Pamer Uang Korupsi Bikin Penegakan Hukum Kayak Pertunjukkan Hiburan

- Lembaga penegak hukum tidak perlu pamer uang: Lembaga penegak hukum dinilai tidak perlu memamerkan uang hasil korupsi di depan publik karena dapat menimbulkan kemarahan masyarakat.
- Penyitaan uang hasil pengembalian kerugian negara: Uang yang dipamerkan di Gedung Kejagung merupakan hasil pengembalian kerugian keuangan negara dari beberapa korporasi yang terlibat dalam kasus ekspor CPO.
Jakarta, IDN Times - Kejaksaan Agung (Kejagung) resmi menyerahkan uang Rp13.255.244.538.149 (Rp13 triliun) terkait kasus korupsi persetujuan ekspor Crude Palm Oil (CPO) minyak kelapa sawit kepada negara pada Senin (20/10/2025).
Uang tersebut secara simbolis diserahkan Jaksa Agung Sanitiar Burhanuddin kepada Menteri Keuangan (Menkeu) Purbaya Yudhi Sadewa dan disaksikan langsung oleh Presiden Prabowo Subianto.
Pantauan IDN Times di lokasi, sebanyak Rp2,4 triliun dari Rp13 triliun itu dipajang di lokasi konferensi pers di Gedung Kejagung. Uang dengan pecahan Rp100 ribu terlihat ditumpuk hingga menggunung setinggi 2 meter.
Pamer barang bukti korupsi uang mulai dari ratusan juta hingga triliunan rupiah saat ini telah menjadi satu hal biasa dilakukan oleh pihak kepolisian, Kejaksaan Agung, dan bahkan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK).
Ahli Hukum sekaligus Mantan Wakil Ketua KPK, Chandra Hamzah pun memberikan pendapatnya terkait fenomena tersebut. Dalam program Ngobrol Seru by IDN Times bersama Uni Lubis, Chandra mengatakan, penegakan hukum belakangan ini tak ubahnya pertunjukkan atau entertainment yang tidak sejalan dengan tujuan penegakan hukum.
Menurut Chandra, tujuan penegakan hukum bukanlah dengan memamerkan bukti uang hasil korupsi di depan publik, melainkan untuk memberikan kedamaian hidup antarpribadi supaya kehidupan tetap berjalan dengan damai.
"Penunjukkan barang bukti uang itu, itu bukan uang hasil kejahatan, itu bukan barang bukti karena uang itu bukan dari hasil menyita dari si tersangka korupsi. Ya uang itu dipinjam dari bank lah diambil, yang di situ adalah rekening banknya bukan uangnya. Barang bukti itu mesti fisik barang yang digunakan untuk kejahatan. Mungkin sebagian orang menganggap itu adalah menunjukkan keseriusan," tutur Chandra, dikutip Senin (20/10/2025).
1. Lembaga penegak hukum tidak perlu pamer uang

Chandra menambahkan, sebaiknya para lembaga penegak hukum tidak perlu lagi memamerkan uang yang disebut barang bukti tersebut di depan publik. Hal tersebut, kata Chandra,, hanya akan membawa dampak buruk, terutama masyarakat yang akan marah melihat uang dengan jumlah banyak dikorupsi.
"Saya menganggap, ya tolonglah diperbaiki hal-hal yang bersifat populis. Efek jeleknya bahwa masyarakat akan melihat bahwa ini korupsi sekian triliun itu membuat kemarahan masyarakat," kata dia.
Chandra pun mencontohkan ketika dia masih di KPK tidak pernah melakukan pamer-pamer uang yang diklaim sebagai hasil korupsi. KPK di zaman Chandra juga tidak terlalu mengekspos tersangka kasus korupsi.
"Waktu saya di KPK saya gak pernah. Kita pernah menyita sekitar Rp350 M (miliar) atau Rp450 M (miliar) rekening bank. Uangnya kita rampas ke negara. Pada saat itu, itu paling besar mungkin gitu ya Rp350 M lah tahun 2008. Kita gak nunjukin uangnya, kita tunjukkin bukti transfernya," ujar Chandra.
"Zaman saya, kita (KPK) gak pernah nunjukkin orangnya, siapa tersangkanya, gak pernah sama sekali. Yang kita expose adalah penjelasan kepada publik mengenai bahwa kita telah melakukan penangkapan, bahwa kemudian orang dibawa ke gedung KPK selama perjalanan kemudian toh turun dari mobil juga kelihatan, kita gak pernah," sambungnya.
2. Penyitaan uang hasil pengembalian kerugian negara

Berkaitan dengan uang yang dipamerkan di Gedung Kejagung hari ini, Jaksa Agung ST Burhanuddin mengatakan, penyitaan itu merupakan hasil pengembalian kerugian keuangan negara dari tersangka korporasi Wilmar Group, PT Musim Mas Group, dan Permata Hijau Group.
Uang itu diterima dari lima korporasi yang merupakan anak usaha Wilmar, yakni PT Multimas Nabati Asahan, PT Multi Nabati Sulawesi, PT Sinar Alam Permai, PT Wilmar Bioenergi Indonesia, PT Wilmar Nabati Indonesia. Selain itu, ada juga dari enam korporasi seperti Permata Hijau Group, yakni PT Nagamas Palm Oil Lestari, PT Pelita Agung Agri Industri, PT Nubika Jaya, PT Permata Hijau Palm Oil, dan PT Permata Hijau Sawit.
3. Masih ada Rp4.4 triiun yang tertunda

Burhanuddin pun mengungkapkan, ada dua korporasi yang meminta menunda pembayaran uang pengganti (UP) sebesar Rp4,4 triliun. Uang pengganti tersebut berkaitan dengan kasus pemberian fasilitas ekspor CPO dengan kerugian negara mencapai Rp17,7 triliun.
"Total kerugian perekonomian negara itu Rp 17 triliun dan hari ini, kami akan serahkan sebesar Rp13,255 triliun," ujar Burhanuddin di Kejagung
Dua grup korporasi ini telah mengajukan penundaan untuk melunasi uang pengganti tersebut. Hal itu kemudian disetujui Kejaksaan RI dengan syarat penyerahan lahan sawit dari perusahaan.
"Dengan satu kewajiban bahwa mereka harus menyerahkan kepada kami ya kelapa sawit, jadi kebun sawitnya, perusahaannya adalah menjadi tanggungan kami untuk yang Rp4,4 triliun," katanya.