Psikolog Forensik: Anak Ikut Lompat dari Apartemen di Jakut Korban

Jakarta, IDN Times - Kasus satu keluarga mengakhiri hidup dengan cara melompat dari rooftop Apartemen Teluk Intan Tower Topas, Jakarta Utara (Jakut), Sabtu (9/3/2024) sore masih penuh teka-teki.
Psikolog Forensik, Reza Indragiri menyoroti soal dua anak yang terlibat dalam kasus tersebut. Mereka adalah JWA (13) dan JL (15). Ia mengatakan, selain kasus mengakhiri hidup, ada juga dugaan kasus pembunuhan.
“Saya melihat, boleh jadi ada tanda-tanda bahwa ini, di samping merupakan kasus bunuh diri juga merupakan, maaf, kasus pembunuhan,” kata Reza saat dihubungi, Senin (11/3/2024).
“Sebagian pihak barangkali memang bisa disebut melakukan bunuh diri, sebagian pihak lain menurut saya terindikasi menjadi korban pembunuhan,” imbuhnya.
1. Anak-anak tidak boleh dipandang sebagai manusia yang memiliki konsensual

Reza menjelaskan, dari pandangan psikologi forensik, ketika ada sebuah aktivitas tertentu yang mengandung pelanggaran hukum dan aktivitas itu dilakukan secara bersama-sama oleh beberapa orang, maka akan ditinjau ada atau tidaknya konsensual atau persetujuan antarpelaku.
“Misalnya kalau empat orang itu berkehendak atau mau sukarela untuk melompat dari tempat setinggi itu, berujung pada tewasnya mereka, maka kita bisa amini anggapan bahwa itu merupakan bunuh diri karena masing-masing pihak berkehendak untuk itu,” ujar Reza.
Namun, kata dia, dalam kasus ini terdapat dua orang anak yang tidak boleh dipandang sebagai pihak yang berkehendak untuk menghilangkan nyawa mereka sendiri.
“Anak-anak tidak boleh dipandang sebagai manusia yang memiliki konsensual atau kemauan atau kehendak untuk mengambil langkah yang sedemikian fatal,” imbuhnya.
2. Dua anak yang terlibat kasus mengakhiri hidup merupakan korban

Oleh karena itu, dua anak yang jatuh bersama kedua orangtuanya itu menurut Reza, harus dipandang sebagai pihak yang tidak memiliki konsensual.
“Berarti mereka dipaksa oleh pihak lain untuk melakukan aksi yang berakibat fatal tersebut,” ujarnya.
Reza kemudian mengkritisi narasi ‘sekeluarga melakukan aksi bunuh diri’.
“Kedua anak itu harus diposisikan sebagai korban, yaitu pihak yang dipaksa oleh pihak lain untuk melakukan aksi tersebut. Nah terhadap dua anak itu, maka alih-alih disebut sebagai pelaku bunuh diri justru menurut saya tepat kiranya disebut sebagai korban,” kata Reza.
3. Kondisi tangan saling terikat menguatkan dugaan adanya korban mengakhiri hidup

Dugaan kedua anak itu merupakan korban dikuatkan dengan fakta bahwa saat empat anggota keluarga itu ditemukan tewas, tangan JWA terikat dengan tangan sang ibu, AEL (52) dan tangan JL terikat dengan tangan sang ayah, EA (50).
“Dugaan saya bahwa dua anak itu dipaksa sedemikian rupa untuk masuk ke dalam situasi yang bisa berakibat hilangnya nyawa mereka. Nah dengan demikian semakin sah kiranya bahwa dua anak itu tidak berkehendak atau tidak mau untuk melompat,” kata Reza.
“Bahwa kemudian mereka diikat sampai kemudian mereka juga terseret jatuh sedemikian rupa ini mempertegas perkiraan saya atau memperkuat asumsi saya bahwa memandang posisi anak dalam situasi situasi ekstrem semacam ini mereka dipandang sebagai korban yaitu pihak yang dipaksa oleh pihak lain untuk masuk ke dalam situasi yang sedemikian berbahaya,” ujarnya.
Depresi bukanlah persoalan sepele. Jika Anda merasakan tendensi untuk melakukan bunuh diri, atau melihat teman atau kerabat yang memperlihatkan tendensi tersebut, amat disarankan untuk menghubungi dan berdiskusi dengan pihak terkait, seperti psikolog, psikiater, maupun klinik kesehatan jiwa.
Saat ini, tidak ada layanan hotline atau sambungan telepon khusus untuk pencegahan bunuh diri di Indonesia. Kementerian Kesehatan Indonesia pernah meluncurkan hotline pencegahan bunuh diri pada 2010. Namun, hotline itu ditutup pada 2014 karena rendahnya jumlah penelepon dari tahun ke tahun, serta minimnya penelepon yang benar-benar melakukan konsultasi kesehatan jiwa.
Walau begitu, Kemenkes menyarankan warga yang membutuhkan bantuan terkait masalah kejiwaan untuk langsung menghubungi profesional kesehatan jiwa di Puskesmas atau Rumah Sakit terdekat.
Kementerian Kesehatan RI juga telah menyiagakan lima RS Jiwa rujukan yang telah dilengkapi dengan layanan telepon konseling kesehatan jiwa:
RSJ Amino Gondohutomo Semarang(024) 6722565
RSJ Marzoeki Mahdi Bogor(0251) 8324024, 8324025
RSJ Soeharto Heerdjan Jakarta(021) 5682841
RSJ Prof Dr Soerojo Magelang(0293) 363601
RSJ Radjiman Wediodiningrat Malang(0341) 423444
Selain itu, terdapat pula beberapa komunitas di Indonesia yang secara swadaya menyediakan layanan konseling sebaya dan support group online yang dapat menjadi alternatif bantuan pencegahan bunuh diri dan memperoleh jejaring komunitas yang dapat membantu untuk gangguan kejiwaan tertentu.