Baca artikel IDN Times lainnya di IDN App
For
You

Wansus: Rencana Dagang Karbon, Solusi Terbaik Atasi Perubahan Iklim?

Presiden Republik Indonesia Joko Widodo didampingi Gubernur Sumut Edy Rahmayadi dalam acara penyerahan SK Hutan Sosial, Hutan Adat, dan TORA se-Indonesia di Desa Simangulampe, Humbahas, Kamis (3/2/2022). (Istimewa/IDN Times)

Jakarta, IDN Times - Pemerintah melalui Menteri Keuangan Sri Mulyani disebut mulai 'menggodok' skema perdagangan karbon atau carbon trading di Indonesia. Proses jual-beli karbon ini disebut sebagai solusi mengurangi dampak krisis iklim dan kontribusi Indonesia dalam menekan emisi.

Namun masih banyak tanda tanya dalam proses carbon trading ini. Sejumlah ahli juga berpendapat mekanisme jual-beli carbon sejatinya tak menihilkan produksi emisi akibat industri. Apakah carbon trading memang satu-satunya jalan untuk mencegah terjadinya perubahan iklim?

IDN Times mewawancarai Campaigner Pantau Gambut, Wahyu Perdana untuk mendapatkan jawabannya. Berikut wawancara khusus IDN Times dengan Wahyu Perdana pada Selasa (27/12/2022).  

Skema Carbon Trading sudah disiapkan pemerintah, tapi bagaimana sebenarnya mekanisme jual beli karbon ini?

Carbon trading adalah perdagangan baik pembelian atau penjualan dalam konteks suatu ekosistem menyerap atau menghasilkan emisi. Siapa yang beli? Yang beli di antaranya negara industri yang menghasilkan emisi terus.

Tapi pertanyaan mendasar adalah apakah betul carbon trading dengan cara seperti itu betul mengurangi emisi, baik untuk lingkungan? Kan gampangnya gini, misalnya punya perusahaan batu bara nyambung ke PLTU itu ada batas maksimumnya untuk menghasilkan emisi. Kalau kelebihan bisa offside.

Pertanyaannya kalau keuntungannya besar, ya gak akan berkurang dong emisinya? Selama dia ekonomis maka terus akan jual beli karbon. Itu pertanyaan mendasar apakah betul carbon trading bisa mengurangi dampak perubahan iklim.

Kedua apakah negara industri yang banyak menghasilkan emisi ini atas nama dia membeli kredit karbon di Indonesia dan dia terus membeli karbon dari Indonesia, kan ini juga PR.

Ada juga carbon offside. Misalnya punya perusahaan listrik ambil dari batu bara tapi karena penggunaan teknologi baru sehingga ada sisa 1 juta ton karbon yang tidak terpakai. Nah itu bisa di-offside kan ke perusahaan lain.

Buat kita pertanyaan besar, apakah dengan skema jual beli karbon ini bener ngerem perubahan iklim, atau enggak hanya menghasilkan dampak eksploitasi baru atas nama iklim.

Menurut pemerintah, perdagangan karbon bisa meningkatkan lahan hutan di Indonesia? Bagaimana pandangan Pantau Gambut sendiri?

Yang mungkin kita lakukan sebenarnya menjaga ekosistem yang ada itu. Kalau dalam pandangan kami kewajiban menjaga ekosistem itu bukan hanya kewajiban Indonesia. Negara penghasil emisi itu juga kan harus bertanggung jawab. Jadi komitmennya global.

Pendekatan carbon tax lebih fair menurut kami. Kalau dalam prinsip lingkungan hidup itu fair principle, artinya dia yang mencemari dia harus membayar. Tapi ini ‘dimainkan’ oleh pebisnis. Kan akhirnya Indonesia disuruh menjaga hutannya kemudian dapat pembiayaan dari proses menjaga hutan itu, termasuk ekosistem gambut di dalamnya.

Tapi pertanyaannya kalau dengan cara seperti itu apakah emisi akan berkurang?

Dalam COP 27 di Mesir terakhir, Sekjen PBB protes keras karena dianggap tidak cukup besar komitmen negara di COP27 untuk menjaga lingkungan. Kenapa pada akhirnya itu menjadi tanggung jawab negara yang punya hutan. Harusnya jadi tanggungjawab bareng. Kalau skemanya begitu celahnya jadi banyak.sehingga kalau sepanjang kita bisa beli kredit karbon, emisinya tetap berjalan.

Padahal waktu kita makin mepet, 10 tahun mengejar kenaikan 1,5 derajat celcius, itu jauh sekali. Itungan terakhir masih bisa di 3 derajat celcius. Kalau kejadiannya seperti itu dampak perubahan iklim akan terus kita terima.

Beberapa indikasi cukup mengkhawatirkan itu misalnya Indonesia itu tipologi bencana hidrometeorologi kecenderungannya naik terus. Nah bencana hidrometeorologis itu faktor utama yang memperbesar faktor risikonya.

Menkeu sebut skema carbon trading sedang disiapkan, celahnya seperti apa menurut Pantau Gambut?

Ilustrasi Pajak Karbon (IDN Times/Aditya Pratama)

Beberapa catatan ya, skema itu sebenarnya perpresnya sudah keluar lama soal ekonomi karbon, tapi kemudian karena ini lintas negara dia gak bisa berdiri sendiri.

Komitmen pengurangan emisi, salah satu yang deadlock itu soal detil aturan pasal karbon. Kenapa kami bilang celah? Karena bentuknya adalah pendekatannya perdagangan. Maka itu memungkinkan sepanjang orang bisa beli kredit karbon dia punya justifikasi untuk tetap menghasilkan emisi.

Sehingga bisa jadi kita dipaksa menjaga hutan tapi emisinya terus berjalan, padahal dampaknya seplanet bumi. Padahal perubahan iklim itu terjadi lintas batas negara. Konteks dalam perubahan iklim ketika curah hujan terlalu panjang, dampak perubahan iklim misalnya menyebabkan gagal panen itu bukan cuman Indonesia tapi juga negara lain.

Ketika terjadi perubahan iklim, terjadi perubahan masa panen dan perubahan panen besar-besaran, maka kemungkinan akan terjadi deadlock produksi, tak hanya di Indonesia.

Dihantui dampak krisis iklim, pemerintah juga punya rencana FOLU Net Sink, dengan komitmen pemerintah Net Sink 2030 dengan keadaan saat ini dan mencegah krisis iklim?

Ilustrasi pajak karbon. (sumber: itep.org)

Sebenarnya yang menarik kalau membaca dokumen NDC, komitmennya meningkatkan targetnya dari 29-31 persen dengan kemampuan sendiri atau 41-43 persen dengan bantuan internasional. Adaptasinya bukan ditetapkan dalam karbon trading, dalam dokumennya itu FOLU Net Sink.

Kenapa FOLU itu penting? Karena penyumbang emisi terbesar adalah pembukaan lahan kita. Tapi masih tetap buka celah, misalnya batu bara itu masih dianggap energi alternatif. Padahal tenaga surya kita lebih baik. Sebenarnya kalau dalam NDC Carbon Trading itu bukan kerangka utama.

Kalau kemudian lompat dalam konteks perdagangan karbon padahal banyak skema pendanaan lain. Keselamatan lingkungan kan sejatinya bukan untuk bisnis baru. Keselamatan linkgkungan sehsrusnya tidak dinegosiasikan dengan faktor jangka pendek dan keuntungan ekonomi. Tapi kan proses berjalannya juga sulit dihindari. Kita tahu lobi-lobinya besar.

Bagaimana mungkin suatu yang dihasilkan alam sebelum kita lahir tiba-tiba jadi seuatu komoditas baru. Belum lagi perdebatan hukumnya.

Karbon itu domainnya siapa? Walaupun di keperdataan itu disebut benda bergerak tidak berwujud. Itu yang membuat peraturan soal nilai ekonomi karbon tidak segera implementatif. Pertanyaan mendasarnya saja: kalau ini diperdagangkan ini punya siapa? Kalau dikelola masyarakat adat siapa yang kelola?

Upaya memperjualbelikan karbon sementara regulasi belum rigid, masih ada pertentangan di DPR sendiri soal skema perdagangan karbon apakah Kemenkeu, Minerba, atau KLHK. Apa ini hanya sekedar bisnis?

Agak sulit memungkiri kalau itu diletakkan dalam skema bisnis, ya jadi bisnis, dan itu juga dibawa ke dalam bursa efek.

Tiba-tiba ini masuk dalam suatu sistem perdagangan. Kita memahami konteks ekonomi politiknya. Kalau dihitung sebagai penghasil emisi, Indonesia masuk 10 besar. Nah 5 besarnya saja itu penyumbang emisi 60 persen dari emisi global tapi sayangnya mereka juga yang menyumbang perekponomian dunia.

Pada akhirnya yang diperdagangnkan bukan cuman emisi tapi kuota polusi yang ada di negeri itu

Peluang katanya dengan memperdagangkan karbon kemungkinan ada pemasukan lebih untuk masyarakat adat, bagaimana pandangan Pantau Gambut terkait ini?

Ini kan repotnya begini, kalau lihat rehgulasi kita, nilai ekonomi carbon itu ada di Perpres 98/2021 jauh sebelum itu soal valuasi jasa ekosistem itu sudah diatur banyak regulasi sebelumnya. Ada masyarakat yang jaga bantaran sungai harusnya dia dapat nilai ekonomi itu.

Ada masyarakat yang ikut mejaga hutan. Regulasinya di atas kertas ada. Kita bergerak tersendat sekalo kalau bicara kepentingan masyarakat.

Yang kedua juga pertanyaannya bisa dibalik. Kalau masyarakat terdampak di sekitar industri yang mencemari, kemudian dia kritik, dan industri bilang ‘kami sudah beli carbon kok’, nah masyarakat sekitar bagaimana nasibnya?

Makanya kami bilang faktor lingkungan itu bukan suatu hal yang bisa diperjualbelikan. Solusi ini kan jadi business as usual.

Kita juga belum bicara apakah masyarakat bisa punya kapasitas untuk membicarakan itu? Yang menghitung validasi itu, masyarakat bisa turut memvalidasi gak? Itu yang akan menjadi PR kita.

Menurut pandangan Pantau Gambut, apakah carbon trading pada akhirnya bisa membawa dampak baik pada perubahan iklim?

Celahnya terlalu banyak dan terlalu berisiko untuk Indonesia. Akan lebih bijak menekankan tanggung jawab pada negara yang menghasilkan emisi dengan Carbon Tax. Saya kira sudah cukup banyak studi yang menunjukkan hal itu. Karena Carbon Tax itu lebih memungkinkan kontrol negatif pada emisi daripada carbon trading.

Share
Editor’s Picks
Topics
Editorial Team
Rendra Saputra
EditorRendra Saputra
Follow Us