Reklamasi Ilegal Pulau Pari, Kiara: KKP Tak Tegas pada Perusak Lingkungan

- Reklamasi ilegal di Pulau Pari, Kepulauan Seribu, menimbulkan polemik besar karena kerusakan ekosistem laut dan kebijakan pemerintah yang lemah.
- Koalisi Rakyat untuk Keadilan Perikanan (Kiara) menyoroti masalah izin PKKPRL yang membuat KKP tidak bisa meminta ganti rugi atau menghentikan aktivitas perusahaan yang merusak lingkungan.
- Menteri Kelautan dan Perikanan (KKP) Sakti Wahyu Trenggono mengungkapkan bahwa PT CPS melakukan reklamasi tanpa izin sah, menyebabkan temuan indikasi pelanggaran setelah penyelidikan.
Jakarta, IDN Times - Reklamasi ilegal yang berlangsung di kawasan pesisir Pulau Pari, Kepulauan Seribu, telah memicu polemik besar. Persoalan ini tidak hanya terkait dengan kerusakan ekosistem laut yang serius, namun juga dengan kebijakan pemerintah yang dinilai lemah dan tidak tegas terhadap korporasi besar yang merusak lingkungan.
Sekretaris Jenderal Koalisi Rakyat untuk Keadilan Perikanan (Kiara), Susan Herawati, menyoroti masalah dalam proses perizinan reklamasi, khususnya yang melibatkan Persetujuan Kesesuaian Kegiatan Pemanfaatan Ruang Laut (PKKPRL). Menurutnya, begitu izin PKKPRL dikeluarkan, Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) tak bisa meminta ganti rugi, menghentikan aktivitas perusahaan yang merusak lingkungan, bahkan meskipun reklamasi itu terbukti merusak ekosistem pesisir.
“Inilah masalahnya dari KKP ya, artinya kalau kemudian sudah ada izin kan berarti ya KKP gak akan bergeming gitu ya. PKKPRL ini benar-benar bermasalah gitu," kata ujar Susan kepada IDN Times, Selasa (28/1/2025).
1. Ada kelalaian dalam penanganan reklamasi ilegal

Susan menjelaskan bahwa pemanfaatan ruang laut boleh dilakukan asalkan sesuai aturan, tetapi KKP atau negara tidak memiliki posisi tegas terhadap perusahaan yang melakukan kerusakan lingkungan. Bahkan, dia mengkritik kelalaian yang terjadi dalam penanganan reklamasi ilegal ini.
“Kami bilang kelalaian karena sebenarnya kan dari Juli atau Juni ya, itu kan sudah ada yang turun dari DKP gitu ya, pasti sudah melaporkan lah. Mah PSTDP (Direktorat Jenderal Pengawasan Sumber Daya Kelautan dan Perikanan itu turun di bulan September 2024 gitu, kenapa baru disegel oleh KKP ketika kasusnya masif gitu," katanya.
"Artinya kan jadi peluang buat KKP untuk melakukan atau mengeluarkan izin PKPRL itu, supaya nanti siapapun yang memegang HGB itu bisa melakukan reklamasi itu yang jadi masalah sebenarnya," kata dia.
2. Lemahnya ketegasan pemerintah terhadap korporasi

Susan menjelaskan, lemahnya ketegasan pemerintah terhadap korporasi besar dalam pengelolaan ruang laut menunjukkan ketidakberanian negara dalam melindungi lingkungan.
"Ini bagaimana negara tidak punya keberanian apapun di depan mata korporasi dan melihat dari dinamika media hari ini sebenarnya kita bisa bilang ya emang orang-orang ini tidak layak lagi untuk menahkodai pesisir gitu, harusnya memang harusnya nelayan ya karena memang lebih pas daripada kayak begini gitu ya karut-marut pengelolaan uang," katanya.
3. Meski adanya PKKPRL, KKP menemukan adanya indikasi pelanggaran

Sementara sebelumnya, Menteri Kelautan dan Perikanan (KKP) Sakti Wahyu Trenggono mengungkapkan, kegiatan reklamasi yang dilakukan oleh PT CPS di Pulau Pari dilakukan tanpa izin yang sah. Proyek tersebut melibatkan pembangunan cottage apung dan dermaga wisata seluas 180 hektare di kawasan perairan Pulau Pari, yang kemudian disetujui melalui Persetujuan Kesesuaian Kegiatan Pemanfaatan Ruang Laut (PKKPRL) pada 12 Juli 2024.
Namun, setelah penyelidikan lebih lanjut, KKP menemukan adanya indikasi pelanggaran. Dengan adanya temuan itu, KKP berjanji bakal memberikan sanksi kepada PT CPS terkait temuan ini.
"KKP sudah melakukan penilaian KKPRL 22 Januari 2025 dan ditemukan indikasi pelanggaran," ujar Sakti dalam rapat kerja dengan Komisi IV DPR RI, Kamis (23/1/2025).