AS Setop Beri Visa Medis untuk Anak-anak Gaza yang Terluka

- Unggahan influencer AS Laura Loomer memicu kampanye tekanan di media sosial terhadap visa medis anak-anak Gaza yang terluka.
- Pemerintah AS menghentikan visa dengan dalih keamanan nasional.
- Pelarangan visa menjadi ancaman bagi anak-anak Gaza yang membutuhkan perawatan medis kompleks di tengah krisis kesehatan dan risiko kelaparan.
Jakarta, IDN Times – Kementerian Luar Negeri Amerika Serikat (AS) telah menghentikan semua visa pengunjung untuk warga dari Gaza pada Sabtu (16/8/2025). AS akan meninjau ulang seluruh prosedur penerbitan visa kemanusiaan-medis yang selama ini berjalan.
Langkah ini dipicu oleh kampanye tekanan di media sosial yang digerakkan oleh Laura Loomer, seorang influencer sayap kanan. Loomer menyebarkan narasi bahwa anak-anak Palestina terluka yang datang ke AS untuk berobat adalah sebuah ancaman.
1. Berawal dari unggahan seorang influencer AS
Laura Loomer, yang merupakan sekutu Donald Trump, memulai kampanyenya di media sosial X dengan membagikan video anak-anak Gaza yang tiba di AS untuk berobat. Ia secara keliru menuduh teriakan kegembiraan mereka sebagai nyanyian jihad dan seruan teror HAMAS.
"Mengapa ada orang di Kementerian Luar Negeri yang mau memberikan visa kepada individu yang tinggal di Gaza, yang dikelola oleh HAMAS?" tulis Loomer.
Influencer yang menyebut dirinya "seorang Islamofobia yang bangga" ini juga mengklaim mayoritas warga Gaza mendukung Hamas. Faktanya, Hamas hanya memperoleh 44 persen suara dalam pemilu legislatif terakhir Palestina pada 2006. Video yang ia klaim didapat secara eksklusif pun ternyata berasal dari akun Instagram publik sebuah badan amal dan kanal YouTube media.
Unggahan tersebut dengan cepat menarik perhatian dan mendapat dukungan dari beberapa politisi Partai Republik AS. Setelah kebijakan visa dihentikan, Loomer merayakannya sebagai sebuah kemenangan di akun media sosialnya.
Beberapa pejabat AS, termasuk anggota Kongres Chip Roy dari Texas, menyatakan akan menindaklanjuti masalah ini. Sementara, anggota Kongres dari Florida, Randy Fine, bahkan secara terbuka memuji Loomer atas perannya dalam mengungkap isu tersebut.
2. Penghentian visa dengan dalih keamanan
Pemerintah AS berdalih bahwa keputusan ini diambil atas dasar pertimbangan keamanan nasional. Menteri Luar Negeri AS, Marco Rubio, menyebut ada bukti bahwa beberapa organisasi yang memfasilitasi visa tersebut memiliki hubungan kuat dengan kelompok teroris seperti Hamas.
Namun, Rubio tidak memberikan rincian lebih lanjut mengenai bukti atau nama organisasi yang ia maksud. Langkah ini segera memicu gelombang kritik dan kecaman dari berbagai kelompok bantuan kemanusiaan dan pro-Palestina.
Dewan Hubungan Amerika-Islam (CAIR) mengutuk larangan visa tersebut dan menyebutnya sebagai kebijakan yang kejam dan ironis. Mereka menyoroti kontrasnya sikap pemerintah AS terhadap warga Palestina dibandingkan dengan pejabat Israel.
"Memblokir anak-anak Palestina yang terluka oleh senjata Amerika untuk datang ke Amerika untuk perawatan medis adalah tanda terbaru bahwa kekejaman yang disengaja dari pemerintahan 'Israel First' Presiden Trump tidak mengenal batas. Ini juga sangat ironis bahwa pemerintahan Trump melarang anak-anak Palestina yang mencari pengobatan, tetapi menggelar karpet merah untuk para rasis dan penjahat perang Israel," kata kelompok itu, dilansir Al Jazeera.
3. Anak-anak jadi korban di tengah krisis Gaza
Program visa pengunjung selama ini menjadi salah satu harapan bagi anak-anak Gaza dengan kondisi medis parah untuk mendapatkan perawatan. Perawatan ini mencakup tindakan kompleks seperti pemasangan kaki palsu bagi korban amputasi yang sulit dilakukan di dalam negeri.
Pelarangan diberlakukan di saat sistem kesehatan di Gaza berada di ambang kehancuran total akibat perang yang berkepanjangan. PBB juga telah berulang kali memperingatkan adanya risiko kelaparan parah dan malnutrisi yang meluas di seluruh wilayah tersebut.
Dana Bantuan Anak-Anak Palestina (PCRF), yang telah mengevakuasi 169 anak sepanjang 2024, mendesak AS untuk segera membatalkan keputusannya.
"Ini adalah berita yang sangat menghancurkan. Dampak dari keputusan ini akan sangat dahsyat, dan AS harus segera membatalkan keputusan ini," ujar Direktur Urusan Pasien Global di PCRF, Tareq Hailat.