Baca artikel IDN Times lainnya di IDN App
For
You

Kritik Walhi untuk DPR: Tak Ada RUU Perubahan Iklim, Kami Kecewa!

Ketua DPR, Puan Maharani (tengah) ketika diucapkan selamat ulang tahun oleh koleganya pada Selasa, 6 September 2022 di DPR. (Tangkapan layar YouTube DPR)

Jakarta, IDN Times — Manajer Kajian Hukum dan Kebijakan Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi), Satrio Manggala, mengkritik peran legislasi DPR yang dinilai mengesampingkan perubahan iklim.

Padahal, menurut Walhi, DPR mempunyai peran penting untuk membuat kebijakan mencegah perubahan iklim yang mengancam kehidupan rakyat Indonesia.

Satrio menyorot kekosongan Rancangan Undang-Undang (RUU) Perubahan Iklim sebagai aturan yang mengatur pengendalian dan pencegahan kerusakan iklim. Menurut Walhi, DPR hanya fokus pada kuantitas produk legislasi, bukan kualitasnya.

“Dari fungsi legislasi yang kami kecewakan adalah DPR tidak bertindak secara progresif untuk menciptakan satu regulasi yang jadi kebutuhan, salah satunya RUU Perubahan Iklim, ada yang pernah dengar? Gak ada,” kata Satrio dalam diskusi ‘Evaluasi Kinerja DPR 2019-2024’, Rabu (26/10/2022).

1. Sorot kualitas produk legislasi

Puan Maharani dampingi Presiden Jokowi saat meninjau vaksinasi pelajar di SMAN 4 Serang, Banten pada Selasa (21/9/2021). (dok. Tim Media Puan Maharani)

Satrio menyoroti kualitas produk legislasi yang sejauh ini sudah dibuat oleh DPR. Menurut dia, produk legislasi itu hanya menguntungkan segelintir kelompok. Dari sektor kelestarian lingkungan, produk legislasi yang dibuat DPR justru tak mengedepankan unsur lestari dan tak memprioritaskan masyarakat.

“Yang mereka pikirkan adalah bagaimana menjawab kebutuhan investasi untuk masuk, bagaimana mengeruk sumber daya alam,” kata Satrio.

Dia juga menyinggung banyak proses pembentukan legislasi yang melangkahi aturan atau melanggar hukum formil dalam pembentukan perundang-undangan.

Salah satunya, pembentukan Undang-Undang Ciptaker yang disebut Mahkamah Konstitusi (MK) melanggar aturan pembentukan perundang-undangan.

“Secara substantif itu menyeleweng dari hal yang harusnya dirumuskan, sama seperti pembentukan UU IKN, apakah itu diskursus publik atau hanya legitimasi dari keputusan eksekutif,” singgung Satrio.

2. Bencana ekologis tak hanya pengaruhi lingkungan

Warga memindahkan barang berharga dari genangan banjir di Desa Pasi Leuhan, Kecamatan Johan Pahlawan, Aceh Barat, Aceh, Minggu (17/11/2019). Tingginya intensitas hujan sejak sepekan terakhir menyebabkan ratusan rumah warga dan ratusan hektar perkebunan di Kabupaten Aceh Selatan, Aceh Tenggara, Aceh Utara, Aceh Tamiang, Aceh Timur, Aceh Tengah, Bireun, Aceh Barat, dan Kota Langsa terendam banjir dengan ketinggian 20 sampai 130 cm. ANTARA FOTO/Syifa Yulinnas/pd.

Walhi kemudian menyinggung kegagalan pemerintah baik pusat dan pembuat kebijakan yang menyebabkan peningkatan bencana ekologis di Indonesia.

Satrio menjelaskan, bencana ekologis tak hanya disebabkan oleh cuaca ekstrem seperti hujan intensitas tinggi dan kekeringan. Lebih jauh, kata dia, bencana ekologis juga ditengarai sebagai kegagalan pemerintah membuat kebijakan yang mengedepankan kelestarian lingkungan.

“Kegagalan pengurusan alam dari sektor distribusi yang dilakukan negara, dari 53 juta hektare lahan hanya 2,7 persen yang dikuasai rakyat, 94,8 persen dikuasai korporasi, diberikan izin konvensi, dan lain-lain,” ujar Satrio.

“Dari mekanisme kontrol ketika lahan diberikan ke korporasi, di situ terjadi eksploitasi aktivitas reproduksi perusahaan,” sambungnya.

Eksploitasi tak memedulikan kelestarian lingkungan itu bakal berdampak buruk terhadap wilayah sekitar hingga menyebabkan bencana ekologis.

3. Sempit ruang aspirasi publik

Ilustrasi banjir (ANTARA FOTO/Asep Fathulrahman)

Lebih lanjut, Satrio juga menyoroti sempitnya ruang aspirasi publik di DPR. Padahal, DPR sejatinya merupakan perwakilan masyarakat di pemerintahan.

Dia menyinggung fenomena banyaknya masyarakat sipil yang justru menggugat Undang-Undang ke MK yang sebetulnya bukan pembuat kebijakan.

“Ruang aspirasi sempit, bagaimana mau menyampaikan aspirasi rakyat kalau jalannya tersumbat. Beberapa UU justru diajukan ke MK padahal MK secara teknis adalah bukan legislator, dia bukan pembentuk UU,” ujarnya.

“Saya pikir fenomena itu menjadi salah satu indikator sebetulnya DPR gak lagi jadi representasi rakyat karena rakyat gak bisa menyampaikan aspirasinya ke DPR,” ucapnya.

Share
Editor’s Picks
Topics
Editorial Team
Deti Mega Purnamasari
Melani Hermalia Putri
Deti Mega Purnamasari
EditorDeti Mega Purnamasari
Follow Us