Baca artikel IDN Times lainnya di IDN App
For
You

SAFEnet Soroti Beragam Represi Digital saat Aksi Demo

Ratusan bahkan ribuan mahasiswa dan elemen ojol berbagai atribut demo besar-besaran di Mapolda Jateng. (IDN Times/Fariz Fardianto)
Ratusan bahkan ribuan mahasiswa dan elemen ojol berbagai atribut demo besar-besaran di Mapolda Jateng. (IDN Times/Fariz Fardianto)
Intinya sih...
  • Kriminalisasi aktivis dan penyebaran data pribadi
  • Adanya dugaan intimidasi digital
Disclaimer: This summary was created using Artificial Intelligence (AI)

Jakarta, IDN Times - SAFEnet mencatat sejumlah tindakan represif digital yang terjadi saat aksi demonstrasi di sejumlah daerah.

Aksi yang berlangsung sejak 25 Agustus 2025 tak hanya diwarnai dugaan pelanggaran hak asasi manusia pada para peserta, tetapi juga berdampak pada hak-hak digital pengguna internet di Indonesia secara masif.

"Situasi di lapangan juga menunjukkan adanya praktik-praktik yang diduga melanggar prinsip kebebasan berekspresi di ruang digital oleh pemerintah dan platform media sosial," tulis SAFEnet dalam keterangan resminya, dikutip Senin (1/9/2025)

"Kekhawatiran kami didasarkan pada beberapa peristiwa yang terjadi selama beberapa hari ke belakang yang memperlihatkan pelanggaran serius terhadap hak-hak digital warga," kata SAFEnet.

1. Kriminalisasi aktivis dan penyebaran data pribadi

Aksi demo massa terhadap DPR (IDN Times/Yosafat Diva Bayu Wisesa)
Aksi demo massa terhadap DPR (IDN Times/Yosafat Diva Bayu Wisesa)

Hal itu diidentifikasi dari adanya kriminalisasi pada aktivis mahasiswa dari Universitas Riau dan pengelola akun media sosial Aliansi Mahasiswa Penggugat (AMP) menggunakan Pasal 32 Ayat 1 dan/atau Pasal 35 Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE).

Mahasiswa itu ditangkap pada 28 Agustus 2025 di Bandara Internasional Soekarno-Hatta setelah melakukan kampanye tentang aksi protes bulan Agustus melalui akun Instagram AMP.

Kemudian beredarnya kontak WhatsApp sejumlah pegiat koalisi masyarakat sipil yang disebut sebagai anggota DPR sehingga menimbulkan spam, pelecehan, sampai gangguan keamanan.

2. Adanya dugaan intimidasi digital

ilustrasi sinyal hp (freepik.com/freepik)
ilustrasi sinyal hp (freepik.com/freepik)

SAFEnet juga mencatat adanya berbagai macam intimidasi masif di ruang digital mulai dari pengancaman, pengungkapan data pribadi, kekerasan berbasis gender online, dan berbagai serangan digital lainnya yang menargetkan individu-individu yang menyampaikan kritik di media sosial.

"Adanya gangguan terhadap akses internet dan informasi di ruang digital. Moderasi konten, pembatasan akses terhadap sejumlah fitur, dan pemadaman listrik yang terjadi di beberapa bagian wilayah Jakarta dan Bandung yang menjadi titik sentral aksi menyebabkan hambatan arus informasi bagi masyarakat secara umum serta memperbesar potensi ancaman fisik kepada para peserta aksi," ujar SAFEnet.

Selain itu, ditemukan dugaan sabotase kabel optik server dengan pembakaran yang berpotensi mengganggu jaringan internet serta memengaruhi arus komunikasi dan informasi di Jakarta.

"Pola ini serupa dengan pola-pola gangguan akses internet pada sejumlah demonstrasi selama beberapa tahun belakangan, di mana peserta kesulitan untuk terhubung ke Internet selama aksi berlangsung," kata SAFEnet.

3. Fitur live TikTok ditangguhkan dan dugaan operasi informasi alihkan isu

Tangkapan layar akun di TikTok Indonesia (IDN Times/Lia Hutasoit)
Tangkapan layar akun di TikTok Indonesia (IDN Times/Lia Hutasoit)

Ditangguhkannya fitur siaran langsung milik TikTok menjadi masalah tersendiri. Padahal, fitur live di platform tersebut menjadi alternatif warga mendokumentasikan demonstrasi di jalanan yang bisa merekam tindakan brutal.

SAFEnet mencatat, penangguhan ini selain membatasi akses informasi dan komunikasi juga berimbas pada aspek ekonomi, yakni pengusaha UMKM yang mengandalkan fitur siaran langsung untuk berjualan ikut terdampak.

Kemudian, adanya indikasi operasi informasi yang bertujuan mengalihkan perhatian publik dari isu kekerasan polisi. Narasi yang disebarkan berupaya mengarahkan fokus massa untuk menyasar DPR, alih-alih menuntut pertanggungjawaban atas brutalitas polisi.

"Pada saat yang sama, peserta aksi semakin sering dilabeli sebagai kelompok anarkis sebagai upaya untuk mendelegitimasi tuntutan mereka. Selain itu juga terdapat narasi hasutan untuk melakukan tindak kekerasan kepada etnis Tionghoa yang memunculkan trauma peristiwa 1998," tulis SAFEnet.

Militer juga disebut mencari panggung lewat narasi dari sejumlah akun media sosial

"Padahal, TNI tidak memiliki tugas pokok dan fungsi untuk mengamankan atau mencairkan suasana di titik-titik demonstrasi," kata SAFEnet.

Kementerian Komunikasi dan Digital (Komdigi) pada 26 Agustus 2025 jugamemanggil Meta dan TikTok soal konten yang dilabeli disinformasi, fitnah, dan ujaran kebencian (DFK). Beberapa hari kemudian, overmoderation terjadi di Instagram, YouTube, dan TikTok. Mulai dari akun ditangguhkan, unggahan soal kekerasan polisi dihapus, hingga pengguna X menerima notifikasi penurunan konten, padahal itu ekspresi sah.

Share
Editor’s Picks
Topics
Editorial Team
Deti Mega Purnamasari
EditorDeti Mega Purnamasari
Follow Us