Baca artikel IDN Times lainnya di IDN App
For
You

[WANSUS] Komisi II DPR Buka-bukaan usai Presidential Threshold Dihapus

Wakil Ketua Komisi II DPR RI Dede Yusuf mengatakan pihaknya segera membentuk Panja UU Pemilu. (IDN Times/Fauzan)

Jakarta, IDN Times - Mahkamah Konstitusi (MK) menghapus ambang batas syarat pencalonan presiden 20 persen, yang telah berlaku selama ini. Putusan ini banyak dipertanyakan karena berbagai gugatan yang sebelumnya dilayangkan selalu ditolak mahkamah. 

MK memberikan terhadap pembuat undang-undang, dalam hal ini DPR RI dan pemerintah, untuk melakukan constitutional engineering. Instrumen dikhawatirkan publik, karena para pembuat undang-undang dalam menafsirkan putusan MK tersebut.

Wakil Ketua Komisi II DPR RI, Dede Yusuf, menyatakan pihaknya akan membentuk Panitia Kerja Undang-Undang Pemilu (Panja UU Pemilu), untuk menindaklanjuti adanya putusan MK yang menghapus ambang batas pencalonan presiden ini. Terlebih, RUU Pemilu telah ke dalam daftar Program Legislasi Nasional (Prolegnas) Prioritas Tahun 2025.

"Panja RUU Pemilu akan menjadi salah satu yang akan kita persiapkan tapi kemungkinan besar kita menghadapi RUU lainnya, ya kita harus mencari momen yang tepat," kata Dede Yusuf dalam Program Ngobrol Seru by IDN Times, Selasa (7/1/2025). 

Berikut hasil wawancara lengkap IDN Times bersama Wakil Ketua Komisi II DPR RI Dede Yusuf. 

Bagaimana Komisi II DPR menyikapi putusan MK?

Pembukaan tahun baru ini banyak dikaget-kagetkan kita ya, seperti misalnya pemilihan kepala daerah akan dikembalikan kepada DPRD. Lalu kemudian MK memutuskan.

Kita banyak pekerjaan rumah, tetapi kita gak bisa mengatakan mana yang akan kita pilih saat ini, karena perjalanan masih panjang. Masih jauh. Tapi yang jelas kita menghormati keputusan MK karena ini final and binding.

Bahwa yang bisa mencalonkan adalah partai peserta pemilu, dan benar memang partai peserta pemilu makin lama makin berkurang karena tidak mudah. Jadi dari situ saja kita bisa melihat peluang-peluang yang akan muncul nanti. Ada berapa sih?

Tapi konteksnya saya sebagai pribadi dulu, setiap orang berhak untuk dipilih maupun memilih. Jadi siapa pun mempunyai hak. Tidak lagi dibatasi oleh threshold-threshold tertentu. Ini akan menggembirakan, terutama bagi anak-anak muda, di mana mereka gak pengen yang itu itu saja.

Jadi diberikan ruang nanti bisa muncul dari akademisi, bisa muncul dari politisi dan siapa pun juga. Hanya mungkin nanti yang harus kita lihat adalah karena konteksnya ke depan yang harus kita pikirkan adalah cost politiknya seperti apa.

Kalau kita berbicara dari sisi Pilkada makin banyak peserta cost politiknya makin rendah. Makin sedikit pesertanya cost politik-nya makin tinggi, karena perebutannya kita menyebutnya bukan hanya perebutan pemilih tapi bisa terjadi apa namanya politik pengelompokan, polarisasi, jadi ini yang kita cegah.

Jadi makin banyak makin bagus, dan opsi opsi itu semakin bagus. Kedua, tidak perlu mencapai 50 persen plus satu. Artinya dari situ kita bisa melihat orang dengan 20 persen atau 25 persen sangat memungkinkan menang.

Nah, itu sebabnya saat ini kita akan evaluasi dulu kita evaluasi semua masukan mungkin Komisi II akan membuat Panja mengenai RUU Pemilu yang pasti kita akan mengundang Pakar Hukum Pemilu Universitas Indonesia Titi Anggraini, untuk memberikan pandangan-pandangan karena kita belum bisa memutuskan sampai saat ini.

Ini sebuah situasi yang harus kita persiapkan di 2029 seperti apapun bentuknya, ketika MK mengatakan begini begitu harus kita lagi gugatan di perjalanan, karena kalau ada gugatan lagi nanti berubah lagi ini masa lima tahun ke depan ini semuanya bisa berubah.

Panja RUU Pemilu akan menjadi salah satu yang akan kita persiapkan, tapi kemungkinan besar kita menghadapi RUU lainnya, ya kita harus mencari momen yang tepat.

Nanti kita akan meminta masukan dari momen yang tepat itu kapan. Kalau dibuat sekarang terlalu dini, perjalanannya masih panjang bisa menyebabkan persinggungan para tokoh.

Padahal saat ini kita harus fokus membangun bersama dengan Presiden Pak Prabowo, bagaimana kita meningkatkan perekonomian kita. Artinya kita sekarang harus fokus di pembangunan. Mungkin di 2026, 2027 kita baru masuk di Panja tersebut.

Bukankah waktu yang panjang Komisi II bisa mengkaji dengan baik?

Kita ini sebetulnya yang ada di depan mata pertama adalah RUU Agraria/Pertanahan yang day to day ada konflik. Kedua, ada RUU ASN yang harus kita perbarui. Yang harus kita perhatikan juga adalah transfer keuangan daerah, kenapa transfer keuangan daerah karena hampir 50 persen alokasi APBN transfer keuangan ke daerah.

Tapi kita tegas ya sudah masuk di daerah fungsi pengawasan fungsi controlling itu menjadi lepas, dilepaskan kepada bupati/wali kota kepala daerah dan lain-lain. Ini perlu kita pikirkan agar efektif dan efisien transfer keuangan daerah.

Nah, mana yang lebih dahulu tadi apakah yang sekarang UU Pemilu sudah langsung masuk, padahal kita lihat juga biasanya ini kaitannya kepada penyusunan penyelenggara. Penyelenggara dalam hal ini konteksnya adalah KPU (Komisi Pemilihan Umum) dan Bawaslu (Badan Pengawas Pemilu).

Ini butuh waktu, karena ada cerita kemarin apakah KPU dan Bawaslu cukup di ad hoc kan, ini semua tuntutannya akan masuk semua ke situ, karena penyelenggaranya masih tetap sama. Jadi tetap kita diskusikan, kita evaluasi, kita dengar masukan dari manapun dari civil society, akademisi dan lain-lain. Apakah di 2025, 2026, atau 2027. Kan pimpinan komisi terdahulu sudah mengusulkan omnibus UU pemilu. Karena ada 8 UU yang masuk dalam omnibus itu kan tidak mudah. 

DPR dan pemerintah diberikan instrumen constitutional engineering, tapi ini banyak dikhawatirkan, jawaban anda?

Kalau kita prinsipnya selama itu ada di Komisi II maka itu open lebih terbuka, kalau dilempar ke Baleg saya gak tahu. Biasanya yang omnibus-omnibus itu dilempar ke Baleg.

Tapi kalau di Komisi II pasti, karena mitra kita termasuk Perludem, dan kawan-kawan yang lain yang selalu kita minta masukan. Jadi harapannya ini masih di Komisi II.

Biasanya RUU kumulatif terbuka imbas adanya putusan MK dilempar ke Baleg?

Makanya itu di luar kewenangan saya, konteksnya ini dilempar ke sini itu konteksnya pimpinan DPR. Makanya kita perlu sowan ke pimpinan DPR.

Poin dari putusan MK sangat banyak, dinamikanya akan panjang?

Kuncinya menurut saya itu tadi kalau di Komisi II jauh lebih mendiskusikan delapan UU mau dijadikan satu. Kita harus bicara ada dua rezim ada pemilihan di daerah dan di pusat. Ini kita harus mengkaji.

Harapannya ini memang tidak boleh cepat-cepat, kalau cepat-cepat nanti ada yang terlewatkan. Tadi disampaikan 50 persen dari jumlah peserta pemilu harus kita pikirkan. Kita harus pikirkan jangan sampai dua. Hitung-hitungan tetap harus kita pikirkan bersama.

Konteksnya adalah jangan terjadi borong partai, polarisasi, kalau cuma dua percuma dua. Jadi tetap kita harus menghitung dengan sangat hati-hati sekali.

Bagaimana pun semua partai yang ada pasti akan mempersiapkan bahwa partai yang punya calon elektabilitasnya bisa meningkatkan.

Yang paling penting saat ini adalah ayo kita kerjakan sesuai fungsi per saat ini. Nah, exercise tadi saya tidak tahu, apakah sudah masuk ke prolegnas, nanti saya cek. Tapi kalau ada keputusan MK harus dilakukan 2025 mau tidak mau harus dilakukan di 2025.

Cuma kami tetap Komisi II menganggap mudah-mudahan kita lah yang bisa melakukan pembahasan itu. 

Terkait kandidat apakah perlu diatur maksimum-minimum yang bisa berlaga?

Kalau kita bicara partai peserta pemilu tidak lebih 20 artinya sudah ada batasan 20. Yang kita hindari jangan sampai dua. Polarisasi tadi. Tapi berapanya saya belum bisa menjawab.

Karena kunci yang paling utama, apakah calon-calon yang dimunculkan memiliki kapasitas dan tidak hanya mengusulkan nama saja, karena ini terkait mencari pemimpin bagi bangsa ini. Termasuk kita memikirkan di daerah. Kadang-kadang kita digiring akhirnya terpaksa harus memilih hanya ini saja.

Sebetulnya makin banyak makin bagus, karena saya sering ikut Pilkada, makin banyak makin bagus, kenapa cost politiknya menjadi kecil.

Artinya tidak terjadi mencari perahu lalu beradu dengan cost tinggi-tinggian. Tadi disampaikan kalau makin banyak kalau misal 5 saja 25 persen plus satu bisa menang. 

Kalau Demokrat menyikapi putusan MK seperti apa?

Kalau diskusi secara resmi tidak, tapi yang paling penting saat ini apapun kalau mau mengusulkan jago-jagonya itu akan dibuktikan dengan kinerja saat ini. Jadi ketum kami dan demokrat fokus menyelesaikan tugasnya sebagai presiden periode 2024-2029. Kalau sekarang terus proofennya mana.

Jadi Demokrat ketika sudah diberikan amanat bagian dari pemerintahan harus ada proofen dulu. Itu akan terbukti dalam perkembangan selanjutnya. Jadi kita fokus menyelesaikan tugas yang diberikan oleh Pak Prabowo.

 

Bagi Demokrat keputusan MK ini angin segara atau seperti apa?

Jawaban yang paling mudah semua keputusan MK harus dijalankan. Itu konteks yang paling utama karena kita tidak mungkin kita menganggap ini segar atau tidak segar, dan setiap partai survive atau tidak survive ujung-ujungnya tadi ketika ada keputusan yang sudah final dan mengikat itu harus kita jalankan.

Sekarang ini membuktikan kepada publik ketika Demokrat berada di dalam pemerintahan, Demokrat melakukan tugasnya dengan baik. Karena saya melihat tiba-tiba ada orang mempunyai duit triliunan langsung siap maju menjadi presiden kan harus ada track record.

Track record itu pembuktiannya apakah memiliki pengalaman di pemerintahan memiliki pengalaman di perpolitikan, dan seterusnya. Nah, itu yang menurut saya juga harus dipikirkan. Jadi bukan hanya tentang ambang batas tadi angka, tapi track record ini juga harus kita pikirkan. 

Share
Topics
Editorial Team
Rochmanudin Wijaya
EditorRochmanudin Wijaya
Follow Us