Antisipasi China, Jepang akan Tempatkan Rudal Jarak Jauh di Kyushu

- Jepang pertimbangkan penempatan rudal jarak jauh di pulau Kyushu untuk serangan balik darurat.
- Rudal Tipe-12 GSDF dengan jangkauan 1.000 km akan menjangkau China dan Korut, pengerahan dimulai Maret 2026.
- AS dorong Jepang belanjakan 3% dari PDB untuk pertahanan, sementara Jepang targetkan 2% pada tahun fiskal 2027.
Jakarta, IDN Times - Sumber pemerintah Jepang mengatakan bahwa negaranya sedang mempertimbangkan untuk menempatkan rudal jarak jauh di pulau Kyushu di barat daya Jepang.
Hal ini sebagai bagian dari upaya negara untuk memperoleh kemampuan serangan balik, guna menyerang target musuh jika terjadi keadaan darurat.
"Pihak berwenang sedang menilai kemungkinan lokasi penempatan, dengan penduduk setempat yang khawatir tempat tersebut dapat menjadi sasaran serangan musuh," kata sumber tersebut pada Sabtu (15/3/2025), dikutip dari Kyodo News.
1. Rudal terbaru yang digunakan adalah rudal berpemandu SSM Tipe-12
Rudal yang akan dikerahkan adalah versi terbaru dari rudal berpemandu permukaan-ke-kapal (SSM) Tipe-12 milik Pasukan Bela Diri Darat (GSDF), dengan jangkauan yang diperluas hingga 1.000 kilometer. Penempatan rudal di Kyushu akan menempatkan China dan wilayah pesisir Korea Utara (Korut) dalam jangkauan.
Nantinya, rudal tersebut dapat dikerahkan di garnisun resimen rudal SSM milik GSDF di Yufu, Prefektur Oita, dan kota Kumamoto.
Prefektur Okinawa, yang terletak lebih dekat ke daratan China, tidak mungkin menjadi lokasi penempatan di tengah kekhawatiran bahwa hal itu dapat meningkatkan ketegangan dengan Beijing.
Pengerahan pasukan tersebut diharapkan akan dimulai pada akhir tahun fiskal berikutnya pada Maret 2026. Hal ini bertujuan untuk meningkatkan keamanan gugus pulau Nansei di barat daya Jepang, yang secara strategis penting karena kedekatannya dengan Taiwan.
Tindakan Tokyo ini diambil di tengah meningkatnya kekhawatiran bahwa pulau demokrasi yang memiliki pemerintahan sendiri itu dapat diserbu oleh Beijing. Untuk diketahui, China menganggap Taiwan sebagai provinsi pembangkang yang harus disatukan kembali dengan daratan, bahkan jika perlu dengan kekerasan.
2. Jepang-AS memperkuat kemampuan pencegahan dan respons aliansi

Dalam beberapa tahun terakhir, Jepang dan Amerika Serikat (AS) telah meningkatkan interoperabilitas Pasukan Bela Diri Jepang dan militer AS untuk menghadapi meningkatnya ancaman keamanan dari Pyongyang dan Beijing.
Pada pertemuan Perdana Menteri Shigeru Ishiba dengan Presiden AS Donald Trump bulan lalu, kedua pemimpin juga sepakat untuk memperkuat kemampuan pencegahan dan respons aliansi kedua negara. Mereka juga sepakat bekerja sama untuk mengatasi tantangan strategis di kawasan yang dihadapi Tokyo-Washington.
Tokyo mengatakan Trump akan berkomitmen teguh terhadap pertahanan Jepang, dengan menggunakan seluruh kemampuannya, termasuk nuklir. Ishiba dan Trump juga telah menegaskan kembali bahwa Pasal 5 Perjanjian Kerja Sama dan Keamanan Bersama Jepang-AS berlaku untuk Kepulauan Senkaku.
Berdasarkan pakta tersebut, pasukan militer AS ditempatkan di Jepang, sebagian besar di Okinawa yang dekat dengan Taiwan dan Kepulauan Senkaku di Laut China Selatan. Kepulauan Senkaku yang dikelola oleh Jepang, namun diklaim oleh China, telah menjadi pusat ketegangan antara kedua negara.
3. AS menuntut Jepang menaikkan anggaran pertahanannya

Kembalinya Trump telah menimbulkan kekhawatiran bahwa Washington akan memberi lebih banyak tekanan pada sekutunya untuk melakukan lebih banyak hal untuk membela diri.
Pada awal bulan ini, Wakil Menteri Pertahanan AS untuk kebijakan, Elbridge Colby, menyerukan kepada Jepang untuk membelanjakan setidaknya 3 persen dari produk domestik bruto (PDB) untuk pertahanan sesegera mungkin.
Sementara itu, Jepang telah lama membatasi pengeluaran pertahanannya sekitar 1 persen dari PDB atau sekitar 5 triliun yen (sekitar Rp549,7 triliun). Namun, untuk merespons perubahan dalam lingkungan keamanannya, pihaknya telah meningkatkan anggaran pertahanan dalam beberapa tahun terakhir dengan tujuan mencapai 2 persen dari PDB pada tahun fiskal 2027.
"Tidak masuk akal bagi Jepang yang secara langsung terancam oleh China dan Korut, namun hanya membelanjakan 2 persen dari PDB-nya," kata Colby, dikutip dari NHK News.