bawah umur yang dilakukan oleh Eks Kapolres Ngada, AKBP Fajar Widyadharma Lukman. Kini, tersangka dijerat dengan UU Tindak Pidana Kekerasan Seksual (TPKS) terhadap Anak atau UU ITE.
Keputusan diterimanya permohonan para korban berdasarkan Sidang Mahkamah Pimpinan LPSK (SMPL) pada Rabu, 9 April 2025. Perlindungan yang diberikan kepada ketiga korban berupa Pemenuhan Hak Prosedural dan Fasilitas Perhitungan Restitusi. Selain itu, salah satu korban yang berusia 6 tahun akan mendapatkan bantuan rehabilitasi psikologis.
1. Proses permohonan perlindungan korban, LPSK ambil langkah

Menindaklanjuti pengajuan permohonan perlindungan untuk para korban. LPSK mengambil sejumlah langkah, diantaranya pendalaman informasi terkait sifat penting keterangan, berkoordinasi dengan UPTD PPA Provinsi NTT, dan kerja sama dengan Himpunan Psikologi (HIMPSI) NTT untuk menganalisis tingkat ancaman dan kondisi psikologis korban.
LPSK sediakan layanan pemenuhan hak prosedural bagi korban dengan memberikan pendampingan saat memberikan keterangan dalam setiap tahapan proses peradilan pidana. Pelaksanaan layanan ini dilakukan melalui kerja sama dengan Sahabat Saksi dan Korban NTT, LBH APIK-NTT, Pendamping Rehsos Kemensos Prov. NTT, serta UPTD PPA Provinsi NTT.
2. Perlindungan anak dan penindakan TPPO harus jadi prioritas

Wakil Ketua LPSK, Sri Nurherwati, mengatakan, selain memberikan perlindungan kepada korban, fokus yang utama dalam penanganan kasus ini adalah kaitannya dengan Tindak Pidana Perdagangan Orang (TPPO) dengan tujuan eksploitasi seksual yang terjadi di NTT.
“Status korban adalah anak perempuan yang dieksploitasi secara seksual menggunakan aplikasi media sosial. Untuk itu, pelaku dapat dijerat dengan UU TPKS, Perlindungan Anak, TPPO dan ITE,” ujar Nurherwati, dikutip dari rilis pers pada Selasa (22/4/2025).
Ia menambahkan, posisi anak yang rentan perlu diperhatikan. Untuk memberikan perlindungan serta pemenuhan haknya, tumbuh dan berkembang secara optimal perlu diperhatikan, baik fisik, mental spiritual, maupun situasi sosialnya.
“Akses anak-anak terhadap aplikasi digital perlu menjadi perhatian dan dilakukan penindakan terhadap pltaform penyedia. Karena TPPO dalam bentuk eksploitasi seksual menjadi ancaman serius buat tumbuh kembang anak,” tegas Nurherwati.
3. Harapan bagi pemerintah dan penegak hukum

Nurherwati pun berharap pemerintah pusat, daerah, dan aparat penegak hukum memberikan perhatian khusus dalam penanganan TPPO, khususnya eksploitasi seksual yang merebak di NTT dan pentingnya edukasi kesehatan reproduksi.
“Seluruh pihak dapat mengambil pelajaran dari kasus ini. Hak anak jangan diabaikan karena keterbatasan ekonomi, masalah rumah tangga, atau gaya hidup yang berkembang saat ini. Pemerintah pusat juga seharusnya menindak aplikasi digital yang digunakan untuk eksploitasi seksual,” harap Nurherwati.