Tinjauan Sosiologis: Aksi Demo Jakarta Ekspresi Politik, Bukan Anarki

- Dalam analisis ini dijelaskan gejolak akhir Agustus-awal September 2025 tidak dapat dipandang sebagai ledakan spontan. Peristiwa ini adalah bagian dari demonstrasi menolak kebijakan pemerintah.
- Pola yang muncul pun bukan hal baru. Mahasiswa kerap menjadi pemantik, membuka ruang bagi rakyat yang lebih luas untuk ikut serta, hingga bentrokan dengan aparat menjadi klimaks terantisipasi.
- Kegagalan partai politik sebagai penyalur aspirasi rakyat juga mendapat sorotan. Media disebut
Jakarta, IDN Times - Kontradiksi sosial ekonomi yang menumpuk di perkotaan dinilai jadi akar ledakan protes Jakarta pada Agustus 2025. Urbanisasi besar-besaran menjadikan kota pusat mobilitas sosial, namun sekaligus ruang penuh ketidakpastian biaya hidup melambung, solidaritas sosial melemah, dan kanal politik tersumbat.
Hal ini diungkap dalam Kertas Posisi Program Studi Sosiologi Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Nasional (Unas) yang dikutip IDN Times, Jumat (5/9/2025). Dokumen tersebut menekankan bahwa unjuk rasa akhir Agustus lalu dipicu tragedi kematian Affan Kurniawan, seorang pengemudi ojek online, bukan sekadar huru-hara.
“Aksi massa yang berujung pada perusakan simbol elite harus dipahami sebagai ekspresi politik elementer rakyat yang kehilangan kanal representasi. Pemerintah perlu berhenti menstigma dengan label ‘anarkis’ atau ‘makar’, dan mulai mengakuinya sebagai gejala sosial yang menuntut jawaban struktural,” tulis kertas posisi itu.
1. Gejolak politik jalanan bukan ledakan spontan

Dalam analisis ini dijelaskan gejolak akhir Agustus-awal September 2025 tidak dapat dipandang sebagai ledakan spontan.
“Karena itu, peristiwa ini tidak dapat dianggap anomali, melainkan sebuah bab baru dalam kosakata politik jalanan Indonesia,” tertulis dalam dokumen tersebut.
Kertas posisi itu juga menyoroti pergeseran lokus protes rakyat. Jika pada abad ke-19 hingga 1960-an pemberontakan muncul dari desa agraris, kini keresahan lahir dari kota, hasil urbanisasi sejak awal 2000-an.
Kota yang menawarkan mobilitas sosial justru melahirkan ketidakpastian, solidaritas rapuh, dan kedekatan dengan simbol kuasa yang timpang. Peristiwa Jakarta disebut jadi bagian dari demonstrasi lebih luas menolak kebijakan pemerintah yang dianggap membebani rakyat dan mempersempit ruang demokrasi.
2. Pola aksi ulangi reformasi, mahasiswa menjadi pemantik

Pola yang muncul pun bukan hal baru. Kertas posisi juga menjelaskan apa yang tampak sebagai aksi spontan sesungguhnya mengikuti pola yang telah berulang sejak Reformasi 1998.
"Mahasiswa kerap menjadi pemantik, membuka ruang bagi rakyat yang lebih luas untuk ikut serta, hingga bentrokan dengan aparat menjadi klimaks terantisipasi,” tulis dokumen itu
Selain itu, memburuknya kondisi ekonomi rakyat memperdalam jurang ketidakadilan. kasus PHK yang naik, kemudian banyak pekerja terpaksa masuk sektor informal tanpa perlindungan.
“Beban pajak dan upah minimum yang tidak layak adalah faktor utama keresahan. Diperlukan reformasi pajak yang lebih adil serta kebijakan upah dan perlindungan sosial yang menjamin kesejahteraan pekerja informal,” tulis kertas posisi tersebut.
3. Partai gagal wakili rakyat, elite hidup kontras

Kegagalan partai politik sebagai penyalur aspirasi rakyat juga mendapat sorotan. Ketika keresahan rakyat meledak di jalanan, tidak ada partai yang mampu mengantisipasi maupun menenangkan massa; mereka memilih diam, menjadi penonton, dan bahkan takut berhadapan dengan rakyat yang marah.
Media disebut membentuk persepsi. Media alternatif dan platform digital menghadirkan narasi tandingan melalui video amatir, unggahan personal, dan siaran langsung yang menyoroti sisi kemanusiaan, terutama tragedi Affan Kurniawan.
Kertas posisi itu juga menyinggung gaya hidup elite politik yang kian kontras dengan kondisi rakyat.
“Sirene kendaraan dinas yang memaksa jalanan terbuka lebar di tengah kemacetan menjadi simbol sehari-hari betapa privilese kekuasaan begitu kontras dengan penderitaan warga yang harus bergulat dengan biaya hidup,” tulis kertas posisi itu..
4. Minta pemerintah jangan stigma anarkos atau makar untuk respons aksi

Respons represif negara hanya akan memperkuat siklus kekerasan, maka aparat didesak mengedepankan de-eskalasi dan dialog, sementara pemerintah perlu membuka kanal deliberatif seperti forum warga lintas komunitas dan koperasi komunitas.
“Mekanisme demokrasi elektoral perlu diperbaiki untuk mampu menyalurkan aspirasi rakyat kecil. Perlu inovasi agar rakyat merasa suaranya didengar sebelum harus turun ke jalan,” tulis dokumen itu.