PLTN Masuk Peta Jalan Energi Bersih Indonesia, Ini Penjelasan Wamen ESDM

- PLTN masuk peta transisi energi nasional menuju Net Zero Emission 2060.
- Pengembangan tenaga nuklir di Indonesia sudah direncanakan sejak tahun 1960-an.
- Pemerintah menargetkan porsi energi nuklir dalam bauran energi nasional mencapai 5 persen pada 2030, dan naik menjadi 11 persen pada 2060.
Jakarta, IDN Times – Pemerintah mulai melirik energi nuklir sebagai salah satu tumpuan baru dalam perjalanan menuju Net Zero Emission (NZE) 2060. Setelah lama hanya jadi bahan kajian, Pembangkit Listrik Tenaga Nuklir (PLTN) kini resmi masuk radar pemerintah sebagai opsi strategis untuk menjaga pasokan energi tetap aman dan rendah emisi.
1. PLTN sebagai salah satu opsi strategis dalam peta transisi energi nasional

Wakil Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Yuliot menjelaskan, kebijakan ini sejalan dengan Asta Cita butir kedua yang menekankan pentingnya memperkuat pertahanan dan keamanan nasional. Selain itu, langkah ini juga menjadi bagian dari upaya mendorong kemandirian bangsa melalui swasembada energi, pangan, air, dan pengembangan ekonomi hijau serta biru.
"PLTN sebagai salah satu opsi strategis dalam peta transisi energi nasional dalam mencapai Net Zero Emission 2060. PLTN tidak lagi dianggap sebagai opsi terakhir, melainkan sebagai bagian penting dari perencanaan energi nasional," ujar Yuliot saat menjadi pembicara kunci pada acara Badan Pengawas Tenaga Nuklir (BAPETEN) Executive Meeting dan Penganugerahan BAPETEN Award 2025 yang digelar di Jakarta, Senin (27/10).
2. Sudah lama direncanakan

Menurut Yuliot, wacana pengembangan tenaga nuklir di Indonesia bukan hal baru. Sejak tahun 1960-an, pemerintah sudah memiliki tiga reaktor riset: Reaktor Triga di Bandung (2 MW), Reaktor Kartini di Yogyakarta (100 kW), dan Reaktor Serpong di Tangerang Selatan (30 MW).
Ia menambahkan, dasar hukum pengembangan energi nuklir di Indonesia sudah kuat. Aturan tersebut tertuang dalam UU Nomor 10 Tahun 1967 tentang Ketenaganukliran, RPJPN 2025–2045, serta PP Nomor 40 Tahun 2025 tentang Kebijakan Energi Nasional.
“Dalam PP Nomor 45 Tahun 2025, PLTN tidak lagi dianggap sebagai opsi terakhir, melainkan sebagai bagian penting dari perencanaan energi nasional. Seluruh dokumen itu menegaskan komitmen Indonesia untuk mengoperasikan PLTN pertama pada tahun 2032 dan mencapai kapasitas 44 GW pada 2060. Dari total tersebut, sekitar 35 GW untuk kebutuhan listrik umum, sedangkan 9 GW digunakan untuk produksi hidrogen nasional,” jelasnya.
Dari total rencana kapasitas itu, sekitar 35 GW akan digunakan untuk kebutuhan listrik umum, sedangkan 9 GW akan dialokasikan bagi produksi hidrogen nasional.
3. Pemerintah akan memastikan aspek keamanan menjadi prioritas utama

Pemerintah menargetkan porsi energi nuklir dalam bauran energi nasional mencapai 5 persen pada 2030, dan naik menjadi 11 persen pada 2060.
Meski potensinya besar, menurut Yuliot, pengembangan PLTN tidak mudah. Biaya investasi untuk satu unit PLTN bisa mencapai USD3,8 miliar, dengan waktu pembangunan sekitar 4–5 tahun.
Selain tantangan teknis dan pendanaan, kekhawatiran masyarakat soal risiko bencana alam juga jadi perhatian serius. Pemerintah, kata Yuliot, akan memastikan aspek keamanan menjadi prioritas utama. Pemerintah akan memperhatikan penuh mitigasi dan pengawasan yang ketat, serta memperkuat kerja sama internasional melalui BAPETEN agar operasional PLTN berjalan aman,” katanya.
Langkah ini diharapkan bisa mempercepat transisi energi dan membawa Indonesia menuju masa depan energi yang lebih bersih dan berkelanjutan. (WEB)


















