Motif Ledakan SMAN 72 Terungkap, KPAI Soroti Fenomena Konten Kekerasan

- KPAI menyoroti peran besar media sosial dan algoritma digital dalam memperkuat bias dan mendorong perilaku intoleran di kalangan anak dan remaja.
- Tanpa literasi digital yang kuat, anak dapat dengan mudah terpapar konten yang mengandung kekerasan, kebencian, dan ideologi ekstrim yang dibalut dengan moralitas palsu.
- KPAI menegaskan setiap anak, baik ABH maupun korban, berhak mendapatkan perlindungan, bimbingan, dan kesempatan untuk pulih.
Jakarta, IDN Times - Kasus ledakan di SMAN 72 Jakarta Utara akhirnya terungkap. Pelaku adalah siswa berinisial F, yang kini berstatus Anak Berkonflik dengan Hukum (ABH). Motif aksi ini diduga karena pelaku dendam, dan juga terpapar konten kekerasan di internet.
Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) menyatakan peristiwa ini tidak hanya mencederai rasa aman di lingkungan pendidikan, tetapi juga menunjukkan adanya tantangan serius dalam membangun budaya sekolah yang ramah anak dan anti-kekerasan. KPAI menyebut ada kombinasi motif dari tindakan pelaku.
"Motif utama terduga pelaku, diduga merupakan kombinasi antara emosi pribadi yang tidak terkendali dan internalisasi narasi ekstrem dari ruang digital yang memengaruhi cara berpikirnya," kata anggota KPAI Klaster Pendidikan, Waktu Luang, dan Budaya, Aris Adi Leksono, Rabu (12/11/2025).
1. Peran besar media sosial dan algoritma digital

KPAI menyoroti peran besar media sosial dan algoritma digital dalam memperkuat bias, dan mendorong perilaku intoleran di kalangan anak dan remaja. Tanpa literasi digital yang kuat, anak dapat dengan mudah terpapar konten yang mengandung kekerasan, kebencian, dan ideologi ekstrem yang dibalut dengan moralitas palsu.
"Fenomena 'digital grooming ideologis' semakin marak, di mana anak dijadikan sasaran, untuk mengadopsi pandangan ekstrem melalui interaksi daring yang tampak ramah dan edukatif," ujar Aris.
2. Setiap anak berhak dapat perlindungan, bimbingan, dan kesempatan pulih

KPAI menegaskan setiap anak, baik ABH maupun korban, berhak mendapatkan perlindungan, bimbingan, dan kesempatan untuk pulih. Kekerasan dan faham ekstremisme, disebut bukan hanya masalah individu, tetapi cermin dari ekosistem pendidikan yang perlu diperkuat secara menyeluruh dari keluarga, sekolah, komunitas, hingga ruang digital.
"KPAI mengajak seluruh pemangku kepentingan untuk memperkuat kolaborasi mewujudkan Satuan Pendidikan Aman, Ramah, dan Berintegritas, agar sekolah menjadi tempat yang benar-benar mendidik tanpa rasa takut," kata Aris.
3. Dorong langka strategis cegah kekerasan di sekolah

KPAI mendorong langkah strategis pencegahan kekerasan di sekolah pasca-kasus ledakan di SMAN 72 Jakarta. KPAI menekankan pentingnya penguatan Early Warning System untuk mendeteksi perubahan perilaku siswa, seperti isolasi sosial atau ketertarikan pada konten kekerasan.
Lembaga ini juga mendorong pengembangan support system di sekolah dengan melibatkan guru BK, psikolog, dan orang tua.
Selain itu, KPAI mengajak kolaborasi lintas kementerian untuk memperkuat literasi digital dan pendidikan anti-kekerasan bagi siswa. Pemantauan media sosial anak pun disarankan dilakukan dengan tetap menghormati privasi, serta disertai penguatan regulasi dan SOP penanganan kasus agar respons pendidikan lebih cepat dan berpihak pada anak.



















