Ampuni Terpidana Mati, Sri Lanka Dikecam Keras PBB

Colombo, IDN Times - PBB bersama kelompok HAM mengecam keras keputusan pemerintah Sri Lanka yang mengampuni mantan anggota DPR Sri Lanka, Duminda Silva, dari hukuman mati dengan mengatakan bahwa itu dapat merusak aturan hukum yang berlaku. Kelompok HAM menilai ini merupakan bentuk penghinaan terhadap sistem hukum. Bagaimana awal ceritanya?
1. Situasi seperti ini membuat keluarga korban merasa khawatir dengan sistem hukum Sri Lanka

Dilansir dari BBC, aktivis HAM bereaksi keras terhadap pembebasan Silva dari hukuman mati dan seorang pengacara HAM yang berbasis di Kolombo, Sri Lanka, Ambika Satgunanathan, mengatakan ini menunjukkan penghinaan total dari pihak eksekutif terhadap supremasi hukum, untuk proses hukum serta untuk akuntabilitas publik. Putri dari salah satu korban pembunuhan bernama Hirunika Premachandra mengatakan bahwa pihaknya sudah berjuang keras untuk membawa mereka yang bertanggung jawab atas kematian ayahnya ke pengadilan dan saat ini, Presiden Sri Lanka justru memberikan pengampunan sehingga ia merasa khawatir mengenai keamanan Sri Lanka.
Sementara para pelaku mendapatkan pengampunan, para aktivis menunjukkan bahwa orang lain seperti mantan Direktur Departemen Investigasi Kriminal Kepolisian Sri Lanka, Shani Abeysekara, dan seorang pengacara HAM, Hizbullah, justru mendekam di penjara selama berbulan-bulan. Parlemen Eropa pada awal bulan Juni 2021 lalu telah mengeluarkan resolusi yang menyatakan keprihatinan atas pelanggaran HAM yang terjadi di Sri Lanka. Resolusi itu juga mendesak Komisi Eropa untuk menangguhkan akses bebas bea ke barang-barang Sri Lanka, yang dikenal sebagai GSP Plus.
PBB bersama kelompok HAM juga mengkritik keputusan Presiden Sri Lanka, Gotabaya Rajapaksa, untuk mengampuni Silva, yang tak lain adalah seorang pembunuh serta memperingatkan bahwa itu merusak aturan hukum yang berlaku. Sebelumnya, Silva dijatuhi hukuman mati bersama dengan 4 orang lainnya pada tahun 2016 lalu karena menembak mati seorang politisi saingan serta 3 pendukungnya pada tahun 2011 lalu. Silva sendiri diketahui merupakan sekutu politik Rajapaksa.
2. Presiden Sri Lanka memiliki sejarah mengampuni mereka yang sudah divonis

Pada bulan Maret 2020 lalu, dalam beberapa bulan setelah berkuasa, Presiden Rajapaksa mengampuni tentara Sunil Ratnayake yang telah dijatuhi hukuman mati karena membunuh 8 warga sipil Tamil, termasuk seorang anak berusia 5 tahun dan 2 remaja, di Desa Mirusuvil di wilayah Jaffna bagian utara. Itu adalah salah satu dari sedikit hukuman dari era perang saudara serta PBB mengatakan pengampunan itu penghinaan terhadap korban. Silva dinyatakan bersalah bersama 4 orang lainnya karena menembak mati Bharatha Lakshman Premachandra dan 3 pendukungnya selama Pemilu Regional di Kolombo pada tahun 2011 lalu.
Kedua pria itu sama-sama anggota partai yang memerintah saat itu dan putusan itu kemudian dikuatkan oleh Mahkamah Agung Sri Lanka pada tahun 2018 lalu. Kepala Asia Pasifik di Kantor Komisaris Tinggi PBB untuk HAM, Rory Mungoven, mengatakan Sri Lanka memiliki masalah pertanggungjawaban, bahkan dalam beberapa kasus di mana pertanggungjawaban pidana telah dicapai, pihaknya melihat hasil yang dirusak oleh jenis
pengampunan ini.
3. Sebanyak 150 terpidana mati mogok makan setelah mendengar Silva dibebaskan

Sekitar 150 terpidana mati di Sri Lanka juga telah melakukan mogok makan di hari yang sama menuntut hukuman mereka diringankan setelah Presiden Sri Lanka mengampuni Silva yang sebelumnya dijatuhi hukuman mati. Bahkan, beberapa di antara mereka memprotes di atap sebuah penjara di Kolombo dengan mengangkat spanduk yang menuntut adanya perlakuan yang sama serta pertimbangan jaminan. Juru bicara penjara setempat, Chandana Ekanayake, mengatakan petugas penjara sedang mengadakan pembicaraan dengan Kementerian Kehakiman Sri Lanka serta pejabat pemerintah lainnya untuk menyelesaikan masalah tersebut tetapi menolak untuk memberikan rincian lebih lanjut.
Penjara Sri Lanka dikenal sangat padat, di mana lebih dari 26 ribu narapidana memadati fasilitas dengan kapasitas maksimum 10 ribu narapidana. Pada tahun 2020 lalu, kerusuhan terkait COVID-19 terjadi di salah satu penjara yang menimbulkan 11 narapidana tewas dan lebih dari 100 narapidana mengalami luka-luka saat itu ketika penjaga melepaskan tembakan untuk mengendalikan kerusuhan. Sri Lanka sendiri sejak tahun 1976 lalu tidak pernah melakukan eksekusi hukuman mati meskipun pengadilan secara rutin memberikan vonis tersebut.