Bom Bunuh Diri Al-Shabab di Somalia Tewaskan Jurnalis TV

Jakarta, IDN Times - Abdifatah Moalim Nur Qeys, seorang jurnalis televisi Somalia tewas dalam serangan bom bunuh diri di ibu kota Mogadishu pada Senin malam (16/10/2023). Qeys adalah direktur cabang Somali Cable Television di Mogadishu.
Kelompok militan Al-Shabab, yang berusaha diberantas Somalia mengaku bertanggung jawab atas serangan tersebut. Al-Shabab mengatakan seorang pembom bunuh diri berada di balik ledakan tersebut.
1. Serangan bom juga melukai empat orang lain

Dilansir VOA News, serangan ini terjadi saat Qeys sedang berada di restoran Blue Sky dekat museum nasional. Ledakan bom itu menyebabkannya terluka parah dan kemudian meninggal.
“Sekitar pukul 21.00 seorang pembom bunuh diri Khawarij meledakkan bahan peledak terhadap orang-orang yang sedang minum teh di luar restoran Blue Sky di distrik Bondhere,” kata polisi. Khawarij atau “penyimpang" adalah istilah yang digunakan pemerintah untuk menyebut Al-Shabab.
“Dia dinyatakan meninggal setelah kami membawanya ke rumah sakit Recep Tayyip Erdogan. Dia memiliki pecahan peluru di bagian atas tubuhnya,” kata Abdishakur Mohamed Mohamud, salah satu jurnalis yang membawa Qeys ke rumah sakit.
Polisi mengatakan serangan itu juga melukai empat orang lainnya.
“Pasukan keamanan memberikan bantuan kepada mereka yang terkena dampak serangan itu. Ada penyelidikan yang sedang berlangsung, dan setiap perkembangan terkini akan dibagikan kepada publik," kata polisi.
2. Jurnalis hadapi bahaya pembunuhan

Dilansir Africa News, Persatuan Jurnalis Nasional Somalia (NUSOJ) mengatakan serangan itu membuat mereka sangat terguncang dan marah atas tindakan tidak masuk akal dan brutal yang merenggut nyawa Ney. Asosiasi Pers Internasional Afrika Timur (IPAEA) juga mengutuk pembunuhan tersebut.
Omar Faruk Osman, direktur persatuan pers NUSOJ, mengecam serangan itu yang disebutnya sebagai pembunuhan tragis dan tanpa ampun terhadap jurnalis cerdas. Osman juga menyoroti bahaya yang terus berlanjut sebagai jurnalis di Somalia.
“Sangat meresahkan menyaksikan kejadian lain di mana seorang jurnalis di negara kita harus menanggung akibatnya. Berapa lama lagi kita harus menanggung kekerasan tidak masuk akal yang merampas suara-suara cemerlang ini?” Katanya.
Jurnalis Mohamed Isse Hassan tewas pada Oktober tahun lalu, salah satu dari 100 orang yang tewas dalam dua pemboman mobil di Mogadishu. Sebelumnya Ahmed Mohamed Shukur, juga seorang jurnalis televisi, terbunuh dalam ledakan ranjau darat.
Sejak 2010 ada lebih dari 50 pekerja media terbunuh di Somalia. Negara itu menjadi salah satu tempat paling berbahaya bagi jurnalis di Afrika.
3. Jurnalis juga menghadapi ancaman dari pihak berwenang

Reporters Without Borders (RSF) menempatkan Somalia berada pada peringkat 141 dari 180 negara dalam Indeks Kebebasan Pers. Organisasi itu mengatakan bahwa Al-Shabab bukan satu-satunya pihak yang menghadirkan ancaman terhadap kebebasan pers, tapi juga pihak berwenang Somalia, dengan menahan tiga jurnalis.
Abdalle Ahmed Mumin, seorang jurnalis lepas dipenjara pada awal tahun ini karena tidak mematuhi perintah pemerintah. Penahanannya dikecam keras oleh Komite Perlindungan Jurnalis.
Sindikat Jurnalis Somalia (SJS) mengatakan Qeys sepanjang kariernya juga menghadapi ancaman dan tekanan pribadi dari pemerintah. Pada Oktober tahun lalu, Qeys bekerja dengan SJS untuk menentang perintah yang melanggar hukum dari Kementerian Penerangan yang membatasi kebebasan media, yang membuat dia menerima ancaman dari kementerian itu.
SJS mengatakan Qeys tetap menjadi pendukung setia kebebasan pers yang kematiannya menjadi pengingat akan bahaya besar yang dihadapi jurnalis di Somalia.