AS Pindahkan 11 Tahanan Yaman dari Penjara Guantanamo ke Oman

Jakarta, IDN Times - Amerika Serikat (AS) mengumumkan pemindahan 11 tahanan asal Yaman dari penjara Guantanamo, Kuba ke Oman pada Senin (6/1/2025). Ini merupakan pengurangan populasi terbesar dalam beberapa tahun terakhir di fasilitas penahanan militer AS tersebut.
Melansir The Guardian, seluruh tahanan yang dipindahkan telah mendekam di penjara Guantanamo selama lebih dari 20 tahun tanpa pernah menghadapi dakwaan atau proses pengadilan.
Pejabat keamanan nasional federal AS telah menyetujui pemindahan mereka sejak dua tahun lalu. Bahkan, beberapa di antaranya telah mendapat persetujuan jauh sebelum itu.
Kementerian Pertahanan AS melaporkan, pemindahan ini menyisakan hanya 15 tahanan di Guantanamo. Total sekitar 780 orang pernah ditahan di fasilitas tersebut sepanjang 22 tahun.
1. Profil beberapa tahanan yang dipindahkan
Salah satu tahanan yang dipindahkan adalah Tawfiq al-Bihani yang sebenarnya telah disetujui pemindahannya sejak 2010. Konflik di Yaman memaksa Al-Bihani menunggu bertahun-tahun karena negara itu dinilai tidak aman.
Khalid Qassim termasuk dalam kelompok tahanan yang dipindahkan. Ia dikenal melakukan aksi mogok makan jangka panjang sebagai bentuk protes terhadap penahanannya. Qassim telah menghabiskan sebagian besar masa dewasanya di dalam penjara Guantanamo.
Hassan bin Attash yang ditangkap dalam operasi keamanan di Pakistan pada 2002 juga masuk dalam daftar. Saudaranya, Walid bin Attash, masih ditahan sebagai terdakwa dalam pengadilan militer karena diduga terlibat dalam serangan teroris 11 September 2001.
Nama lain adalah Shaqawi al-Hajj (51) yang telah mendekam di penjara tersebut selama 21 tahun. Al-Hajj disebut pernah berada di lokasi rahasia CIA selama dua tahun sebelum dipindahkan ke Guantanamo pada 2004.
"Kami mendoakan Al-Hajj dalam transisinya ke dunia bebas setelah hampir 23 tahun dalam tahanan. Kami berterima kasih kepada Oman dan individu-individu dalam pemerintahan yang mewujudkan pemindahan ini, serta kepada banyak orang yang selama bertahun-tahun karyanya dan advokasinya telah membuka jalan menuju momen ini," ujar Pardiss Kebriaei, pengacara senior Center for Constitutional Rights (CCR) yang mewakili Al-Hajj, dikutip dari Middle Eeast Eye.
2. Pemindahan sempat ditunda karena ketegangan di Timur Tengah
Rencana pemindahan ini sebenarnya dijadwalkan pada Oktober 2023. Namun pelaksanaannya tertunda akibat serangan Hamas ke Israel pada 7 Oktober 2023 yang memicu kekhawatiran soal ketidakstabilan di Timur Tengah.
Oman telah menyanggupi permintaan AS untuk melakukan pemukiman kembali para mantan tahanan. Negara tersebut akan melakukan pemantauan keamanan, memberlakukan pembatasan perjalanan, dan memberikan dukungan integrasi bagi para mantan tahanan.
Beberapa anggota Kongres AS, baik dari Partai Republik maupun Demokrat, telah menyuarakan keberatan terhadap pembebasan tahanan Guantanamo. Mereka mengkhawatirkan risiko keamanan, terutama melihat situasi Timur Tengah yang masih bergejolak.
Dilansir NPR, pemindahan ini merupakan upaya terakhir pemerintahan Biden mengurangi populasi tahanan Guantanamo sebelum Donald Trump kembali ke Gedung Putih. AS juga telah memindahkan empat tahanan lainnya ke Malaysia dan Kenya dalam beberapa pekan terakhir.
"Pemindahan ini merupakan hasil dari upaya diplomatik bertahun-tahun yang memajukan tujuan pemerintahan Biden-Harris mengurangi jumlah tahanan secara bertanggung jawab," tutur pejabat Departemen Luar Negeri AS.
3. Total 15 tahanan masih tersisa di penjara Guantanamo
Dari 15 tahanan yang masih tersisa di Guantanamo, tujuh orang sedang menghadapi dakwaan. Salah satunya adalah Khalid Sheikh Mohammed yang diduga sebagai dalang serangan 11 September. Sementara itu, tiga tahanan belum didakwa dan belum disetujui pemindahannya.
Tiga tahanan lainnya telah disetujui pemindahannya namun masih menunggu AS menemukan negara yang bersedia menampung mereka. Dua tahanan terakhir telah divonis bersalah oleh pengadilan militer.
AS menghemat banyak anggaran melalui pemindahan tahanan ini. Biaya penahanan satu orang di Guantanamo mencapai 15 juta dolar AS (sekitar Rp242 miliar) per tahun. Angka ini jauh lebih mahal dibandingkan 80 ribu dolar (sekitar Rp1,2 miliar) di penjara super ketat di AS.
Fasilitas ini telah menuai kecaman internasional. Kritikus menilai Guantanamo sebagai simbol pelanggaran HAM karena praktik penahanan tanpa batas waktu dan tanpa pengadilan. Penjara ini juga didiuga menggunakan metode interogasi kontroversial.
Trump, selama masa jabatan pertamanya, pernah berjanji mempertahankan Guantanamo dan mengisinya dengan "orang-orang jahat". Ia bahkan membatalkan kebijakan pemerintahan Barrack Obama yang berniat menutup fasilitas tersebut melalui penandatanganan perintah eksekutif.