Baca artikel IDN Times lainnya di IDN App
For
You

Membaca Tirani sebagai Aktor Politik di Pemilu 2024

Presiden Joko Widodo menyapa warga saat berjalan kaki di Lapangan Gasibu, Bandung, Jawa Barat, Minggu (4/2/2024). Presiden Joko Widodo ditemani keluarga melakukan jalan santai di tempat itu. (ANTARA FOTO/Hafidz Mubarak A)

Jakarta, IDN Times - Doktor dan aktivis Muhammadiyah Sukidi Mulyadi menyinggung soal tiran dalam konteks pemilu 2024. Ia menuturkan bahwa bentuk tirani tercermin pada konsentrasi kekuasaan satu figur atau segelintir orang yang berada di pihaknya.

“Tiran adalah satu aktor politik yang memusatkan kekuasaan pada dirinya,” jelas Sukidi dalam Laporan Publik 2 Jaga Suara di YouTube Keep Talking, pada Kamis (23/2/2024).

1. Akar kejahatan adalah praktek kekuasaan tirani

Massa Aksi Nasional Gerakan Masyarakat Sipil bakar ban saat berdemo di depan KPU pada Jumat (23/2/2024). (IDN Times/Fauzan)

Sukidi menuturkan bahwa ada beberapa bentuk kejahatan dalam Pemilu, seperti politik uang (money politic) yang terlihat dari politisasi bansos dan penyalahgunaan kekuasaan. Dia menilai bahwa praktek kejahatan di pemilu tahun ini berkaitan dengan kekuasaan tirani. 

“Ada 1.000 orang yang memangkas cabang-cabang kejahatan, sementara hanya satu yang menyerang akarnya,” ungkap Doktor jebolan Harvard University tersebut.

2. Pemilu semu untuk melanggengkan kekuasaan

Dugaan kecurangan pemilu yang terjadi di Malaysia (IDN Times/Yosafat Diva Bayu Wisesa)

Sukidi juga menyebut pemilu 2024 yang dijalankan dengan berpura-pura hanya untuk menguntungkan para penguasa. Hal ini ia kaitkan dengan sistem pemerintahan tirani yang berfokus melanggengkan kekuasaan. 

“Pemilu semu inilah yang dipakai oleh para tiran di berbagai dunia, yang sebenarnya untuk berpura-pura hidup di alam demokratis, partai politik terselenggara, pesaing politik ada, tapi sebenarnya itu adalah kepura-puraan,” tegasnya. 

Ia mengatakan bahwa kepalsuan itu menjadi bukti bahwa masyarakat Indonesia tengah hidup di ambang kekuasaan tirani.

3. Pseudo Election

Demo PMII ricuh di sekitar kawasan Istana Merdeka tuntut pertanggungjawaban Jokowi soal kasus KKN pada Senin (12/2/2024). (IDN Times/Sherlina Purnamasari)

Sukidi menjelaskan bahwa karena ketiadaan toleransi bagi pesaing politik, maka benturan kerap terjadi antara mereka dan penguasa. Maka hal tersebut menjadikan pemilu bersifat semu atau pseudon election.

“Ketiadaan toleransi timbal balik ini yang membuat pemilu ini tidak berlangsung secara jujur, secara adil, dan secara fair,” ungkapnya.

Menurutnya, para penguasa menggunakan instrumen dan aparatur negara untuk membantu kemenangan politik elektoralnya. Sedangkan, pihak yang tidak memiliki kekuasaan hanya dapat berharap pemilu berlangsung jujur dan adil (jurdil).

Share
Editor’s Picks
Topics
Editorial Team
Anata Siregar
Sherlina Purnamasari
Anata Siregar
EditorAnata Siregar
Follow Us