Burkina Faso: Operasi Militer Prancis Tumpas Teroris Resmi Berakhir!

Jakarta, IDN Times - Burkina Faso, pada Minggu (19/2/2023), mengumumkan berakhirnya operasi militer Prancis di negara itu. Sehari sebelumnya telah dilakukan upacara penurunan bendera di sebuah kamp pasukan Prancis di pinggiran ibu kota Ouagadougou.
Bulan lalu, pemerintah Burkina Faso telah mengakhiri kerja sama militer dengan Prancis. Negara Eropa itu diberi waktu satu bulan untuk menarik sekitar 400 pasukannya.
1. Hubungan dengan Prancis memburuk

Melansir Reuters, Staf Umum Angkatan Bersenjata Burkina Faso mengikuti upacara penurunan bendera yang menandai akhir dari operasi Satuan Tugas di Burkina Faso.
Hubungan Prancis-Burkina Faso mengalami kemunduran tajam, yang mencakup keputusan Ouagadougou agar Paris untuk menarik duta besarnya. Tahun lalu terjadi peningkatan aksi unjuk rasa menentang kehadiran militer Prancis, sebagian karena persepsi bahwa Prancis tidak berbuat cukup melawan pemberontak.
Selama seminggu terakhir, sekelompok kecil pengunjuk rasa anti-Prancis bertemu setiap malam di Ouagadougou untuk mengawasi tanda-tanda penarikan Prancis.
"Kami tidak ingin detik terkecil ditambahkan ke tanggal yang dijadwalkan (keberangkatan). Biarkan mereka pergi dan serahkan Faso kami kepada kami," kata Amade Maiga, salah satu pengunjuk rasa.
2. Pengaruh Rusia semakin besar

Beberapa pengunjuk rasa yang mengawasi penarikan pasukan itu memegang bendera Rusia.
"Berjalan dengan Rusia bukanlah dosa, Rusia adalah solusinya," kata pengunjuk rasa Amade Compaore.
Keputusan mengakhiri kerja sama militer dengan Prancis karena Burkina Faso semakin dekat dengan Rusia. Bulan lalu, Perdana Menteri Burkina Faso Apollinaire Kyelem de Tembela menyatakan Rusia sebagai pilihan mitra baru yang masuk akal memerangi pemberontak.
Ghana menuduh Burkina Faso mempekerjakan tentara bayaran dari Grup Wagner Rusia. Presiden sementara negara itu menyangkal pasukan semacam itu ada di negaranya.
Prancis juga telah menarik pasukannya dari Mali tahun lalu, setelah junta di sana mulai bekerja sama dengan kontraktor militer Rusia.
Presiden Emmanuel Macron menggambarkan pengaruh Rusia di negara-negara Afrika yang bermasalah sebagai predator, karena Prancis telah melihat pengaruhnya berkurang di bekas koloni.
3. Kudeta membuat Burkina Faso dikenai sanksi

Melansir France 24, Burkina Faso mengalami dua kali kudeta militer pada tahun lalu. Negara itu juga telah diguncang oleh pemberontakan yang meluas dari negara tetangga Mali pada 2015.
Pertempuran dengan pemberontak telah menyebabkan ribuan orang terbunuh, lebih dari 2 juta orang telah meninggalkan rumah mereka dan sekitar 40 persen wilayah negara berada di luar kendali pemerintah.
Pada Minggu, Masyarakat Ekonomi Negara-Negara Afrika Barat (ECOWAS) mengumumkan untuk melanjutkan sanksinya terhadap Burkina Faso, Mali, dan Guinea. Tiga negara yang dipimpin militer itu telah ditangguhkan dari keanggotaan ECOWAS setelah kudeta.
Dalam pidatonya di KTT Uni Afrika pada Sabtu, ketua Komisi AU Moussa Faki Mahamat mengatakan, blok pan-Afrika perlu melihat strategi baru untuk melawan kemunduran demokrasi.
"Sanksi yang dikenakan pada negara-negara anggota setelah perubahan pemerintahan yang tidak konstitusional tampaknya tidak membuahkan hasil yang diharapkan," katanya.