Tentara Myanmar Kembali Tembaki Demonstran, Sedikitnya 13 Tewas

LSM memperkirakan 528 orang Myanmar tewas ditembak tentara

Jakarta, IDN Times - Tentara Myanmar menembaki pengunjuk rasa antikudeta hingga menewaskan sedikitnya 13 orang dan melukai beberapa orang lainnya pada Rabu, (7/4/2021). Sementara itu, serangkaian ledakan kecil pun menghantam Yangon. Aksi protes dan mogok nasional terus berlanjut sejak itu meskipun militer menggunakan serangan mematikan untuk memadamkan oposisi.

Penguasa militer negara itu mengatakan gerakan pembangkangan sipil "menghancurkan" Myanmar. Kepala junta yang memimpin kudeta, Jenderal Senior Min Aung Hlaing, mengatakan bahwa gerakan pembangkangan sipil, atau CDM, telah menghentikan pekerjaan rumah sakit, sekolah, jalan, perkantoran, dan pabrik.

"Meski protes dilakukan di negara tetangga dan dunia internasional, namun tidak merusak bisnis. CDM adalah kegiatan untuk menghancurkan negara," kata dia dalam pernyataan yang dirilis Rabu, dilansir ANTARA dari Reuters.

Baca Juga: Junta Myanmar Benarkan Adanya Penggulingan Suu Kyi

1. Tentara menembaki pengunjuk rasa di Kota Kale

Tentara Myanmar Kembali Tembaki Demonstran, Sedikitnya 13 TewasIlustrasi warga Myanmar berunjuk rasa di Yangoon, Myanmar pada Sabtu, 30 Januari 2021 (ANTARA FOTO/REUTERS/Shwe Paw Mya Tin)

Pasukan keamanan melepaskan tembakan terhadap pengunjuk rasa di kota barat laut Kale ketika mereka menuntut pemulihan pemerintah sipil Aung San Suu Kyi, kata media lokal. Gelombang aksi protes dengan tuntutan tersebut terus digelar warga sejak junta militer melakukan kudeta pada 1 Februari lalu.

Sementara itu, sedikitnya tujuh ledakan kecil terdengar di Yangon, termasuk di gedung-gedung pemerintah, rumah sakit militer, dan pusat perbelanjaan, kata penduduk setempat. Tidak ada korban jiwa dan tidak ada klaim tanggung jawab.

2. Sebanyak 581 orang termasuk puluhan anak-anak diduga ditembak mati militer

Tentara Myanmar Kembali Tembaki Demonstran, Sedikitnya 13 TewasPengunjuk rasa menggelar aksi protes terhadap kudeta militer di Kota Yangon, Myanmar, Sabtu (6/2/2021). Mereka menuntut pembebasan pemimpin terpilih Myanmar Aung San Suu Kyi. ANTARA FOTO/REUTERS/Stringer/wsj.

Menurut kelompok advokasi Asosiasi Tahanan Politik (AAPP), sebanyak 581 orang, termasuk puluhan anak-anak, telah ditembak mati oleh pasukan dan polisi dalam kerusuhan yang berlangsung hampir setiap hari sejak kudeta. Selain itu, pasukan keamanan telah menangkap hampir 3.500 orang, dengan 2.750 orang di antaranya masih tertahan.

Di antara mereka yang ditahan adalah Suu Kyi dan tokoh-tokoh terkemuka di partai Liga Nasional untuk Demokrasi, yang memenangkan pemilihan pada November tahun lalu yang dibatalkan oleh kudeta tersebut.

Pada saat bersamaan, kemampuan gerakan antikudeta yang sebagian besar dipimpin oleh pemuda untuk mengatur kampanye dan berbagi informasi melalui media sosial dan pesan instan telah dilumpuhkan oleh pembatasan internet.

"Myanmar telah runtuh secara bertahap ke dalam jurang informasi sejak Februari. Komunikasi sekarang sangat terbatas dan hanya tersedia untuk beberapa orang," kata Alp Toker, pendiri observatorium pemblokiran internet NetBlocks, kepada Reuters seperti dilansir ANTARA.

Baca Juga: PBB Peringatkan akan Terjadi Perang Saudara di Myanmar

3. Inggris sepakat dorong masyarakat internasional bantu Asia Tenggara selesaikan krisis Myanmar

Tentara Myanmar Kembali Tembaki Demonstran, Sedikitnya 13 TewasPertemuan Menteri Luar Negeri Indonesia Retno Marsudi dengan Menteri Luar Negeri Singapura Vivian Balakrishnan (Dok. Kementerian Luar Negeri)

Sementara itu di Jakarta, Menteri Luar Negeri Inggris Dominic Raab membahas bagaimana Inggris dan masyarakat internasional dapat mendukung upaya Asia Tenggara untuk menyelesaikan krisis di Myanmar, kata Menteri Luar Negeri Indonesia Retno Marsudi setelah pertemuannya dengan Raab.

Indonesia termasuk di antara beberapa negara Asia Tenggara yang mendorong pembicaraan tingkat tinggi tentang Myanmar.

Thailand, tetangga Myanmar dan yang memiliki hubungan militer dekat dengan junta, mengatakan pada Rabu bahwa mereka tidak setuju dengan kekerasan tersebut tetapi masalah tersebut harus ditangani dengan hati-hati.

"Kami tidak dapat benar-benar melakukan apa yang kami inginkan karena kami telah berbagi perbatasan dan kami perlu hidup dan bergantung satu sama lain di banyak wilayah," kata Perdana Menteri Thailand Prayuth Chan-ocha, yang merebut kekuasaan dalam kudeta tahun 2014 ketika menjadi panglima militer, sebelum mengambil peran sipilnya saat ini pada 2019.

Baca Juga: Lebih dari 520 Orang Tewas, PBB Sebut Myanmar di Ambang Perang Sipil

Topik:

  • Anata Siregar

Berita Terkini Lainnya