Baca artikel IDN Times lainnya di IDN App
For
You

[WANSUS] Bahayanya Teror Lone Wolf yang Beraksi Secara Individu

Kepala Badan Penanggulangan Ekstremisme dan Terorisme (BPET) MUI, Muhammad Syauqillah (IDN Times/Rey)

Jakarta, IDN Times - Perempuan bercadar di depan Istana Merdeka, Jakarta Pusat, Selasa (25/10/2022), sempat membuat heboh. Sebab, wanita tersebut sempat mengacungkan senjata api ke arah anggota Pasukan Pengamanan Presiden (Paspampres).

Kepala Badan Penanggulangan Ekstremisme dan Terorisme (BPET) Majelis Ulama Indonesia (MUI), Muhammad Syauqillah, menyebut aksi teror masih ada di Indonesia, karena adanya paham radikal atau radikalism.

"Padahal kita tahu Indonesia sudah dalam posisi hari ini, darul ahdi wa syahadah, dan berbagai negara yang sudah sepakat dengan Pancasila," ujar Syauqi, dalam acara Ngobrol Seru By IDN Times, Jumat (28/10/2022).

"Nah, ini yang menurut saya juga perlu kita lihat sebagai salah satu hal yang krusial dewasa ini, karena ternyata pelaku perempuan menjadi tren selama 10 tahun belakangan," sambungnya.

Selain itu, kata Syauqi, pelaku yang melakukan aksi seorang diri atau lone wolf lebih berbahaya dibanding teror secara berkelompok.

"Menurut saya, orang yang berjalan sendiri lebih bahaya dan sulit dideteksi lone wolf itu. Ada berbagai perspektif soal lone wolf ini, ada yang mengatakan dia memang terhubung dengan jaringan cuma melakukan sendiri, ada yang bilang ya dia melakukannya sendiri. Tapi ya tetap saja itu sulit dideteksi," kata dia.

Selain itu, Syauqi juga menjelaskan mengenai potensi radikalism meningkat jelang Pemilu 2024.

Berikut wawancara lengkap IDN Times bersama Ketua Badan Penanggulangan Ekstremisme dan Terorisme (BPET) MUI, Muhammad Syauqillah.

Pandangan MUI terkait wanita bercadar di depan Istana, yang sempat menodongkan senjata api kepada Paspampres?

Perempuan bercadar nekat terobos Istana ditangkap Polisi (instagram.com/lovers_polri)

Pandangan saya tentang aksi yang terjadi di depan Istana, kalau kita lihat memang itulah dinamika dan fakta yang terjadi di Indonesia, bahwasanya masih ada kelompok atau individu yang terpikat oleh paham-paham bisa kita katakan ekstrem. Paham yang merasa negara ini belum pada relnya, paham yang merasa bahwa pemahaman dia harus dimasukkan dalam negara. Padahal, kita tahu Indonesia sudah dalam posisi hari ini, darul ahdi wa syahadah, dan berbagai negara yang sudah sepakat dengan Pancasila.

Nah, ini yang menurut saya juga perlu kita lihat sebagai salah satu hal yang krusial, dewasa ini karena ternyata pelaku perempuan menjadi tren selama 10 tahun belakangan. Selain itu, juga pelaku perempuan yang melakukan aksi sendiri juga melakukan tren belakang, lone wolf.

Ini yang menurut saya menarik untuk kita lihat, dan itu terkait dengan rilis beberapa lembaga ternyata itu memiliki relasi dengan kelompok-kelompok yang bisa kita katakan negara Islam Indonesia, dan beberapa yang lain dan perilaku media sosialnya mengarah pada kelompok tersebut, mengikuti kelompok-kelompok yang mengusung ide khilafah.

Menurut saya, ada satu hal yang perlu kita perhatikan selain tadi perempuan, lone wolf, adalah bagaimana seseorang tersebut terlibat dalam aksi terorisme yang itu juga dipengaruhi dari pola dia dalam bermedia sosial, dan ini menjadi krusial bagi kita semua. Karena selain kelompok bisnis menurut saya, salah satu kelompok yang juga sangat adaptif dengan revolusi perkembangan 4.0 adalah kelompok ekstrem.

Ini menurut saya tantangan ke depan akan kita hadapi demikian, generasi muda, entah itu laki-laki atau perempuan dihadapkan pada ideologi ekstrem dan juga ada tantangan bermedia sosial.

Pelaku perempuan bercadar ini umurnya di bawah 25 tahun, dan cenderung terbawa di media sosial, kenapa anak muda lebih mudah terpapar melalui media sosial?

Kalau kita lihat, berbagai riset, kenapa kemudian generasi muda masuk, faktanya ada suatu lembaga riset bernama Center Detention Studies yang meneliti tentang pelaku terorisme itu ada di rentang usianya 18 bisa masuk 25 tahun sampai pada 36 tahunan, itu faktanya. Kenapa banyak generasi muda yang masuk? Nah ini menurut saya ini ada pendekatan yang diintrodusir, Erikson salah satu pemikir psikologi yang membagi tahap perkembangan usia itu menjadi delapan tahap.

Salah satu yang krusial menurut Erikson adalah fase remaja dan fase dewasa, usianya di antara itu. Di mana di usia remaja ini ada persoalan-persoalan muncul pencarian jati diri, lalu kemudian mereka ada problem keterasingan di masyarakat. Ketika ini pencarian jati diri lalu kemudian memiliki lingkungan sosial yang secara riil, dan lingkungan sosial virtual, lalu kemudian yang menciptakan suasana inteloeran, lalu dia sering ikut dalam pertemuan-pertemuan luring, lalu ada kristalisasi ideologi.

Kemudian jadilah seperti yang terjadi di depan Istana, dan ini bukan fenomena di Indonesia saja, Michel dalam bukunya soal potret bagaimana generasi muda terpincut oleh kelompok ekstrem, ada beberapa negara yang coba dilihat, Amerika, Jerman, Swedia, Inggris dan ternyata hampir mirip dengan fenoma di Indonesia.

Dia menyatakan ada "boy crisis", pencarian jati diri. Belum lagi hasil riset kami di kajian riset terorisme di UI (Universitas Indonesia), kebetulan saya di Prodi Kajian terorisme, itu meneliti bahwa adanya pola pengasuhan keluarga.

Lalu, kemudian hubungan yang kurang harmonis di antara anggota keluarga dan juga bisa saja bagian akhir ini juga hampir mirip dengan apa yang terjadi pada perempuan yang ada di depan Istana itu, dia berapa di lingkungan geneologi yang memang keluarganya itu merupakan bagian dari jaringan, nah itu tipologi di Indonesia dan itu mirip juga yang ada di dunia.

Ini polisi juga menyebutkan pelaku mengikuti media sosialnya HTI. Sementara HTI sudah dilarang di Indonesia, apakah pergerakan bawah tanahnya masih aktif?

Ya menurut saya masih, Anda bisa lihat bagaimana penyebaran gagasan khilafah itu ada di berbagai platform media. Itu menurut saya masih belum terjamah oleh Undang-Undang Terorisme. Ya Undang-Undang Terorisme masih berada pada perencanaan terorisme, kesiapan, pelatihan, pendanaan, aksi terorisme sendiri, lalu rekrutmen. Tapi dia belum bisa menyebut soal ideologi dan penyebaran ideologi, nah mungkin kita belum bisa masuk ke ranah ideologi.

Karena bagaimana kita mengidentifikasi ideologi, kan itu sulit. Nah, yang bisa menjadi concern kita mengenai tata regulasi kita berkenaan dengan penyebaran ideologi katakanlah berlainan dengan Indonesia sebagai darul ahdi wasyahadah. Menurut saya, lagi-lagi kita akan dihadapkan pada tantangan yang demikian, adanya kegamangan dalam menegakkan soal aturan, karena memang dari sisi aturan ideologi ini tidak bisa dilarang dan penyebarannya belum ada regulasinya.

Tapi untuk mencegah penyebaran melalui media sosial bagaimana?

Ya menurut saya penyebarannya, pertama salah satu caranya yang biasa digunakan upaya men-take down akun yang menganjurkan pada kebencian dan terkoneksi pada organisasi teror, atau organisasi yang sudah dilarang.

Kedua, ini kan di awal saya sampaikan, kalau kelompok ekstrem ini adaptif sekali dengan perkembangan teknologi, kemasan-kemasan yang coba dimunculkan luar biasa apik (bagus), seperti ISIS bahkan memiliki media yang dalam bahasa dubbing itu dalam berbagai versi bahasa, mulai dari Bahasa Indonesia, Inggris, Arab, Prancis, Turki, Itali juga ada.

Menurut saya ini menjadi satu hal tantangan bagaimana negara dan masyarakat merespons keapikan kelompok ekstrem dalam melakukan agitasi provokasi atau propaganda di media sosial harus dilakukan kontra narasi. Kalau mereka apik, kita juga harus melakukan yang apik, yang moderat.

Ini yang menurut saya kontestasi di media sosialnya harus demikian, karena sebelum ada regulasi, yang bisa kita lakukan adalah menyaingi suara tone-nya itu sama-sama tinggi. Ini kemudian nanti dalam konteks media sosial masyarakat akan disuguhkan, mana yang baik dan mana yang tidak baik, ini yang perlu manage oleh kelompok-kelompok yang berada di wasathiyah, merasa pada posisi yang Islam rahmatan lil alamin, berada dalam misalkan kami di BPET MUI yang merupakan bagian dari MUI sering mendorong munculnya pengarusutamaan Islam wasathiyah.

Tadi disebutkan kelompok muda lebih mudah terpapar aliran paham radikal, bagaimana caranya generasi millennial agar bisa terhindar dari paparan radikalisme?

Tadi disebutkan kelompok muda lebih mudah terpapar aliran radikal, bagaimana caranya generasi milenial agar bisa terhindar dari paparan radikalisme? Yang pertama, generasi Z dan generasi milenial ini adalah generasi yang akrab dengan media sosial.

Otomatis dari ketiadaan regulasi, mau tidak mau kita harus melakukan itu, pendidikan kita juga harus berbenah. Artinya, berbenah apakah selama ini pendidikan kewarganegaraan dirasa untuk menginternalisasi nila-nilai keIslaman, kalau untuk muslim, internalisasi Islam yang wasthiyah, internalisasi nilai-nilai kebangsaan itu apakah sudah berjalan dengan baik.

Dulu misalkan di masa saya, ada P4, itu mencoba menginternasilasi pedoman penghayatan Pancasila, mencoba menginternalisasi nilai-nilai Pancasila dalam pemikiran warga negara.

Menurut saya itu bisa dilakukan, cuma memang harus dikreasikan sedemikian rupa, sehingga cocok dengan teman-teman milenial ini. Dan perlu juga didorong bagaimana pendidikan kita, itu menganut misalkan, moderasi dalam beragama, kalau muslim Islam wasthiyah, kalau konteks bernegara kita perlu mendorong moderasi dalam bernegara.

Konten-konten radikal ini kan tadi dikatakan dibungkusnya bagus, gimana cara mengidentifikasi kalau konten tersebut mengarah ke radikal?

Menurut saya salah satu yang bisa kita lihat bagaimana kita menggunakan critical thinking, generasi muda kita itu perlu didorong kritis terhadap media yang ada, itu roles-nya. Nah, tinggal kita lihat apakah isinya mengarah kepada ujaran kebencian, permusuhan, merasa paling benar sendiri, lalu kemudian ketika merasa paling benar sendiri orang lain salah dan tidak ada orang lain benar selain dia.

Menurut saya dalam sisi kita beragama, Anda merasa benar dengan agama Anda, itu silakan. Anda fanatik dengan ajaran Anda silakan, tapi jangan paksakan orang lain yang beragama itu sama seperti Anda. Jadi, pemaksaan itu inkohesi sosial terjadi.

Ini kan kita melihat di masyarakat yang dulunya itu berkubang kesalahan di masa lalu, kemudian dia pindah karena mendapatkan cucuran hidayah dari Tuhan, lalu kemudian dia melihat ada orang lain yang dulu melakukan kesalahan sama seperti dia, lalu dia bilang "Anda salah" dan tidak melakukan koreksi dengan cara Islam, dan ini terjadi di masyarakat kita dan ini menjadi penting kita melihat bagaimana kita harus berelasi dengan masyarakat.

Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT) menyebutkan, potensi radikalisme meningkat jelang Pemilu 2024, menurut MUI bagaimana?

Kalau kami dari BPET MUI melihat, memang ada potensi meningkat, ya. Karena bisa saja aksi-aksi radikalismenya ya, radikalisasi melalui media sosial itu meningkat. Karena aksi terorisme yang terjadi dalam kurun waktu lima tahun terakhir, tidak banyak, tapi melibatkan banyak pelaku. Artinya, orang yang terlibat radikalisasi itu besar, orang yang ingin merencanakan dan Anda lihat di 2020, 2021, ada beberapa kasus yang merencanakan terorismenya sedikit.

Tapi, orang yang tergabung dalam gerakan radikal atau orang yang memiliki pemahaman ekstrem, itu mungkin jumlahnya lebih banyak. Nah ini menurut saya, ke depan perlu diantisipasi, menurut saya itu adalah sebuah warning bagi kita semua untuk mengantisipasi ke depan harus seperti apa dalam mengantisipasi perbedaan politik. Nah ini yang perlu disadari oleh kita seluruh bangsa ini, kita pilihan politik dan itu merupakan hak, itu dilindungi oleh undang-undang konstitusi kita.

Saya pilihannya A, yang lain B, ada juga C, ya sudah masing-masing juga memilih argumentasi kenapa memilih calon tersebut tanpa harus menyatakan bahwasanya calon yang bersangkutan memiliki misalkan, cacat soal yang lain-lain, soal agama dimunculkan, isu SARA dimunculkan. Ini menurut saya, ke depan perlu hati-hati untuk melihat kontestasi yang ada. Dan mungkin kita dalam politiknya yang harus didorong adalah politik kebangsaan.

Negara ini akan ada pemilu, akan memilih DPR dari tingkat satu sampai pusat, memilih gubernur, wali kota/bupati, lalu kemudian memilih presiden dan wakil presiden. Artinya, kontestasinya luar biasa, Indonesia harus terus berjalan. Silakan kontestasi adalah hal lumrah, itu adalah sirkulasi elite, ada perubahan rolling class, tapi Indonesia ini harus terus ada dan yang harus dikedepankan bagaimana bangsa ini berjalan pada relnya dan minim dari dinamika elektoral yang menyita, menguras energi kita.

Seberapa pengaruh potensi radikalisme terhadap jalannya Pemilu 2024

Kepala Badan Penanggulangan Ekstremisme dan Terorisme (BPET) MUI, Muhammad Syauqillah (IDN Times/Rey)

Kalau soal aksi, menurut saya kalau aksi saya pikir sudah bisa dilakukan pencegahan, bisa dicegah, ketika suatu aksi terorisme yang berkelompok apalagi, itu relatif bisa dicegah, ketika perencanaan, dengan undang-undang yang ada relatif itu bisa dicegah. Kalau dari aksi teror, aparat kita sudah di level yang bagus dibarengi regulasi yang ada.

Yang menjadi tantangan adalah bagaimana negara ini mengantisipasi teror yang sendiri, yang itu dilakukan karena seseorang terpengaruh dari media sosial. Kuncinya hari ini menurut saya, bagaimana media sosial itu dinamikanya dalam konteks jelang Pemilu 2024. Karena aksis terorisme yang direncanakan melalui kelompok relatif bisa dideteksi oleh aparat keamanan kita.

Kemudian yang kita khawatir, media sosial ini pengaruhnya ada lone wolf dan juga karena media sosial yang bising menyerang satu sama lain, bukan menyerang dalam konteks gagasan, menyerangnya ini dalam hal isu-isu SARA, ini yang tidak produktif, nah ini kalau media sosialnya kita tidak intervensi

Berarti lebih bahaya orang yang berjalan sendiri?

Menurut saya, orang yang berjalan sendiri lebih bahaya dan sulit dideteksi lone wolf itu. Ada berbagai perspektif soal lone wolf ini, ada yang mengatakan dia memang terhubung dengan jaringan cuma melakukan sendiri, ada yang bilang ya dia melakukannya sendiri. Tapi ya tetap saja itu sulit dideteksi.

Dengan riuhnya media sosial, ada dua tantangan soal bagaimana mengantisipasi lone wolf actor melakukan teror, kita menciptakan suasana media sosial yang jauh dari kebencian, jauh dari unsur-unsur pertentangan SARA, kalau media sosialnya itu produktif. Misal, kalau saya ini kandidat, misal dalam konteks kesehatan saya mengentaskan kesehatan, bangun rumah sakit, kalau pendidikan misalnya dalam5 tahun berapa ribu doktor.

Ya kalau misalkan dinamika media sosialnya dengan gagasan seperti itu malah bagus, bagaimana perbaikan fasilitas pendidikan, kesehatan dan lain-lain. Masyarakat jangan sampai terkecoh dengan isu-isu SARA.

Sejauh mana MUI melakukan pencegahan radikalisme dan terorisme?

Dari sisi BPET MUI, kita selalu mendorong Islam wasthiyah, kami sudah beberapa kami menggelar acara untuk mendorong teman-teman Majelis Ulama di sekitar Jabodetabek, untuk mendorong adanya penguatan wasthiyah di gress root. Kami pernah melakukan halaqoh kebangsaan, di Jakarta dan luar Jakarta.

Kami juga mendorong adanya ngaji kebangsaan, pernah kami lakukan mengundang teman-teman MUI se-Jakarta, 6 kabupaten/kota, dan itu kami undang MUI-MUI di kecamatan, di Bogor juga kami lakukan mengundang MUI-MUI di kecamatan di Bogor dan Depok, lalu kemudian kami lakukan hampir sebulan setengah yang lalu, juga di Bekasi lagi-lagi mengundang MUI kecamatan, dan nanti pada November akan mengundang MUI di Tangerang, Kota Tangerang dan Tangerang Selatan.

Karena kami memandang, MUI-MUI di level kecamatan lah yang langsung bersentuhan dengan masyarakat. Kami mengingatkan para kiai, ustaz, ustazah untuk melihat problem ekstremisme dan terorisme yang ada.

Sejauh ini MUI sudah melakukan deradikalisasi belum?

Program deradikalisasi secara ini kami sudah, untuk BPET MUI ya. Jadi kami sudah terlibat dalam program deradikalisasi, kebetulan bekerja sama dengan yayasan eks napiter (napi terorisme) dan lembaga pemasyarakatan. Jadi, kami sudah beberapa kali ke lembaga pemasyarakatan.

Kami juga ada satu lembaga pemasyarakatan yang pilot project untuk bisa menjadi role model, harapannya nanti teman-teman MUI di daerah itu ada lapas narapidana terorisme mereka bisa terlibat. Tentunya masih harus ada penguatan juga dari sisi MUI-nya, karena kan di BPET juga teman-teman yang meneliti isu teror dan lebih dari 10 tahun.

MUI pernah gak ngobrol dengan orang-orang yang belum melakukan teror tapi sudah terpapar radikalisme?

Nah, itu mungkin cara kami kontra narasi, beberapa kali kami mengadakan webinar tentang, misal soal Ukraina, saat itu banyak bilang wujud dari malhamah kubro, dan kita mencoba melakukan sanggahan terhadap wacana yang dikembangkan oleh kelompok ekstrem, kita buat webinar dan kita sanggah.

Karena yang menyanggah ini exspert semua, jadi isu itu lalu turun, jadi memang kita lebih banyak melakukan sanggahan berkenaan dengan pemahaman. Tapi memang kita belum punya seperti teman-teman NII krisis center.

Kesulitan apa selama melakukan deradikalisasi?

Menurut saya kalau dibilang sulit, tapi dibilang sulit banget gak, itu lagi-lagi kepada kapasitas terhadap orang yang melakukan deradikalisasi. Nah itu yang menurut saya, dan kapasitas dan sinergitas kelembagaan itu menurut saya perlu, karena deradikalisasi itu gak bisa sendiri, satu lembaga sendiri gak bisa.

Deradikalisasi itu adalah program yang dilakukan sejak masa tersangka sampai dia rilis dari lembaga pemasyarakatan. Selesai dari lembaga pemasyarakatan, deradikalisasi berhenti? Tidak. Ada program deradikalisasi yang lain.

Share
Editor’s Picks
Topics
Editorial Team
Muhammad Ilman Nafi'an
Rochmanudin Wijaya
Muhammad Ilman Nafi'an
EditorMuhammad Ilman Nafi'an
Follow Us