Jepang Kritik Sanksi yang Dijatuhkan Rusia untuk Pertama Kalinya

Jakarta, IDN Times – Jepang mengkritik sanksi yang dijatuhkan Rusia untuk pertama kalinya pada Selasa (4/3/2025). Menteri Luar Negeri Jepang, Takeshi Iwaya, mengatakan tindakan Moskow tersebut tak bisa diterima.
"Sama sekali tidak dapat diterima untuk mengalihkan tanggung jawab kepada Jepang. Semua tindakan kami adalah karena agresi Rusia terhadap Ukraina," kata Iwaya, dilansir dari Anadolu Agency.
Pernyataan Iwaya muncul setelah Rusia melarang sembilan pejabat dan pemimpin bisnis Jepang memasuki negara tersebut. Iwaya merupakan salah satu pejabat yang dijatuhi sanksi.
Penjatuhan sanksi ini juga menjadi babak baru dalam ketegangan hubungan antara Moskow dan Tokyo.
1. Saling balas sanksi antara Rusia dan Barat

Rusia kerap menjatuhkan sanksi bagi pejabat asing yang mendukung Ukraina. Sanksi terbaru merupakan bentuk pembalasan Moskow atas dukungan Tokyo terhadap sanksi Barat kepada Rusia karena konflik Ukraina.
”Rusia telah menyatakan akan mengambil langkah seperti itu terhadap negara-negara yang menentang tindakan militernya,” lapor Regctech Times, Selasa.
Jepang sejak awal tergabung dalam blok Barat untuk menentang agresi Rusia ke Ukraina. Negara itu turut memberlakukan sanksi kepada Rusia dengan membekukan bank, perdagangan, dan mencegah individu-individu penting di negara itu.
Ini juga bukan pertama kalinya Rusia menjatuhkan sanksi bagi Jepang. Pada Juli 2024, Rusia juga menjatuhkan sanksi bagi 13 warga negara Jepang. Namun, Tokyo tak terlalu merespons saat itu.
2. Hubungan Moskow dan Tokyo merenggang

Akibat sanksi yang dijatuhkan Rusia, hubungan kedua negara kini kembali merenggang. Iwaya mengatakan hubungan antara Rusia dan Jepang saat ini dalam situasi yang sulit.
Dia mencatat bahwa permasalahan antara kedua negara perlu diselesaikan, khususnya antara otoritas diplomatik. Ia bermaksud untuk terus berkomunikasi dengan pihak Rusia.
Adapun bagi Rusia, sanksi semacam itu telah menjadi bagian dari strategi untuk menanggapi pertentangan internasional. Langkah saling balas sanksi semacam ini telah menunjukkan bagaimana ketegangan global terus meningkat.
3. Perselisihan Ukraina dan AS hambat perundingan gencatan senjata

Perundingan gencatan senjata antara Rusia dan Ukraina kini sudah di depan mata. Bulan lalu, Presiden Amerika Serikat (AS), Donald Trump, memulai inisiasi perdamaian kedua negara.
Namun, tanpa melibatkan Ukraina secara langsung dalam perundingan menciptakan ketegangan antara Washington dan Moskow. Adu mulut antara Trump dan Presiden Volodymyr Zelenskyy sempat terjadi.
Dilansir The Guardian, Trump menuduh Zelenskyy enggan untuk berdamai. Di sisi lain, menurut Zelenskyy, perdamaian yang dicetuskan Trump sangat tak memihak Ukraina.
"Kesepakatan ini seharusnya tidak terlalu sulit dibuat. Kesepakatan ini dapat dibuat dengan sangat cepat," kata Trump.
Rusia kini masih terus melancarkan serangan terhadap Ukraina. Konflik kedua negara ini telah memasuki tahun ketiga pada Februari lalu.