LPSK Tidak Terima Dana Bantuan Korban dari Korupsi-Pelanggaran HAM

- Negara berperan memastikan korban tetap dapat pulih secara utuh
- Dana Bantuan Korban (DBK) dikuatkan LPSK bersama akademisi
- Restitusi tetap menjadi tanggung jawab pelaku terhadap korban
Jakarta, IDN Times - Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK) mendorong partisipasi lembaga-lembaga seperti Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP), Kementerian Keuangan, dan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dalam mengawasi mekanisme penghimpunan dan pemberian Dana Bantuan Korban (DBK). Hal ini adalah upaya implementasi Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 29 Tahun 2025, tentang Dana Bantuan Korban.
“Kita tidak akan menerima dana yang bersumber dari hasil korupsi atau pelanggaran HAM. Mungkin itu akan membatasi jumlah sumbangan, tapi tidak apa-apa. Justru agar dana ini tidak menjadi sarana pencucian uang dan tetap terjaga integritasnya,” kata Wakil Ketua LPSK, Sri Nurherwati, Selasa (28/10/2025).
1. Negara berperan memastikan korban tetap dapat pulih secara utuh

Sri menilai pelaksanaan Dana Bantuan Korban adalah momentum penting bagi negara, untuk membangun sistem pemulihan yang manusiawi dan berkeadilan gender. Dia menegaskan peran pemerintah bukan mengambil alih kewajiban pelaku, melainkan memastikan korban tetap dapat pulih secara utuh.
“Negara harus hadir, bukan sekadar hadir di atas kertas,” ujarnya.
2. Dana Bantuan Korban dikuatkan LPSK bersama akademisi

LPSK, kata Sri, akan melibatkan akademisi dan lembaga riset untuk memperkuat kebijakan, termasuk dari Universitas Gadjah Mada (UGM). Langkah ini dilakukan agar sistem Dana Bantuan Korban memiliki landasan kuat, tidak hanya administratif tetapi juga filosofis dan etis.
“Setiap rupiah yang dikeluarkan negara untuk korban adalah bentuk penghormatan terhadap hak asasi manusia,” kata dia.
3. Restitusi tetap menjadi tanggung jawab pelaku terhadap korban

PP Nomor 29 Tahun 2025 tentang Dana Bantuan Korban (DBK) merupakan regulasi turunan dari Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2022, tentang Tindak Pidana Kekerasan Seksual (TPKS). Setelah PP 29/2025 terbit, pelaksanaan DBK menjadi keharusan yang tak bisa ditunda.
Dalam praktiknya, restitusi tetap menjadi tanggung jawab pelaku terhadap korban. Namun, ketidakmampuan finansial pelaku sering kali menjadi kendala utama dalam pemenuhan hak korban. Di sisi lain, Pasal 35 Undang-Undang TPKS Nomor 12 Tahun 2022, menyatakan dalam hal kekayaan terpidana yang disita tidak mencukupi biaya restitusi, negara memberikan kompensasi sejumlah restitusi kurang bayar.


















