Menteri PPPA Soroti Pola Asuh, Orang Tua Kini Tak Tega Anak Susah

- Pola asuh keluarga dan keterkaitannya dengan gadget
- Upaya penyelesaian persoalan dari tingkat hulu
- Faktor budaya pernikahan anak yang memperburuk situasi kekerasan
Jakarta, IDN Times - Menteri Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (PPPA), Arifah Fauzi, menyoroti kondisi perbedaan pola asuh orang tua zaman sekarang dengan era dulu. Kalau dulu, kata dia, orang tua melatih anak untuk bertanggung jawab, namun sekarang lebih banyak memberikan toleransi. Hal ini dari hasil analisa internal KemenPPPA.
"Mau susah, mau apa, itu adalah proses. Tapi orang tua sekarang polanya berbeda. Mereka tidak tega kalau anaknya susah, mereka tidak mau kalau anaknya ikut mengalami proses pembentukan karakter. Misalnya, ada anak berantem. Kalau dulu kita waktu kecil lapor ke orang tua, yang dimarahin justru kitanya," kata dia dalam Konferensi Pers Capaian Kemen PPPA Selama Satu Tahun di Kantor Kemen PPPA, Jakarta Pusat, Senin (27/10/2025).
"Tapi sekarang, ada anak berantem, lapor ke orang tuanya, orang tuanya yang lebih marah daripada anaknya. Ini sudah kebalik-balik. Anak sudah mulai main, orang tuanya yang masih bermasalah," ujar Arifah.
1. Pola asuh keluarga dan keterkaitannya dengan gadget

Kekerasan terhadap perempuan dan anak semakin tinggi juga terjadi, karena faktor pola asuh dalam keluarga dan keterkaitannya dengan gadget.
"Banyak orang tua yang curhat, susah sekali sekarang memberikan bimbingan pengasuhan kepada anak-anak kita, karena terkait dengan faktor ketiga, yaitu gadget. Jadi orang tua memang kewalahan bagaimana memberikan pola asuh," kata dia.
Maka, dia mengatakan, KemenPPPA sudah menjalin kerja sama untuk melakukan penguatan keluarga untuk mencipakan pola asuh yang tepat, untuk membimbing anak-anaknya dengan situasi dan kondisi saat ini.
2. Upaya penyelesaian persoalan dari tingkat hulu

Arifah menjelaskan, salah satu langkah pencegahan kekerasan terhadap perempuan dan anak, dilakukan melalui program Ruang Bersama Indonesia (RBI). Program ini disebut sebagai upaya penyelesaian persoalan dari tingkat hulu, agar kekerasan tidak terus berulang di masyarakat.
“Kenapa Ruang Bersama Indonesia kami jadikan salah satu solusi untuk pencegahan dari tingkat hulu kekerasan terhadap perempuan dan anak? Karena kami melihat hubungan antara satu anggota masyarakat dengan yang lain sudah semakin berjarak, karena adanya gadget. Kebersamaan untuk membangun solidaritas sudah semakin menjauh di lingkungan masyarakat kita,” kata Arifah.
3. Faktor budaya pernikahan anak yang memperburuk situasi kekerasan

Selain faktor sosial yang makin renggang, lanjut Arifah, yakni faktor budaya yang memperburuk situasi kekerasan, terutama pernikahan usia anak. Dia menjelaskan, praktik tersebut menjadi akar dari berbagai bentuk kekerasan terhadap perempuan dan anak.
“Pernikahan usia anak juga menjadi salah satu penyebab tingginya angka kekerasan terhadap anak maupun perempuan. Karena pernikahan anak ini menjadi cikal bakal adanya kekerasan,” ujarnya.
Menurutnya, anak yang menikah di usia dini belum siap secara fisik maupun mental untuk berumah tangga.
“Usianya belum matang, anak yang dilahirkan juga dalam kondisi kurang baik, sehingga berisiko kurang gizi, stunting, dan sebagainya. Karena masih usia anak, dia harus mengasuh anak. Jadi anak mengasuh anak,” kata dia.
4. Pernikahan anak juga membatasi akses pada masa depan

Arifah menambahkan, pernikahan anak juga membatasi akses pendidikan dan pekerjaan, sehingga mempersempit kesempatan ekonomi keluarga.
“Kesempatan pendidikan juga jadi semakin sempit, sehingga kesempatan untuk mendapatkan pekerjaan dalam meningkatkan ekonomi keluarga juga terhambat,” ujarnya.
Maka di tahun kedua kepemimpinannya di KemenPPPA, Arifah ingin menyelesaikan persoalan di tingkat hulu.

















