Peneliti: 19 Calon Tunggal vs Kotak Kosong Datang dari Dinasti Politik

Jakarta, IDN Times - Peneliti dari Institute for Advanced Research (IFAR) Unika Atma Jaya, Yoes C Kenawas, mengatakan dari 41 daerah yang melawan kotak kosong, sebanyak 19 calon kepala daerah di antaranya terafiliasi dengan dinasti politik.
Realita ini memperburuk keadaan Pilkada 2024. Dalam catatan Yoes, jumlah peserta Pilkada 2024 menurun dibandingkan Pilkada sebelumnya. Itu pun mayoritas yang berlaga memiliki latar belakang dinasti politik.
"Sembilan belas daerah yang calon pemimpinnya melawan kotak kosong terafiliasi dengan dinasti politik. Jadi partai sudah diborong, tidak ada kompetitor, ditambah berasal dari dinasti politik pula," ujar Yoes dalam talkshow politik dan pemilu GenZMemilih by IDNTimes, dikutip di kanal YouTube, Minggu (24/11/2024).
Yoes khawatir bila kondisi ini dibiarkan, maka situasi demokrasi di Indonesia akan menyerupai Filipina. "Di Filipina, 70 persen pemerintahan di level bawah dipimpin oleh keluarga yang terafiliasi dengan dinasti politik," tutur dia.
Dampak dari daerah yang dipimpin dinasti politik, kata Yoes, pembangunan hanya dinikmati kelompok dan elite tertentu.
1. Jumlah kepala daerah di Pilkada 2024 yang terafiliasi dinasti politik meningkat pesat

Lebih lanjut, Yoes mengakui jumlah kepala daerah yang berlaga di Pilkada 2024 dan terafiliasi dinasti politik meningkat dua kali lipat, dibanding tiga Pilkada serentak sebelumnya. Pada tiga Pilkada sebelumnya, jumlah kepala daerah yang terafiliasi dinasti politik mencapai 306, tetapi pada Pilkada 2024 angkanya meningkat menjadi 605.
Dari 605 calon kepala daerah, sebanyak 384 di antaranya berlaga sebagai calon kepala daerah, sedangkan 221 lainnnya sebagai calon wakil kepala daerah.
"Terjadi peningkatan signifikan karena banyak kepala daerah yang masa jabatannya sudah habis di tahun ini. Ketika mereka sudah tidak lagi bisa maju, maka yang diajukan untuk periode selanjutnya adalah keluarganya," kata Yoes.
Langkah tersebut, kata Yoes, adalah cara mereka untuk mempertahankan kekuasaan di daerah mereka. Pola lain yang ditemukan Yoes dan peneliti di Universitas Gadjah Mada (UGM) yakni keluarga dari anggota DPR aktif ikut maju di Pilkada 2024.
"Tujuannya untuk memperluas kekuasaan mereka. Kalau pola yang lain kan memperpanjang masa berkuasa," tutur dia.
2. Tidak ada aturan yang melarang calon kepala daerah dari dinasti politik untuk maju Pilkada

Hal lain yang menyebabkan calon kepala daerah dari dinasti politik meningkat pesat di Pilkada 2024, lantaran tidak ada aturan yang melarangnya. Dulu ada Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2015 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Walikota.
Dalam Pasal 7 huruf r disebutkan, calon pemimpin daerah dapat mengikuti suatu pemilihan apabila tidak mempunyai konflik kepentingan dengan petahana. Tetapi UU Nomor 8 Tahun 2015 itu justru dibatalkan MK.
Di sisi lain, kata Yoes, peningkatan jumlah calon kepala daerah yang terafiliasi dinasti politik bermula pada Pilpres Februari 2024.
"Karena ada normalisasi terhadap dinasti politik yang dilakukan oleh pejabat tinggi. Kan di Pilpres 2024, ada pembentukan dinasti politik pertama, itu baru terjadi dalam sejarah RI, dari bapak ke anak di level presiden. Itu kejadiannya secara langsung, dalam artian tidak ada jeda," kata dia, merujuk Presiden Joko Widodo dan Gibran Rakabuming Raka.
Situasi itu diperburuk karena malah dibangun narasi tidak masalah calon presiden dan calon wakil presiden dari dinasti dinasti, lantaran pilihan diserahkan kepada rakyat. "Pilihan calon pemimpin di kertas suara itu ditentukan oleh partai dan elite," imbuhnya.
3. Simbiosisme mutualisme antara dinasti politik dengan partai politik

Selain itu, Yoes juga menyebut adanya simbiosisme mutualisme antara calon kepala daerah dari dinasti politik dengan partai politik. Calon dari dinasti politik butuh tiket dari parpol untuk bisa berlaga di Pilkada.
"Cara untuk mendapat tiket lewat parpol itu lebih 'murah' dibandingkan sebagai calon independen. Karena susahnya mengumpulkan KTP sebagai salah satu persyaratan," kata dia.
Sedangkan bagi parpol, dengan memajukan calon dari dinasti politik bakal menambah besar peluang kemenangan dibandingkan calon kepala daerah yang tak memiliki latar belakang dinasti politik. Di sisi lain, calon dari dinasti politik memiliki sumber daya yang berlimpah sehingga tak perlu lagi membantu masalah logistik.
"Di masa normal yang bisa membiayai partai politik adalah calon kepala daerah petahana. Bila calon kepala daerahnya datang dari dinasti politik, lebih dipercaya bisa membantu operasional partai," tutur dia.